Minggu, 16 Maret 2014

Di Balik Rasa Kesal

Kemarin pagi, saya memulai hari dengan rasa kesal. Saya kesal karena motor kesayangan tidak mau hidup walau sudah coba di-engkol berkali-kali. Hal yang membuat saya kesal adalah saat sudah membuat janji dengan orang banyak kemudian saya mengatur waktu sedemikian rupa namun ada hal yang membuat perhitungan saya meleset karena munculnya suatu hal yang tidak saya perhitungkan. Jadi permasalahan utamanya adalah saya tidak dapat mewujudkan hal sesuai dengan ekspektasi saya. Itu menjadi masalah buat saya.

Misal, saya membuat janji jam 9 pagi di Jakarta Kota. Saya sudah membuat perhitungan akan bangun jam 7 pagi, mandi dan berdandan sekitar 30 menit kemudian sampai di stasiun jam 8 dan akan memakan waktu 30 menit perjalanan via kereta lalu 15 menit berjalan kaki hingga tempat tujuan dan saya masih mempunyai 15 menit untuk istirahat sebentar. Perhitungan nyaris berjalan baik namun kejadian motor itu menahan saya hingga jam 8 saya masih di rumah dan harus melakukan perjalanan dengan kendaraan umum. Belum lagi saya harus berjalan kaki sekitar 10 menit untuk dapat menemui kendaraan umum. Rasanya kesal itu hingga ubun-ubun.

Selama berjalan kaki itu, napas berderu sangat cepat ditambah terpacu oleh emosi kesal. Begitu sadar napas tidak beraturan disertai dengan pikiran penuh dengan ide jelek dipenuhi dengan kata sumpah serapah, membuat saya memelankan langkah kaki, tarik napas dalam dan hembuskan perlahan hingga akhirnya saya mendapatkan kendaraan umum. Di dalam kendaraan umum pun akhirnya napas saya berangsur teratur. Hembusan angin sangat menyejukkan, bahkan cukup kencang hingga akhirnya membuat rambut berantakan padahal sedang dikuncir kuda.Hembusan angin selalu berhasil membuat emosi saya menjadi tenang.

Duduk tenang, merasakan setiap angin yang menyentuh kulit, melihat pemandangan jendela yang berganti dengan cukup cepat membuat saya berpikir dengan lebih jernih. Saya selalu percaya akan teori: ada sebuah alasan dibalik suatu peristiwa. Begitu juga dengan kejadian yang saya alami. Apa alasannya? Saya dapat merasakan kembali pengalaman menggunakan kendaraan umum, hanya duduk diam sambil menikmati kesejukan angin jendela, tidak perlu memusingkan rute perjalanan, tidak harus menghadapi rasa kesal oleh gaya menyetir ugal-ugalan kendaraan umum. Tentu saja karena saya sedang berada di dalam kendaraan yang biasa membuat kesal.

Terbiasa menggunakan kendaraan pribadi hingga sampai tujuan membuat saya melupakan rasa pengalaman yang pernah saya alami hampir 2/3 hidup saya. Pengalaman nyamannya menjadi penumpang. Kali ini bertambah lagi satu pengalaman saya yang mendukung teori: ada sebuah alasan di balik suatu peristiwa. Sederhana ya? Memang. Ada yang salah dengan kesederhanaan ini? Menurut saya, menjalani hidup perlu adanya kesederhanaan untuk menjaga ego agar tidak melambung terlampau tinggi hingga akhirnya saat terjatuh kamu tidak merasakan sakit yang terlalu dalam.


Itu alasan dibalik peristiwa saya. bagaimana dengan kamu?

Jumat, 28 Februari 2014

Kisah (Berlebihan) Saya Mengenai Kegemaran Membaca Buku

Sudah lama saya tidak posting tulisan di blog ini. Selain memang sedang tidak memiliki cerita karena sedang tidak melakukan perjalanan, juga sedang tidak memiliki waktu karena sedang memiliki kegiatan baru. Kegiatan yang menurut saya seru karena ini adalah kegiatan yang baru dan sesuai dengan hobi saya. Saya akan bercerita sedikit tentang hobi ini deh.

Saya memiliki kegemaran membaca buku. Kegemaran ini saya dapatkan sejak kecil berkat mama saya yang sering mengajak anak-anaknya ke toko buku yang diawali dengan sekedar membeli buku tulis menjelang tahun ajaran baru sekolah. Setelah itu, mama saya semakin sering mengajak anak-anaknya ke toko buku di hari libur sekolah. Yah, karena kesibukan ayah saya yang jarang memiliki kesempatan mengajak kami berlibur ke tempat wisata namun kami terlalu aktif di rumah sehingga mama saya lebih memilih kami keluyuran di toko buku dari pada keluyuran di sekitar lingkungan rumah yang tidak dapat awasi tingkah kami.

