Sabtu, 14 Desember 2013

BPC_Jogja: Komunitas Seribu Rasa

Tahun 2010. Saya ingat sekali malam itu, ketika saya sedang paruh waktu sebagai penjaga warnet. Browsing sebuah forum online kemudian membaca halaman mengenai komunitas backpacker. Saat asik membaca tiba-tiba ada yang berbicara,

“loh suka buka halaman itu? Udah pernah ketemu sama mereka belum?”
“belum mas. Ini baru nemu. Tertarik sih”
“yaudah ikut guyubnya aja. Mereka orangnya asyik kok. Baik-baik.”

Saat itu saya memutuskan, saya akan mencoba bertemu dengan mereka. Pertemuan pertama saya langsung jatuh cinta. Ramah, penuh canda tawa, adanya rasa kekeluargaan yang sungguh kental. Mereka adalah Backpacker Community Jogja atau BPC Jogja. Bayangkan saja, selesai kumpul rapat pertama mereka langsung merencanakan lanjut bercengkrama di Pocin Kaliurang padahal waktu itu sudah pukul 9 malam lebih! Saya pun diajak. Layaknya anak kecil yang diimingi oleh lolipop, saya mengangguk tanpa ragu.

Saat di Kaliurang, kehangatan canda tawa, keakraban mereka semakin mengisi sisi hati saya yang kosong. Sepulangnya saya sampai di kamar kosan, saya masih tersenyum lebar. Mungkin tertidur dengan tersenyum juga. Ah, kesan yang sungguh menyenangkan. Pertemuan-pertemuan berikutnya pun saya ikuti dan kemudian berubah menjadi candu. Dua hari dalam seminggu menjadi agenda yang paling saya nantikan. Rabu dan Jumat. Saya tidak peduli mereka itu siapa. Menamakan kegiatan mereka apa. Yang penting saya berada di antara mereka, saya sudah senang!

Waktu itu saya tidak mau ambil pusing dengan istilah-istilah apapun. Saya tidak mau ambil pusing terhadap rencana apapun. Ikuti saja rencana mereka, pasti saya ikut senang. Hingga akhirnya saya mengikuti perjalanan mereka satu per satu kemudian membakukan rasa serta pikiran bahwa mereka adalah keluarga kecil di saat saya jauh dari keluarga sesungguhnya. Ada rasa dilindungi oleh keluarga, ada canda tawa layaknya terhadap adik atau kakak, dan juga ada konflik layaknya ketika sedang bertengkar dengan orangtua karena perbedaan prinsip dalam menjalani atau membuat keputusan hidup.

Kini sudah penghujung tahun 2013. Sungguh banyak sekali yang saya pelajari dari teman-teman yang sudah saya anggap seperti keluarga sendiri. Belajar memaknai perjalanan. Belajar arti kesetiakawanan dan solidaritas. Belajar beradaptasi dalam lingkungan apapun. Belajar memahami pendapat dan cara melakukan perjalanan. Belajar menghargai alam dan budaya. Belajar mengenai nilai-nilai sosial. Itu baru yang terlintas begitu saja dalam pikiran saya. Jika diingat-ingat lagi mungkin akan lebih banyak pembelajaran yang telah saya alami.

Tahun 2014 sudah hitungan kurang dari sebulan. Komunitas yang berdomisili utama di Yogyakarta ini kini mengalami satu masalah klasik seperti yang dialami komunitas non struktur lainnya. Regenerasi. Pembaharuan oleh generasi muda demi mempertahankan eksistensi. Teman-teman BPC memang didominasi oleh kaum pendatang yang berstatus pelajar maupun mahasiswa berasal dari kota atau daerah lain. Kini teman-teman satu per satu telah kembali ke daerah asalnya seiring dengan lulus kuliah atau sekolah, termasuk saya. Tersisa 3 teman saja yang masih menetap di Jogja. Well, sebenarnya ada 4 orang. Tapi yang satu sudah jarang sekali kumpul, ketemu bahkan lakukan perjalanan. Sedangkan, dari 3 orang tersebut, sudah lulus semua dengan 2 orang berasal dari seberang Pulau Jawa. Tinggal menghitung waktu saja hingga akhirnya hampir tidak ada yang tersisa di Jogja. Hanya menyisakan kenangan di setiap pojok kota.

