Kamis, 26 Desember 2013

Papandayan Sebagai Perjalanan Pertama – Part I

Selama ini saya lebih suka lakukan perjalanan ke kota atau pantai. Main ke pantai A. Kunjungi kota B. Ingin bermain ke pantai C. Penasaran mau kulineran di kota D. Hanya diantara itu saja. Kemudian saya dihadapkan oleh kalimat ajakan “Ikut Papandayan yuk!”. Sebuah ajakan menggelitik rasa ingin tahu saya. Ditambah rasa ingin mencoba hal lain selain pantai dan kota.

Kali ini kenapa saya penasaran ingin lakukan perjalanan gunung? Saya dikelilingi teman-teman yang begitu mengagumi aktivitas “penaklukan” puncak-puncak gunung. Sering kali wacana yang terlontar adalah perjalanan ke gunung ketika bertemu. Saya tidak pernah tertarik. Bahkan ketika saya berpacaran dengan seroang mahasiswa pecinta alam atau yang sering disebut mapala. Sering diajak namun sering juga tidak memiliki ketertarikan ingin ikut. Lain ceritanya jika saya diajak ke pantai atau ke kota-kota yang masih asing buat saya.

Kali itu, Saya tergelitik ingin tahu, “apa rasanya naik gunung? Apa yang membuat perjalanan gunung sebegitu diagung-agungkan?”.

Saya sudah mendengar wacana itu sekitar tiga minggu sebelumnya. Hanya saya masih belum tertarik. Muncul sebuah pemikiran “Coba lakuin sekali saja perjalanan yang belum pernah kau lakukan. Pahami perasaan yang mereka rasakan. Rasakan pengalaman mereka. Minimal cobalah sekali saja, hanya agar kau tahu rasanya.”. Atas pemikiran itu saya menjadi tertarik ingin ikut tapi saya belum juga meneguhkan tekad saya. Saya mendengar begitu banyak nasehat dan cerita-cerita yang cukup menyeramkan yang dapat terjadi jika lakukan perjalanan gunung. Ada yang cerita untuk melakukan perjalanan gunung kamu harus belajar kendalikan ego. Tidak boleh sombong. Jika kamu sombong atau terlalu menyepelekan suatu hal, alam yang akan mengajarkanmu untuk rendah hati dengan menyasari atau terjadi suatu kejadian yang tidak kamu inginkan. Nasehat dan cerita-cerita semacam itu cukup membuat saya waspada terhadap keinginan saya untuk ikut. Saya pun mempertimbangkan kondisi tubuh saya yang tidak tahan dengan suhu dingin dan mudah sakit serta sering lakukan kecerobohan. Saya hanya tidak ingin menyusahkan orang lain terhadap konsekuensi yang saya alami. Terlebih jika terjadi hal terburuk. Ah rasanya belum siap.

Terjadi perang batin yang cukup membuat saya bingung. Saya ingin lakukan perjalanan yang berbeda, ingin merasakan pengalaman yang orang lain ceritakan namun sisi lain saya sadar diri akan kemampuan diri yang memiliki fisik yang kurang tangguh serta pikiran yang sering kosong atau tidak terkontrol. Rasanya saya belum mampu menghadapi konsekuensi atas sikap yang saya lakukan di perjalanan nanti.

“Jika kamu hanya lakukan pengandaian seperti itu, kamu tidak akan lakukan apa-apa. Cukup jalani, hadapi hambatan yang jelas-jelas di depan mata.”

Atas pemikiran tersebut akhirnya saya memantapkan niat untuk ikut perjalanan ke gunung. Suatu perjalanan yang benar-benar berbeda dari yang pernah saya lakukan. Kemudian saya menyatakan keinginan ikut ke Ajo. Lalu, hal pertama yang saya tanyakan, Apa saja yang harus saya persiapkan? Persiapan kali ini pastinya berbeda dibanding perjalanan ke pantai atau kota. “kamu cukup jogging aja. Minimal seminggu sekali, kalau bisa dua kali seminggu.” begitu kata Ajo.

