Minggu, 16 Maret 2014

Di Balik Rasa Kesal

Kemarin pagi, saya memulai hari dengan rasa kesal. Saya kesal karena motor kesayangan tidak mau hidup walau sudah coba di-engkol berkali-kali. Hal yang membuat saya kesal adalah saat sudah membuat janji dengan orang banyak kemudian saya mengatur waktu sedemikian rupa namun ada hal yang membuat perhitungan saya meleset karena munculnya suatu hal yang tidak saya perhitungkan. Jadi permasalahan utamanya adalah saya tidak dapat mewujudkan hal sesuai dengan ekspektasi saya. Itu menjadi masalah buat saya.

Misal, saya membuat janji jam 9 pagi di Jakarta Kota. Saya sudah membuat perhitungan akan bangun jam 7 pagi, mandi dan berdandan sekitar 30 menit kemudian sampai di stasiun jam 8 dan akan memakan waktu 30 menit perjalanan via kereta lalu 15 menit berjalan kaki hingga tempat tujuan dan saya masih mempunyai 15 menit untuk istirahat sebentar. Perhitungan nyaris berjalan baik namun kejadian motor itu menahan saya hingga jam 8 saya masih di rumah dan harus melakukan perjalanan dengan kendaraan umum. Belum lagi saya harus berjalan kaki sekitar 10 menit untuk dapat menemui kendaraan umum. Rasanya kesal itu hingga ubun-ubun.

Selama berjalan kaki itu, napas berderu sangat cepat ditambah terpacu oleh emosi kesal. Begitu sadar napas tidak beraturan disertai dengan pikiran penuh dengan ide jelek dipenuhi dengan kata sumpah serapah, membuat saya memelankan langkah kaki, tarik napas dalam dan hembuskan perlahan hingga akhirnya saya mendapatkan kendaraan umum. Di dalam kendaraan umum pun akhirnya napas saya berangsur teratur. Hembusan angin sangat menyejukkan, bahkan cukup kencang hingga akhirnya membuat rambut berantakan padahal sedang dikuncir kuda.Hembusan angin selalu berhasil membuat emosi saya menjadi tenang.

Duduk tenang, merasakan setiap angin yang menyentuh kulit, melihat pemandangan jendela yang berganti dengan cukup cepat membuat saya berpikir dengan lebih jernih. Saya selalu percaya akan teori: ada sebuah alasan dibalik suatu peristiwa. Begitu juga dengan kejadian yang saya alami. Apa alasannya? Saya dapat merasakan kembali pengalaman menggunakan kendaraan umum, hanya duduk diam sambil menikmati kesejukan angin jendela, tidak perlu memusingkan rute perjalanan, tidak harus menghadapi rasa kesal oleh gaya menyetir ugal-ugalan kendaraan umum. Tentu saja karena saya sedang berada di dalam kendaraan yang biasa membuat kesal.

Terbiasa menggunakan kendaraan pribadi hingga sampai tujuan membuat saya melupakan rasa pengalaman yang pernah saya alami hampir 2/3 hidup saya. Pengalaman nyamannya menjadi penumpang. Kali ini bertambah lagi satu pengalaman saya yang mendukung teori: ada sebuah alasan di balik suatu peristiwa. Sederhana ya? Memang. Ada yang salah dengan kesederhanaan ini? Menurut saya, menjalani hidup perlu adanya kesederhanaan untuk menjaga ego agar tidak melambung terlampau tinggi hingga akhirnya saat terjatuh kamu tidak merasakan sakit yang terlalu dalam.


Itu alasan dibalik peristiwa saya. bagaimana dengan kamu?