Sedih jika membayangkan itu. Tahun 2010 masih tertawa bersama, berjalan bersama dan saling mengejek tapi saling membutuhkan. Berawal pertemanan yang berisikan orang-orang yang tinggal di Jogja, kemudian berkembang meluaskan pertemanan di luar kota Jogja. Bahkan keluar Pulau Jawa. Perjalinan persahabatan yang sungguh cepat dan semakin beragam. Lalu, kini di tahun 2013 komunitas ini mulai seperti ruangan tak terurus, dipenuhi sarang laba-laba tanda jarang dihuni. Ah, waktu sungguh kejam membuat kami terlena kemudian menghempaskan pada jurang perpisahan tanpa aba-aba.

Minggu lalu, saya chatting dengan salah satu foundernya. Kami membicarakan kelangsungan komunitas ini. Mau dibawa kemana? Dia mengatakan, “Terserah kalian mau dibawa seperti apa. Kalau memang tidak ada yang meneruskan sehingga komunitas ini harus bubar begitu saja pun tak apa. Aku malah berterima kasih pada kalian yang masih peduli. Buat aku, yang penting rasa kekeluargaan antara kita masih terus terjalin”. So sweet. Saya setuju. Saya tidak peduli jika bendera komunitas ini masih dapat meramaikan dunia pariwisata atau akhirnya mati layaknya bunga yang tidak mendapatkan asupan air dan mineral. Cukup buatku jika saat rambut telah beruban dengan kulit yang sudah keriput tidak tertolong, kami masih sering bertemu, bercanda, saling mengejek bahkan masih melakukan perjalanan bersama. Masih bisa saling mengisi memberi makna, menjadi peran serta saksi dalam setiap peristiwa kehidupan kami. Begitu saja sudah cukup. Apakah kalian memiliki angan yang sama?



Minggu, 01 Desember 2013

Rasa Ingin Tahu Pada Spanduk Jingga Di Bogor

Ketika tidur sudah terasa membosankan ‘tuk habiskan waktu dalam perjalanan, saya suka melihat ke luar jendela kendaraan. Saya suka mengambil duduk persis sebelah jendela. Jendela dengan ada tuas penariknya. Angin yang hilir dengan kendali saya kuasai sendiri seberapa lebar jendela dibuka. Digeser terbuka sampai mentok atau digeser hanya seruas beberapa jari saja. Terserah sesuai keinginanku.

Malam itu saya pun memilih duduk sebelah jendela. Angkutan umum saya sudah sepi penumpang. Tinggal saya satu-satunya perempuan di angkutan itu, ditemani tiga penumpang beserta sang supir. Saya memutuskan untuk terjaga hingga tujuan akhir. Hanya berwaspada saja pada hal apa pun tindak kriminalitas.

Saya suka lihat pemandangan di luar jendela. Suka melihat transformasi pemandangan dari daerah pedesaan menuju perkotaan. Diawali dengan banyaknya pohon, rumah sederhana, lampu jalan yang jarang-jarang kemudian perlahan terlihat ruko, mini supermarket 24 jam hingga akhirnya gedung bertingkat, hiruk pikuk kendaraan beserta kilauan lampu kota. Ah sudah masuk Bogor rupanya, batinku.

Clingak clinguk. Lihat kanan. Lihat kiri. Heboh. Ya begitulah tingkah laku saya bila melihat pemandangan baru atau lingkungan asing. Tidak sabar ingin menghapal deretan bangunan yang berjejer sepanjang jalanan yang saya lalui. Siapa tahu berikutnya saya akan lewat jalan yang sama dengan kendaraan pribadi. Kemudian saya dikejutkan oleh satu tempat makan dengan aksen bambu dan terpajang spanduk dengan warna jingga yang mencolok. Saya terkejut dengan tulisan menu yang terdapat pada spanduk tersebut. Hanya saya tidak bisa turun berhenti sekedar mampir tempat makan itu. Saya harus mengejar kereta terakhir ke Jakarta. Lalu saya bertekad minggu depan saya harus kembali ke Bogor untuk mencari tahu tempat makan itu kebenaran penyajian menu sesuai yang tertulis di spanduk atau itu hanya sekedar simbol. Saya langsung hubungi teman saya yang tinggal di Bogor menanyakan kesibukan di minggu depan dan kesediaan menemani saya menemukan tempat makan itu. Tadi saya tidak sempat mencari tahu nama jalan karena supir yang melaju cukup cepat dan tidak menemukan plang nama jalan serta saya tidak mengenal daerah Bogor. Minggu depannya, 28 Oktober 2013, saya berhasil meyakinkan teman saya di Bogor untuk menemani selama di Bogor yaitu tante Heny dan Deddy. Yes! Langsung semangat ’45!