Dengan instruksi tersebut, saya memutuskan akan jogging. Waktu itu kegiatan saya cukup padat, sempat merencanakan jogging di malam hari tapi hal itu tidak disarankan oleh Ajo. Katanya, kasihan sama jantung yang bekerja lebih berat di malam hari. Sehingga saya jogging sendirian di sore hari di sekitar komplek rumah saja. Bila janjian dengan orang lain otomatis saya harus menyesuaikan waktu dan lakukan jogging di tempat lain akan memakan waktu yang lama untuk perjalanannya. Jadi, saya jogging sendiri saja.

Lari 5 menit saja rasanya tenggorokan dan dada saya panas sekali. Muncul rasa ingin muntah. Kemudian saya berjalan santai saja. Saat rasa panas dan mual itu berkurang, saya kembali berlari. Baru saja sebentar lari, mungkin sekitar 3 menit, kali ini kepala saya pusing disertai tangan dan kaki yang gemetar. Saya sempatkan berhenti membeli es kelapa muda rasa jeruk. Ketika berdiri menunggu pesanan, saya sempat rasakan kepala saya kunang-kunang serta badan yang lemas tidak sanggup berdiri lama. Sungguh menyeramkan buat saya hingga memunculkan pikiran-pikiran yang menciutkan semangat saya seperti, “Apa nanti sanggup? Baru jogging sebentar aja gejala fisiknya segininya, gimana di atas nanti? Masih ada waktu ubah keputusan mumpung belum berangkat loh“.

Kembali saya ingatkan diri dengan menggumamkan “Cukup jalani, hadapi hambatan yang jelas-jelas di depan mata.”. Akhirnya saya lawan keraguan saya dengan menjadikan gejala fisik sebagai PR. Gejala-gejala itu mengingatkan saya bahwa saya perlu kembali lakukan latihan fisik walau dengan olah raga ringan. Juga menjadikan evaluasi diri bahwa saya perlu lakukan fisik yang lebih intens lagi sebagai persiapan perjalanan gunung minggu depan.

Hanya saja kegiatan saya cukup padat saat siang hingga sore. Saya baru sampai rumah ketika langit sudah gelap sedangkan jogging di malam hari tidak disarankan. Alhasil saya baru bisa kembali jogging 2 hari sebelum hari keberangkatan. Hari itu cuaca cukup cerah dan jogging kali itu terasa sangat berbeda. Tidak ada gejala panas di tenggorokan atau dada bahkan tidak gemetar. Kali itu durasi lari terasa lebih lama dari pada pertama. Sekitar 10 menit lari kemudian berjalan santai saat kemudian lanjut lari kembali. Begitu seterusnya hingga akhir trek lari saya sore itu. Peningkatan yang lumayan.

“aku hanya bisa jogging 2 kali aja. Gak apa-apa?”
“itu udah cukup kok. Sekarang istirahat yang cukup aja biar badannya fit pas berangkat. Jangan begadang”

Pembicaraan itu ku anggap sebagai instruksi kedua dari Ajo. Sehari sebelum berangkat, saya usahakan untuk tidak lakukan kegiatan yang padat terutama di malam hari agar saya dapat istirahat yang cukup.
Persiapan selingan yang saya lakukan selain persiapan fisik adalah persiapan peralatan dan perlengkapan yang dibutuhkan. Ajo memberi masukan yang menurut saya kurang membantu. Saya hanya diinformasikan membawa perlengkapan pribadi saja sedang saya bingung perlengkapan pribadi tersebut terdiri apa saja. Saya tahu bahwa perlengkapan yang dibawa ketika berkunjung ke pantai dan ke kota saja memiliki kebutuhan perlengkapan yang berbeda. Begitu juga jika tujuannya ke gunung. Pastinya perlengkapan yang dibutuhkan akan sangat berbeda. Betul saja pemikiran saya itu. Saya bertanya teman saya yang lain, Heny dan Deddy, perlengkapan yang disebutkan sungguh berbeda dari yang disebutkan oleh Ajo. Dari penjelasan mereka, berikut perlengkapan yang biasanya digunakan ketika naik gunung:

Ada dua jenis perlengkapan yaitu perlengkapan tim dan perlengkapan pribadi. Perlengkapan tim minimal terdiri dari:
  • -         Tenda (beserta flysheet)
  • -          kompor mini (dan spiritus), serta alat masak mini
  • -          Matras
  • -          Bahan makanan (bahan mentah dan minuman)
  • -          Obat-obatan (band aid,betadine, parasetamol, dll)