Bukan Bogor namanya jika tiada hari tanpa hujan. Julukan kota hujan itu memang bukan sekedar julukan. Hujan deras menahan saya untuk tidak keluar kontrakan Tante Heny yang berada di kawasan Mega Mendung. Saya meminta Deddy ‘tuk menjemput ke atas tapi saya ga menduga Deddy sampai terobos hujan untuk menjemput saya. Benar-benar basah kuyup membuat saya merasa bersalah. Sudah menawarkan jaket saya tapi Deddy enggan memakainya karena karet di pinggang yang ketat. Katanya geli. Sedih tawaran bantuannya tidak diterima.

Akhirnya hujan reda ketika hari sudah gelap. Rupanya hampir jam tujuh malam. Pupus sudah harapan mencari tempat makan itu karena saya harus mengejar jadwal kereta jam sembilan malam. Waktunya tidak cukup kalau begini, batinku. Saya tetap turun ke bawah dan berencana membeli asinan buah yang terkenal kemudian mencoba surabi duren yang menjamur di Bogor. Mata ku terus saja menyapu seluruh bangunan yang kami lewati sepanjang jalan menuju tempat jual asinan buah khas Bogor. Hatiku terus saja berharap menemukan tempat makan itu hingga sesekali saya tidak begitu memperhatikan Deddy bicara. Maafkan saya jika kali ini rasa penasaranku telah membisukan santunku. Motor terus melaju lurus hingga melewati Terminal Baranangsiang. “ah beneran gak ketemu. Oke, I give up” pikirku. Saya merasa tempat makan itu terletak antara persimpangan menuju Ciawi hingga sebelum saya sampai di Terminal Baranangsiang.

Kali ini saya kembali memperhatikan Deddy bicara dengan seksama. Tak lama sudut mata saya menangkap spanduk warna jingga mencolok yang sedari tadi saya cari. Memang ada saatnya kita diminta menyerah dulu ‘tuk menemukan sesuatu yang kita cari. Penuh semangat ku tunjukkan Deddy jika saya ingin singgah ke tempat makan itu dulu. Deddy menuruti dengan memutar balik motor karena kami sempat terlewat. Inilah spanduk jingga mencolok itu:


Kaget melihat tulisan beberapa varian menu hiu? Saya juga. Kaget karena tercantum pada spanduk dengan tulisan yang besar dan warna yang mencolok. Benar-benar mencari perhatian. Strategi marketing yang bagus. Tapi apakah pencantuman kata “hiu” itu pun hanya suatu strategi marketing? Itu salah satu pertanyaan yang menggelitik rasa ingin tahu saya. Akhirnya saya masuk untuk mencoba mencicipi menu tempat makan itu.

Pelayan menghampiri kami setelah kami memilih tempat duduk dan memberikan selembar daftar menu kemudian kami minta untuk ditinggal sebentar sementara kami memilih menu apa yang akan disantap. Saya sempatkan mengambil foto daftar menunya. Berikut fotonya:


Sebelum ditinggal, Deddy sempat menanyakan: “Kang, hiu di menu ini beneran hiu?” sang pelayan mengiyakan jawaban Deddy. “Jenisnya apa?” Deddy tampak penasaran. Pelayan menjawab hiu yang disajikan adalah hiu tutul. Setelah itu sang pelayan meninggalkan kami untuk memilih menu. Eits, jangan berprasangka buruk dulu. Yang saya cicipi malam itu adalah kwetiaw seafood. Rasanya sungguh jauh dari kata enak. Sangat berminyak dan seafoodnya masih keras, sulit dikunyah. Very not recommended!