Perlengkapan pribadi yang cukup banyak. Perlengkapan minimal yang dipersiapkan minimal terdiri dari:
  • -          Pakaian bersih, minimal 1 set untuk digunakan saat tidur (disesuaikan durasi pendakian)
  • -          Sleeping Bag
  • -          Jas hujan/raincoat
  • -          Headlamp atau senter
  • -          Jaket, sarung tangan yang tebal dan kaos kaki
  • -          Perlengkapan mandi
  • -          Peralatan makan atau nesting (gelas, piring dan sendok, diusahakan berbahan plastik agar ringan)
  • -          Minuman (air mineral 1,5 L) dan camilan pribadi (cokelat, biskuit, minuman coklat instan)

Wah persiapan yang sungguh berbeda! Saya hampir tidak memiliki satupun aitem yang disebutkan. Hanya pakaian bersih, alat mandi serta camilan saja yang dapat saya persiapkan. Sisanya? Saya tidak punya sama sekali! Untunglah saya punya banyak teman yang suka lakukan perjalanan gunung. Saya banyak dipinjami peralatan oleh Dedy, Heny dan Kojek. Mereka tahu ini perjalanan pertama saya. tampaknya mereka ingin membuat saya terkesan pada pengalaman pertama agar saya jatuh cinta pada perjalanan ke gunung.

Di hari keberangkatan, kami masih harus menghadiri pernikahan teman kami, Heny, hingga sore sehingga kami memutuskan berangkat ke Garut di malam hari. Saya punya kebiasaan buruk mengenai waktu packing. Sering sekali terlalu sibuk ke sana-sini menjelang perjalanan sehingga waktu packing dilakukan beberapa jam sebelum berangkat. Bahkan 1-2 jam sebelum berangkat pun saya masih leyeh-leyeh belum memutuskan barang apa saja yang harus saya kemas. Jangan ditiru kebiasaan seperti ini jika kamu ingin ada perlengkapan yang luput kamu masukkan tas!

Begitu juga dengan perjalanan kali ini. Kami sepakat berkumpul di Terminal Rambutan pukul 22.00 WIB. Sepulang dari resepsi teman saya, saya memutuskan untuk istirahat terlebih dahulu. Rasanya lelah sekali. Saya teringat kata Ajo, istirahat yang cukup. Kemudian saya tertidur hingga pukul 7 malam. Melihat jam, saya langsung terbangun dengan terkejut. “Ah belum packing!” Mendadak dirundung kepanikan karena 2 jam lagi harus berangkat ke Terminal, barang-barang masih tercecer “indah”, ditambah belum mandi. Lengkap sudah!

Syukurlah saya sudah terbiasa lakukan perjalanan sehingga sudah terbiasa lakukan packing secara kilat. Bisa dibilang sense of readiness saya telah terlatih atas setiap perjalanan yang selama ini saya lakukan. Termasuk hal siap-siap sebelum berangkat seperti ini. Cukup 30 menit saja waktu yang saya butuhkan untuk memasukan seluruh perlengkapan kebutuhan saya untuk perjalanan ke gunung saya pertama. Sayangnya saya tidak sempat mendokumentasikan hasil packing saya malam itu tp berikut wujud tas hasil packing saya ketika dalam perjalanan menuju puncak Papandayan:



Packing selesai – kemudian mandi – lalu berangkat! Hai Papandayan, Aku datang pada mu! Berbaiklah pada ku nanti. Aku hanya ingin mengecap keindahanmu yang begitu dipuja-puja oleh penggemarmu.


Sabtu, 14 Desember 2013

Kenalan ala Pejalan

Semalam saya baru saja bertemu secara langsung dengan seorang orang-orang yang hebat. Pertemuan yang cukup lucu. Kami dipertemukan dalam sebuah grup linimassa pejalan nusantara. Interaksi kemudian terbentuk dari chat messaging hingga social media namun belum pernah interaksi langsung, tatap muka. Belum pernah melakukan tata kenalan pada umumnya yaitu dengan berjabat tangan sambil menyebutkan nama.