Rasa penasaran saya telah terlampiaskan. Tempat itu memang menjual menu sup hiu ataupun sup rica-rica, bukan sekedar strategi marketing saja. Untung saja masakan tempat itu tidak enak dan malam itu sepi pengunjung jadi saya tidak memiliki beban moral yang besar. Tapi saya masih heran, kenapa ada tempat makan yang menjual menu hiu di kota kecil seperti Bogor? Terlebih tempat makan itu bukanlah sebuah restoran cina yang lebih dikenal menyajikan menu hiu, penyu atau jenis seafood lainnya yang kini sudah dianggap langka. Tempat makan itu hanyalah tempat makan biasa layaknya rumah makan sunda maupun rumah makan lainnya yang biasa kita temui di pinggir jalan.

Saya merasa justru dengan tempat makan seperti itu yang perlu diwaspadai. Jika suasana tempat makan ditampilkan dengan sederhana seperti rumah makan lainnya, bisa jadi nanti akan bermunculan dan berjamur tanpa disadari. Dimulai hal yang biasa hingga membuat kita jadi terbiasa tanpa sadar bahwa itu adalah sebenarnya bukan hal yang biasa saja.

Sabtu, 30 November 2013

Kekalahanku Pada Hormon

Masa terlemah ku adalah saat hormon menguasaiku. Mau berusaha serasional apapun, aku kalah seketika hormon mengendalikanku. Sama seperti lewat tengah malam ini.

Tempo hari, sebelum hormon menerjang, pikiran rasionalku telah membuat keputusan. Aku harus akhiri rasa ini sebelum berkembang lebih jauh.

Malam ini, rasa yang tak dapat diungkapkan berkecamuk membabi buta menyisakan kebimbangan 'aku harus bagaimana?'.

Sungguh aku ingin meneriakkan, 'Cukup hentikan dramamu! Aku bukan gadis malammu!'. Tapi apa aku mampu? Disaat kau diam, aku malah menanti sapaanmu.

Aku benci diriku yang seperti ini. Membuatku lemah tak berdaya menghadapi rasaku sendiri.
Hei hormon, bisakah kau kembali nanti saja saat aku tlah membunuh rasa ini hingga tak bersisa?

Setelah itu, terserah kau jika ingin menelanjangi rasionalitasku sesukamu.
Tapi paling tidak, biarkan aku selesaikan dulu dengan rasa ini.

Jumat, 29 November 2013

Video: Nasi Goreng Tempe

Ada yang suka nasi goreng sekaligus suka tempe? Saya punya video tutorial memasak Nasi Goreng Tempe buatan teman saya. Deddy.

Video ini adalah hasil iseng belajar membuat video pertama kalinya. Awalnya dikirim ke saya dalam ajang pamer tunjuk kebolehan akan keisengan pertama kalinya. Menurut saya videonya bagus buat percobaan pertama kalinya.

Silakan bagi yang ingin mencoba belajar memasak Nasi Goreng Tempe. Tutorial ini sangat sederhana. Cocok bagi pemula yang baru belajar masak. Berikut videonya:



Sukabumi: Sebuah Perjalanan Persahabatan - Part 2

Berada di kota sejuk seperti Sukabumi membuat saya pelit bergerak alias mager atau malas gerak. Alasan utama saya malas gerak adalah temperatur air yang sungguh dingin membuat kulit saya enggan disentuh ditambah suhu ruangan yang sejuk disertai angin semilir di dalam rumah teman saya menyebabkan kantuk yang tak kunjung usai. Jadilah saya yang bagai onggokan pohon yang sulit digulingkan. Padahal hari sebelumnya saya sudah berencana bangun pagi untuk langsung segera keliling kota sejuk ini. Akhirnya wacana itu kandas dengan wacana semata.

Berhubung teman saya sudah harus kembali  ke Jakarta hari minggu sore, akhirnya di sekitar jam 11 saya memberanikan diri untuk berjibaku dengan kedinginan air Sukabumi. Syukurlah saya menang dan selamat dalam pertarungan dengan air dingin itu. Ternyata masih lebih dingin hati saya makanya saya menang! *halah*.

Selesai mandi Mas Dimas, sang tuan rumah, celetuk, “Yuk! kita ke PH!”. Saya bertanya “itu tempat apa? Jauh?” Saya memikirkan si bocah kecil berusia 3 bulan yang ikut diboyong oleh ibunya bila perjalanan itu jaraknya cukup jauh. “Gw juga belum pernah ke sana. Deket kok. Paling setengah jam” jawab Nisty. Oke, setengah jam tidak terlalu jauh jika ditempuh bersama bayi 3 bulan, batinku.

Pukul 12-an menjelang jam 1 siang kami mengendarai motor matic dari Karang Kengah langsung menuju Pondok Halimun. Ke Pondok Halimun juga bisa diakses menggunakan kendaraan umum dari terminal Sukabumi dengan jurusan Selabintana kemudian disambung dengan berjalan selama satu jam menuju Pondok Halimun.

Setelah sekitar 30 menit mengendarai motor akhirnya palang pintu dengan tulisan “Kawasan Pondok Halimun” sudah terlihat dari kejauhan 100 m. Itu adalah pintu masuk pertama untuk memasuki kawasan wisata Pondok Halimun dengan petugas sudah duduk manis untuk menarik retribusi sebesar Rp2.000/orang. Saya bernapas lega setelah mengendarai motor dengan kondisi jalan yang cukup banyak jebakan yaitu lubang yang cukup besar dan banyak batu cukup besar. Terutama saya boncengi teman saya yang lebih berat dari saya. Kebayang bagaimana leganya ‘kan? Hehehehe.. Saya kembali mengikuti motor teman saya dari belakang untuk mencari tempat parkir. Tapi.. loh kok jalan terus? Oh ternyata perjalanan ini belum berakhir! Saya kembali menarik napas. Hauufffft! Semangat!

Ternyata setelah pintu masuk pertama kita memasuki kawasan kebun teh Kampung Perbawati. Cukup luas dan asri dengan pemandangan yang serba hijau. Hanya saya tidak bisa puas menikmati pemandangan kanan kiri saya karena saya harus konsentrasi pada jalan yang rusaknya lebih parah dari sebelum memasuki pintu masuk. Lebar jalannya cukup 1 mobil dengan jalan yang belum diaspal secara menyeluruh. Bagian yang telah diaspal pun sudah tidak mulus. Banyak lubang dan batuan yang menghiasi sepanjang menuju kawasan Pondok Halimun sesungguhnya dengan sebelah kanan adalah ladang dengan kerendahan sekitar 1 meter. Jadi saya tidak boleh ceroboh berkendara terutama membonceng karyawan yang harus pulang sore itu. Ini lah perjalanan sesungguhnya! Membawa sang karyawan kantoran dengan selamat tanpa terjadi apapun yang dapat membuatnya tidak masuk kerja. Tanggung jawab yang sungguh berat.

15 menit dari pintu masuk pertama akhirnya kami sampai di Kawasan Pondok Halimun sesungguhnya. Kami kembali ditarik biaya retribusi sejumlah Rp10.000 untuk ber4 sudah termasuk 2 motor. Kata teman saya itu hasil negosiasi suaminya. Saya tidak tahu untuk tarif aslinya. Dari pintu masuk dari tempat petugas retribusi, saya langsung disuguhkan 3 tempat berbeda. Depan, kiri, dan kanan. Depan adalah jalur trekking menuju perkebunan teh yang bisa juga digunakan untuk motor cros, kiri adalah jalan menuju air terjun Cibeureum sekaligus alternatif jalan menuju Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, sedangkan ke kanan adalah taman kecil yang ada kali dari sumber mata air Gunung Salak.

Yah karena tema perjalanan ini adalah wisata keluarga baru bersama bayi berusia tiga bulan, kami memilih untuk bersantai saja di taman kecil. Taman ini sungguh sejuk, asri dengan dikelilingi oleh pohon rindang dan ada kali kecil yang semakin memberi kesan ketenangan dari gemericik air mengalir cukup jernih. Cocok untuk wisata keluarga dengan membawa anak usia dini belajar berkenalan dengan alam. Di taman tersebut terdapat beberapa pondok yang bisa digunakan untuk beristirahat, beberapa penjual minuman dan makanan hangat seperti kopi dan mie instan. Penjual juga menyediakan tikar bagi pengunjung yang tidak membawa alas duduk untuk digelar di rerumputan. Juga terdapat arena bermain untuk anak berupa panjat tali dan perosotan untuk melatih motorik anak. Saat saya berkunjung ke sana, ada beberapa pembangunan pondok dan keadaan arena bermain anak yang sudah tidak terawat. Sehingga alternatif bermain anak hanya bermain air di kali bersama orang tua. Berikut sekilas foto Taman Pondok Halimun:









Saya cukup terkesan dengan kesejukan dan suasana asri yang ditawarkan oleh Pondok Halimun. Satu hal yang sangat disayangkan yaitu mengenai pengelolaan sampah yang ditinggalkan serta minimnya kesadaran pengunjung untuk mengumpulkan sampah dan dibuang di tempat sampah. Saya tidak menemukan adanya tong sampah di sekitar lokasi pengunjung bersantai. Tentu saja pengunjung membuang sampah sembarangan karena tidak adanya fasilitas yang tersedia. Kesadaran pengunjung mengumpulkan sampah di satu plastik kemudian dibawa pulang sementara sambil mencari tempat sampah pun masih rendah. Sehingga sampah dapat ditemui dimana-mana. Padahal di pintu masuk taman kecil terdapat palang pengumuman yang terpajang berisi himbauan untuk menjaga kebersihan dan keasrian kawasan. 



Jika saja ada pengelolaan sampah yang lebih baik, pembangunan pondok selesai dan arena bermain anak terawat dan diperbaharui, mungkin kawasan Pondok Halimun akan menjadi kawasan hiburan alam yang dapat diandalkan oleh warga Sukabumi terutama bagi orangtua muda yang baru memiliki anak.

Selasa, 12 November 2013

Sukabumi: Sebuah Perjalanan Persahabatan - Part 1

Sudah berminggu-minggu punya rencana ke Sukabumi mengunjungi Nisty, teman dekat kuliah yang baru melahirkan, akhirnya terealisasikan hari sabtu tanggal 19 Oktober 2013 lalu. Perjalanan kali ini saya ditemani teman kuliah yang bekerja di Jakarta. Teman saya seorang perempuan bernama Putri yang biasa kami sebut Owek.

Pukul 08.20 WIB kami memulai perjalanan dari Stasiun Tebet menuju Stasiun Bogor dengan tarif tiket Rp.9.000 sudah termasuk biaya jaminan kartu seharga Rp.5.000. Kami tiba di Stasiun Bogor pukul 09.30 WIB dengan perut keroncongan karena tanpa janjian kami sama-sama belum sarapan. Kemudian kami memutuskan untuk rehat sejenak untuk makan dengan menu apa pun yang ada di luar stasiun. Jika keluar melalui pintu keluar yang lama, kita akan temui banyak pedagang berjejeran di luar pagar stasiun. Dari makanan hingga perlengkapan rumah tangga. Dari sekedar kudapan pisang goreng, tahu sumedang hingga soto mie khas bogor. Dari pedagang bermodal alas plastik saja, bakul, gerobak, hingga ruko yang berjejer rapi.

Pilihan kami jatuh pada soto mie yang berada di jejeran ruko. Menu utamanya adalah soto mie dan soto santan. Semula kami bingung dengan menu tersebut karena bagi kami dua menu tersebut tampak sama saja. Sama-sama soto. Setelah dijelaskan oleh penjual, ternyata soto mie adalah menu soto dengan tambahan menggunakan mie namun kuah kaldu dimasak tanpa santan. Sedangkan soto santan adalah menu soto tanpa tambahan mie dengan kuah kaldu dimasak menggunakan santan. Dua menu tersebut seharga Rp.12.000 sudah dengan satu porsi nasi putih. Akhirnya kami sama-sama memesan soto mie untuk menghindari santan yang dapat menyebabkan kolesterol yang tinggi.