Malam itu saya sudah membuat 2 janji di waktu yang hampir bersamaan dengan lokasi yang berbeda. Alhasil membuat saya serba tergesa-gesa. Saya sudah merencanakan bertemu dengan Ricco hanya sekitar 1 jam kemudian dilanjutkan perjalanan menuju janji kedua yang sudah ditentukan yaitu pukul 21.00WIB . Acara malam itu bertempat di sebuah mall di Jakarta yang direncanakan pukul 18.30 WIB dan saya tiba pukul 19.00 WIB. Ruangan sudah ramai dan membuat saya cukup kewalahan mencarinya. Kewalahan karena kami sama sekali belum pernah bertemu sebelumnya sehingga saya tidak mengenali bagaimana wajah ataupun postur tubuhnya. Ditambah ponsel Ricco yang kehabisan batere semakin menambah tantangan saya untuk menemukannya diantara puluhan hingga ratusan orang.

Saya akhirnya dengan gagah berani menyapa pria dengan bahasa tubuh yang sedang mencari atau menunggu orang lain. Hasilnya? Saya salah menyapa orang! Bukan hanya sekali, tapi hingga 3 kali hingga akhirnya saya menemukan Ricco! Cukup malu tapi cukup menyenangkan juga! J

“Mas Ricco ya?” adalah kalimat pembuka kami hingga akhirnya kami saling bercerita, bercanda dan berbagi keluh kesah. Awalnya ragu kemudian pada akhirnya kata demi kata keluar begitu saja tanpa rasa segan. 10 Menit saja waktu yang diperlukan untuk menghancurkan tembok asing hingga kami bertutur kata panjang lebar hingga 1 jam lebih. Ah! Kenapa waktu cepat sekali berlalu? Sudah waktunya saya pergi memenuhi janji kedua padahal saya masih ingin berbincang lebih lama lagi, pikirku.

Persis 10 menit sebelum saya keluar, ada teman pejalan lainnya, Satya, memberi kabar bahwa ia pun hadir dalam acara tersebut dan mengajak saya bertemu. Lagi-lagi, saya pun belum pernah bertemu sebelumnya.

“Kalau sempat setelah selesai acara ketemuan ya J
“Aku udah mau cabut mau ke Sabang nih”
“Kakak dimana? Aku samperin deh. Aku kesitu yah”
“Aku udah mau keluar dari pintu sebelah kanan”
“Kakak sudah keluar? Aku udah di meja registrasi yah pake boots”

Dengan petunjuk sepatu boots itu, saya melangkah keluar ruangan kemudian mencari sosoknya. Kali ini sungguh mudah. Begitu buka pintu dan melihat keluar, saya langsung bisa menangkap sosok perempuan muda dengan boots hitam di sudut ruangan. Tanpa ragu saya menyapa dan mendapat balasan “Hey kak!” dengan sangat ramah dan penuh semangat.

Lucu. Pertemuan ini pun terasa saya sudah mengenalnya sebelumnya. Seperti kami sudah kenal lama. Sudah kenal lebih dari berbulan-bulan, padahal usia pertemuan kami baru saja kurang dari sebulan. Sapaan itu pun tidak sebentar. Saya terbuai atas candaan dan curhat colongan kami.

Kedua pertemuan itu sungguh singkat sekali. Yang pertama sekitar 2 jam, dan yang kedua kurang dari setengah jam. Ah aku tidak puas! Aku ingin kembali bertemu dengan mereka. Kembali berbagi cerita petualangan kami, kembali berbagi rasa petualangan. Saya malah berharap saya dapat melakukan petualangan bersama mereka agar lebih mengenal pribadi masing-masing. Bukan sekedar mengenal nama saja kemudian selesai, tidak pernah bertemu kembali. Semoga satu hari nanti. Jika Tuhan menghendaki.

BPC_Jogja: Komunitas Seribu Rasa

Tahun 2010. Saya ingat sekali malam itu, ketika saya sedang paruh waktu sebagai penjaga warnet. Browsing sebuah forum online kemudian membaca halaman mengenai komunitas backpacker. Saat asik membaca tiba-tiba ada yang berbicara,

“loh suka buka halaman itu? Udah pernah ketemu sama mereka belum?”
“belum mas. Ini baru nemu. Tertarik sih”
“yaudah ikut guyubnya aja. Mereka orangnya asyik kok. Baik-baik.”