Setelah terkenyangkan oleh seporsi soto, kami melanjutkan perjalanan berikutnya dengan naik angkutan kecil yang berjejer rapi di luar stasiun. Kami menaiki angkutan dengan nomer 03 yang menuju Terminal Baranang Siang dengan tarif seharga Rp.3.000. Tarif itu adalah hasil terkaan logika kami saja karena sebenarnya kami kurang tahu tarif sebenarnya. Sesampai di Terminal Baranang Siang, kami menyambung kendaraan dengan mobil L300 yang biasa disebut dengan bis kol. Tidak perlu masuk dalam kawasan terminal, bis kol sudah parkir berjejer di seberang terminal dan sudah banyak joki angkutan yang akan menawari dengan penuh semangat. Awalnya kami mencoba memilih angkutan yang sudah ditumpangi cukup banyak penumpang dengan harapan bis tersebut akan langsung berangkat. Hanya saja kami sudah “tertangkap” oleh joki angkutan yang menggiring kami pada bis yang dijokinya. Bis itu baru terisi oleh dua ibu paruh baya yang tampaknya baru pulang belanja. Akhirnya tanpa daya melawan, kami pun naik bis tersebut. Tarif kami pada waktu itu dikenai Rp.18.000. Kata teman kami, tarifnya memang sekitar Rp.18.000-Rp.20.000 di akhir pekan. Jika di hari biasa bisa hanya sekitar Rp.15.000. Cuma ketika saya kembali ke Jakarta pada hari selasa, saya justru dikenai ongkos Rp.20.000. Saya masih kurang mengerti dasar supir menetapkan tarif ini.

Bis kol akhirnya berangkat pukul 10.52 WIB dari Terminal Baranang Siang, Bogor menuju Sukabumi. Setelah melewati Ciawi, bis melaju dengan sungguh cepat. Rasa-rasanya kecepatan menyamai pembalap internasional yang sedang berlaga di Moto GP F1! Ditambah kecepatan tersebut dilakukan pada jalur yang cukup sempit (hanya cukup dua mobil yang berdekatan!), naik turun dan penuh belokan seperti jalur nagrek. Untung saja jalur ini tidak ada jurangnya ataupun tebing. Jika ada, entah apa yang akan saya alami. Fiuhh.. membayangkan saja sudah membuat saya berkeringat! Ahahahhaha.. Daripada saya menyaksikan kengerian yang membuat saya berpikir negatif sang supir akan menabrak, saya memutuskan untuk tidur saja.

Setelah satu jam lebih, tidur saya terbangunkan oleh sang supir yang meminta kami pindah ke bis lain yang sudah diberhentikan. Ternyata bis yang tadi kami tumpangi mengalami ban bocor sehingga kami dioper ke bis yang memiliki tujuan yang sama. Bis itu sudah dipadati oleh penumpang sebelumnya dan ditambah dengan penumpang dari bis kami membuat bis sungguh penuh. Kami kedapatan kursi di samping pak supir padahal sudah ada seorang perempuan yang menempati kursi depan. Mau tidak mau, dan mesti dimuat-muati akhirnya sang supir ditemani oleh 3 perempuan di sampingnya. Ya, kursi depan yang semestinya ditempati dua orang sudah termasuk supir, saat itu kursi depan ditempati oleh empat orang sekaligus! Perjuangan yang cukup berat untuk mengunjungi seorang teman lama dan keinginan melihat ponakan yang baru.

Kami bukan saja harus bertahan desakan berempat di kursi depan, tapi kami pun sungguh-sungguh harus bertahan melihat pemandangan di depan kami! Ganti bis ternyata tidak mengganti gaya menyupir kendaraan. Sang supir juga berkendara dengan kebut-kebutan dan kali ini kami mesti menyaksikan betapa kencangnya bis kami dan betapa dekatnya jarak bis dengan kendaraan di depan kami! Owek sampai menggenggam erat lengan saya saking terkejut dan dicampur takut menabrak. Keadaan seperti itu kami alami selama hampir dua jam hingga akhirnya kamu sampai di Terminal Sukabumi yang berada di Jalan Sudirman pada pukul 14.09 WIB. Begitu turun saya langsung menghela napas sedalam dan sepanjangnya, menandakan betapa leganya saya telah tiba di Sukabumi dengan selamat! Kalau Owek, setelah turun dia mengucap “Ya Allah, Nistiiiiii.. Perjuangan men 'ngunjungi koe..” dengan ekspresi yang saya bingung deskripsikan antara kelegaan penuh syukur, penyesalan atau ketakutan. Ahahahaha.. 

Saya menyebut perjalanan kali ini adalah sebuah perjalanan persahabatan yang membuat kami menjalani sebuah perjuangan yang tak mudah demi sebuah persahabatan dan memiliki pemaknaan yang luar biasa terhadap arti sebuah pertemuan. Perjuangan dimana jarak kami hanyalah dipisahkan oleh satu batas propinsi antara propinsi DKI Jakarta dengan Propinsi Jawa Barat.