Saat itu saya memutuskan, saya akan mencoba bertemu dengan mereka. Pertemuan pertama saya langsung jatuh cinta. Ramah, penuh canda tawa, adanya rasa kekeluargaan yang sungguh kental. Mereka adalah Backpacker Community Jogja atau BPC Jogja. Bayangkan saja, selesai kumpul rapat pertama mereka langsung merencanakan lanjut bercengkrama di Pocin Kaliurang padahal waktu itu sudah pukul 9 malam lebih! Saya pun diajak. Layaknya anak kecil yang diimingi oleh lolipop, saya mengangguk tanpa ragu.

Saat di Kaliurang, kehangatan canda tawa, keakraban mereka semakin mengisi sisi hati saya yang kosong. Sepulangnya saya sampai di kamar kosan, saya masih tersenyum lebar. Mungkin tertidur dengan tersenyum juga. Ah, kesan yang sungguh menyenangkan. Pertemuan-pertemuan berikutnya pun saya ikuti dan kemudian berubah menjadi candu. Dua hari dalam seminggu menjadi agenda yang paling saya nantikan. Rabu dan Jumat. Saya tidak peduli mereka itu siapa. Menamakan kegiatan mereka apa. Yang penting saya berada di antara mereka, saya sudah senang!

Waktu itu saya tidak mau ambil pusing dengan istilah-istilah apapun. Saya tidak mau ambil pusing terhadap rencana apapun. Ikuti saja rencana mereka, pasti saya ikut senang. Hingga akhirnya saya mengikuti perjalanan mereka satu per satu kemudian membakukan rasa serta pikiran bahwa mereka adalah keluarga kecil di saat saya jauh dari keluarga sesungguhnya. Ada rasa dilindungi oleh keluarga, ada canda tawa layaknya terhadap adik atau kakak, dan juga ada konflik layaknya ketika sedang bertengkar dengan orangtua karena perbedaan prinsip dalam menjalani atau membuat keputusan hidup.

Kini sudah penghujung tahun 2013. Sungguh banyak sekali yang saya pelajari dari teman-teman yang sudah saya anggap seperti keluarga sendiri. Belajar memaknai perjalanan. Belajar arti kesetiakawanan dan solidaritas. Belajar beradaptasi dalam lingkungan apapun. Belajar memahami pendapat dan cara melakukan perjalanan. Belajar menghargai alam dan budaya. Belajar mengenai nilai-nilai sosial. Itu baru yang terlintas begitu saja dalam pikiran saya. Jika diingat-ingat lagi mungkin akan lebih banyak pembelajaran yang telah saya alami.

Tahun 2014 sudah hitungan kurang dari sebulan. Komunitas yang berdomisili utama di Yogyakarta ini kini mengalami satu masalah klasik seperti yang dialami komunitas non struktur lainnya. Regenerasi. Pembaharuan oleh generasi muda demi mempertahankan eksistensi. Teman-teman BPC memang didominasi oleh kaum pendatang yang berstatus pelajar maupun mahasiswa berasal dari kota atau daerah lain. Kini teman-teman satu per satu telah kembali ke daerah asalnya seiring dengan lulus kuliah atau sekolah, termasuk saya. Tersisa 3 teman saja yang masih menetap di Jogja. Well, sebenarnya ada 4 orang. Tapi yang satu sudah jarang sekali kumpul, ketemu bahkan lakukan perjalanan. Sedangkan, dari 3 orang tersebut, sudah lulus semua dengan 2 orang berasal dari seberang Pulau Jawa. Tinggal menghitung waktu saja hingga akhirnya hampir tidak ada yang tersisa di Jogja. Hanya menyisakan kenangan di setiap pojok kota.

Sedih jika membayangkan itu. Tahun 2010 masih tertawa bersama, berjalan bersama dan saling mengejek tapi saling membutuhkan. Berawal pertemanan yang berisikan orang-orang yang tinggal di Jogja, kemudian berkembang meluaskan pertemanan di luar kota Jogja. Bahkan keluar Pulau Jawa. Perjalinan persahabatan yang sungguh cepat dan semakin beragam. Lalu, kini di tahun 2013 komunitas ini mulai seperti ruangan tak terurus, dipenuhi sarang laba-laba tanda jarang dihuni. Ah, waktu sungguh kejam membuat kami terlena kemudian menghempaskan pada jurang perpisahan tanpa aba-aba.

Minggu lalu, saya chatting dengan salah satu foundernya. Kami membicarakan kelangsungan komunitas ini. Mau dibawa kemana? Dia mengatakan, “Terserah kalian mau dibawa seperti apa. Kalau memang tidak ada yang meneruskan sehingga komunitas ini harus bubar begitu saja pun tak apa. Aku malah berterima kasih pada kalian yang masih peduli. Buat aku, yang penting rasa kekeluargaan antara kita masih terus terjalin”. So sweet. Saya setuju. Saya tidak peduli jika bendera komunitas ini masih dapat meramaikan dunia pariwisata atau akhirnya mati layaknya bunga yang tidak mendapatkan asupan air dan mineral. Cukup buatku jika saat rambut telah beruban dengan kulit yang sudah keriput tidak tertolong, kami masih sering bertemu, bercanda, saling mengejek bahkan masih melakukan perjalanan bersama. Masih bisa saling mengisi memberi makna, menjadi peran serta saksi dalam setiap peristiwa kehidupan kami. Begitu saja sudah cukup. Apakah kalian memiliki angan yang sama?



Minggu, 01 Desember 2013

Rasa Ingin Tahu Pada Spanduk Jingga Di Bogor

Ketika tidur sudah terasa membosankan ‘tuk habiskan waktu dalam perjalanan, saya suka melihat ke luar jendela kendaraan. Saya suka mengambil duduk persis sebelah jendela. Jendela dengan ada tuas penariknya. Angin yang hilir dengan kendali saya kuasai sendiri seberapa lebar jendela dibuka. Digeser terbuka sampai mentok atau digeser hanya seruas beberapa jari saja. Terserah sesuai keinginanku.

Malam itu saya pun memilih duduk sebelah jendela. Angkutan umum saya sudah sepi penumpang. Tinggal saya satu-satunya perempuan di angkutan itu, ditemani tiga penumpang beserta sang supir. Saya memutuskan untuk terjaga hingga tujuan akhir. Hanya berwaspada saja pada hal apa pun tindak kriminalitas.

Saya suka lihat pemandangan di luar jendela. Suka melihat transformasi pemandangan dari daerah pedesaan menuju perkotaan. Diawali dengan banyaknya pohon, rumah sederhana, lampu jalan yang jarang-jarang kemudian perlahan terlihat ruko, mini supermarket 24 jam hingga akhirnya gedung bertingkat, hiruk pikuk kendaraan beserta kilauan lampu kota. Ah sudah masuk Bogor rupanya, batinku.

Clingak clinguk. Lihat kanan. Lihat kiri. Heboh. Ya begitulah tingkah laku saya bila melihat pemandangan baru atau lingkungan asing. Tidak sabar ingin menghapal deretan bangunan yang berjejer sepanjang jalanan yang saya lalui. Siapa tahu berikutnya saya akan lewat jalan yang sama dengan kendaraan pribadi. Kemudian saya dikejutkan oleh satu tempat makan dengan aksen bambu dan terpajang spanduk dengan warna jingga yang mencolok. Saya terkejut dengan tulisan menu yang terdapat pada spanduk tersebut. Hanya saya tidak bisa turun berhenti sekedar mampir tempat makan itu. Saya harus mengejar kereta terakhir ke Jakarta. Lalu saya bertekad minggu depan saya harus kembali ke Bogor untuk mencari tahu tempat makan itu kebenaran penyajian menu sesuai yang tertulis di spanduk atau itu hanya sekedar simbol. Saya langsung hubungi teman saya yang tinggal di Bogor menanyakan kesibukan di minggu depan dan kesediaan menemani saya menemukan tempat makan itu. Tadi saya tidak sempat mencari tahu nama jalan karena supir yang melaju cukup cepat dan tidak menemukan plang nama jalan serta saya tidak mengenal daerah Bogor. Minggu depannya, 28 Oktober 2013, saya berhasil meyakinkan teman saya di Bogor untuk menemani selama di Bogor yaitu tante Heny dan Deddy. Yes! Langsung semangat ’45!

Bukan Bogor namanya jika tiada hari tanpa hujan. Julukan kota hujan itu memang bukan sekedar julukan. Hujan deras menahan saya untuk tidak keluar kontrakan Tante Heny yang berada di kawasan Mega Mendung. Saya meminta Deddy ‘tuk menjemput ke atas tapi saya ga menduga Deddy sampai terobos hujan untuk menjemput saya. Benar-benar basah kuyup membuat saya merasa bersalah. Sudah menawarkan jaket saya tapi Deddy enggan memakainya karena karet di pinggang yang ketat. Katanya geli. Sedih tawaran bantuannya tidak diterima.