Oh iya, demi si kecil ini lah yang mendasari kami melakukan perjalanan persahabatan ini:


Kamis, 07 November 2013

Super Late Present For You, Jo!

Saya punya travelmate seorang blogger yang jauh lebih senior dari saya dan memiliki bahasa penyampaian yang baik hingga membuat saya meminta dia untuk menulis tentang saya dari sudut pandangnya. Ternyata saya duluan yang tergelitik menulis tentang dia. Hehehehehe..

@djongiskhan. Morishige. Ajo. Tiga nama panggilan namun satu sosok dengan bermacam talenta.

Awal berkenalan validitas tampangnya sungguh meragukan disebut sebagai mahasiswa UGM di salah satu jurusan science. Bayangkan saja bertemu dengan orang yang rambut gondrong awut-awutan, baju lusuh jarang diganti, sekali lihat saja langsung bisa ditebak jarang mandi sekaligus jarang keramasan, apa yang pertama kali kamu pikirkan? Could be think he is homeless guy. Cuma benar kata pepatah “don’t judge book by its cover”. Sekali berbicara, topik apapun bisa disamber, diladenin! Musik, buku, politik, sastra, sejarah, just name it. Satu sosok dengan penuh pengetahuan dan talenta. That is him.

Blogging, sudah dilakukan bertahun-tahun. Suka iseng buat lagu sesuka-sukanya. Sudah kelarin satu novel fiksi. Semakin keren ambil angel foto dan bisa pakai kamera analog. Satu kekurangannya, being jomblo. Hahahaha.. But he is rarely over thinking about that one. He said, “someday will come. No need to worry. Remember there are lot of buddy to rely on is enough” (Then day after, he told me that he worried of being single. *sorry to mention this, Jo..hahaha*).

Saya tidak pernah meragukan kemampuan mendengarnya. Kapan pun, apa pun, dimana pun saat kita SMS “wa/ym/skype dong jo” gak lama langsung ada sapaan. Semisal sinyal internet tidak mendukung, gak lama terima SMS kasih tahu. Seringnya he will make time for you whenever you need to talk. Yesss, he is that sweet! Unfortunately, he is still single. hahahaa

Banyak hal yang membuat saya terkejut dengan tingkah lakunya. Tetiba memberitahu tentang kemajuan dalam dunia menulisnya yaitu menyelesaikan novel dan adanya tawaran menjadi freelance kontributor sebuah majalah. Tetiba whatsapp “aku bikin lagu nih. Denger ya!”. Tetiba datang paket kiriman berisi kain dari Padang, padahal saya sendiri terlupa tentang permintaan ini. Tetiba mengirimkan lagu Fix you – Coldplay yang dinyanyikan sendiri, dan paling mengejutkan berhasil buat saya menangis seketika. Mungkin saat itu sedang pre menstruasi syndrome kali yaaa.. *ngeles*. Saya yakin kejutan itu masih terus berlanjut. Aku tunggu kejutan lainnya, Jo!

Ada satu kejadian yang lucu sekaligus ngenes. Kejadian di bulan Juni 2013. Saat itu saya sudah berdomisili Jakarta, diceritakan oleh teman yang masih berdomisili di Yogyakarta. Satu malam di sebuah kedai kopi, travelmates dan teman kontrakan saya sedang kumpul nongkrong. Ternyata kumpul itu punya tujuan membicarakan sebuah suprise untuk salah satu teman kontrakan saya yang akan berulang tahun. Sebuah kejutan datang saat Ajo berceletuk, “gimana sih rasanya ngomongin suprise ulang tahun orang lain padahal itu hari ulang tahunnya sendiri?” Ternyata malam itu ulang tahunnya dan tidak ada yang sadar! Mendengar cerita ini membuat saya langsung tertawa karena memang lucu akan ketidaksadaran teman-teman tentang hari itu dan membayangkan bagaimana ekspresi mereka saat dengar omongan Ajo. Saya tidak kuasa menahan ketawa bahkan saat mengetik ini. Hahahahahahaa..

Well, saya pun waktu itu melupakan hari ulang tahunnya. Cuma sengaja gak ngucapin sambil memikirkan hal lain yang bisa saya lakukan untuk menebus kelupaan saya itu. And here is your super late birthday present, Jo! Words from those who care about you:








For you: Live long and keep rock and roll, Jo!