Akhirnya hujan reda ketika hari sudah gelap. Rupanya hampir jam tujuh malam. Pupus sudah harapan mencari tempat makan itu karena saya harus mengejar jadwal kereta jam sembilan malam. Waktunya tidak cukup kalau begini, batinku. Saya tetap turun ke bawah dan berencana membeli asinan buah yang terkenal kemudian mencoba surabi duren yang menjamur di Bogor. Mata ku terus saja menyapu seluruh bangunan yang kami lewati sepanjang jalan menuju tempat jual asinan buah khas Bogor. Hatiku terus saja berharap menemukan tempat makan itu hingga sesekali saya tidak begitu memperhatikan Deddy bicara. Maafkan saya jika kali ini rasa penasaranku telah membisukan santunku. Motor terus melaju lurus hingga melewati Terminal Baranangsiang. “ah beneran gak ketemu. Oke, I give up” pikirku. Saya merasa tempat makan itu terletak antara persimpangan menuju Ciawi hingga sebelum saya sampai di Terminal Baranangsiang.

Kali ini saya kembali memperhatikan Deddy bicara dengan seksama. Tak lama sudut mata saya menangkap spanduk warna jingga mencolok yang sedari tadi saya cari. Memang ada saatnya kita diminta menyerah dulu ‘tuk menemukan sesuatu yang kita cari. Penuh semangat ku tunjukkan Deddy jika saya ingin singgah ke tempat makan itu dulu. Deddy menuruti dengan memutar balik motor karena kami sempat terlewat. Inilah spanduk jingga mencolok itu:


Kaget melihat tulisan beberapa varian menu hiu? Saya juga. Kaget karena tercantum pada spanduk dengan tulisan yang besar dan warna yang mencolok. Benar-benar mencari perhatian. Strategi marketing yang bagus. Tapi apakah pencantuman kata “hiu” itu pun hanya suatu strategi marketing? Itu salah satu pertanyaan yang menggelitik rasa ingin tahu saya. Akhirnya saya masuk untuk mencoba mencicipi menu tempat makan itu.

Pelayan menghampiri kami setelah kami memilih tempat duduk dan memberikan selembar daftar menu kemudian kami minta untuk ditinggal sebentar sementara kami memilih menu apa yang akan disantap. Saya sempatkan mengambil foto daftar menunya. Berikut fotonya:


Sebelum ditinggal, Deddy sempat menanyakan: “Kang, hiu di menu ini beneran hiu?” sang pelayan mengiyakan jawaban Deddy. “Jenisnya apa?” Deddy tampak penasaran. Pelayan menjawab hiu yang disajikan adalah hiu tutul. Setelah itu sang pelayan meninggalkan kami untuk memilih menu. Eits, jangan berprasangka buruk dulu. Yang saya cicipi malam itu adalah kwetiaw seafood. Rasanya sungguh jauh dari kata enak. Sangat berminyak dan seafoodnya masih keras, sulit dikunyah. Very not recommended!

Rasa penasaran saya telah terlampiaskan. Tempat itu memang menjual menu sup hiu ataupun sup rica-rica, bukan sekedar strategi marketing saja. Untung saja masakan tempat itu tidak enak dan malam itu sepi pengunjung jadi saya tidak memiliki beban moral yang besar. Tapi saya masih heran, kenapa ada tempat makan yang menjual menu hiu di kota kecil seperti Bogor? Terlebih tempat makan itu bukanlah sebuah restoran cina yang lebih dikenal menyajikan menu hiu, penyu atau jenis seafood lainnya yang kini sudah dianggap langka. Tempat makan itu hanyalah tempat makan biasa layaknya rumah makan sunda maupun rumah makan lainnya yang biasa kita temui di pinggir jalan.

Saya merasa justru dengan tempat makan seperti itu yang perlu diwaspadai. Jika suasana tempat makan ditampilkan dengan sederhana seperti rumah makan lainnya, bisa jadi nanti akan bermunculan dan berjamur tanpa disadari. Dimulai hal yang biasa hingga membuat kita jadi terbiasa tanpa sadar bahwa itu adalah sebenarnya bukan hal yang biasa saja.