Dahulu saya memang sangat aktif sekali bermain di sekitar rumah. Sering mama saya menyuruh saya dan adik saya tidur siang namun dengan diam-diam kami menyelinap ke luar rumah dan bermain, bisa sampai ke RW sebelahnya sebelah.ahahaha. Oleh karena itu, mama saya lebih suka membawa kami ke toko buku karena kami dapat dengan mudahnya di temukan di bagian buku anak. Lalu setelah sampai rumah, saya masih asyik dengan buku atau barang baru yang kami beli hingga beberapa hari tidak bermain keluar rumah. Saat di toko buku, kami bisa menghabiskan waktu berjam-jam tanpa kami sadari. Biasanya tiba di toko buku siang dan baru pulang menjelang malam. Mungkin karena melihat sikap saya itu makanya orangtua saya jadi lebih sering mengajak anaknya ke toko buku saat libur singkat daripada mengajak kami ke tempat wisata.

Kemudian saat saya sudah lebih mandiri bepergian keluar rumah tanpa ditemani orang dewasa, yaitu SMP, kegiatan ke toko buku menjadi salah satu kegiatan favorit saya. Bersekolah di Cawang dengan akses dua kali ganti angkutan umum tidak mematahkan semangat saya untuk sering menghampiri toko buku yang berada di Matraman. Bahkan jika saya bermain ke Mall mana pun bersama teman sekolah, saya sempatkan diri untuk menghampiri toko buku walaupun tidak membeli apa pun. Rasanya berada di antara buku-buku itu saja sudah senang tanpa harus membawa pulang satu pun.

Beruntungnya, saya dikelilingi lingkungan yang juga mendukung saya menggemari buku bacaan. Sejak SD, sekolah saya memiliki perpustakaan dengan pilihan buku cerita anak yang cukup banyak.Pernah terlambat masuk kelas karena keasikan membaca buku di perpustakaan, tidak mendengar bel masuk.hehehe Lalu sekolah SMP saya pun memiliki perpustakaan dengan koleksi buku yang beragam dari novel, komik baik Bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris. Ditambah dengan teman-teman SMP yang juga memiliki hobi yang sama, membaca buku. Kami sering membawa buku bacaan tersebut ke sekolah lalu bertukar buku bacaan jika sudah selesai membaca. Teman-teman saya juga sering mengajak saya ke toko buku dan sama-sama memiliki keinginan menghampiri toko buku saat kami sedang pergi bersama ke Mall di daerah Kelapa Gading. Kegiatan seperti itu berlanjut hingga saya SMA. Walau saya tidak bersama dengan teman-teman SMP, namun teman-teman SMA saya pun memiliki kebiasaan yang tidak berbeda dengan teman SMP saya. Gemar membaca buku dan mampir ke toko buku bila sedang di Mall.

Jika membicarakan koleksi buku saya, mungkin saya sudah memiliki ribuan buku jika saya masih menyimpan baik-baik buku yang pernah saya beli. Tapi namanya juga anak kecil, terkadang membawa barang pergi namun tidak membawanya pulang. Saya suka meminjamkan buku ke teman atau saudara namun buku tersebut tidak kembali. Tidak jarang juga buku tersebut dibawa pulang ke rumah saudara tanpa saya ketahui. Kehilangan terbesar saya saat saya harus kuliah di luar kota. Saya tidak dapat membawa dan juga tidak dapat mengawasi buku koleksi saya.

Setelah beberapa bulan kuliah dan saat liburan, saya sempatkan pulang ke Jakarta. Saat tiba di rumah, saya dikejutkan dengan lemari saya yang digunakan adik saya dan buku-buku saya sudah terikat rapi di gudang. Selain itu, buku-buku saya mencar kemana-mana membuat saya marah hebat ke bapak saya yang merapikan buku-buku itu. Setelah itu, saya coba mengumpulkan kembali buku-buku saya dan kembali menambah koleksi. Namun di tahun 2012, Bapak saya kembali membuat saya marah besar. Bapak saya merapikan buku-buku saya lagi, dengan diikat-ikat lagi dan bawa ke kantornya. Hingga sekarang saya tidak tahu keberadaan koleksi buku saya itu. Sejak itu, saya jarang membeli buku dan sekarang koleksi saya hanya satu lemari dengan tiga tingkat saya dengan lebar sekitar 2 meter. Sedih rasanya jika mengingat keteledoran saya menyimpan buku koleksi saya. Jika dikumpulkan, tampaknya saya bisa menghiasi satu sisi dinding kamar saya. hahh,saya membayangkan sedang menatap koleksi buku saya sehingga tertidur lelap dengan senyuman dan bermimpi indah.

Terlalu berlebihan ya? Well, namanya juga kegemaran. Apapun jenis kegemarannya, pasti kita akan memberikan usaha yang lebih agar bisa melakukan atau mewujudkan kegemaran kita kan? Itulah kisah berlebihan saya tentang kegemaran membaca buku. Bagaimana dengan kisah kamu?

Senin, 13 Januari 2014

Blusukan di Petak Sembilan - Glodok, Jakarta

Jika berkunjung ke daerah Kota Tua, Jakarta, Tampaknya belum lengkap rasanya jika tidak berkunjung ke Petak Sembilan yang terletak di kawasan Glodok. Dahulu di kawasan Glodok ada semacam waduk penampungan air kali Ciliwung.Glodok berasal dari kata grojok sebagai bunyi dari air yang jatuh dari penampungan air tersebut. Orang Tionghoa dan keturuan tionghoa menyebutnya dengan Glodok karena sulit mengucapkan kata grojok layaknya orang pribumi.

Sebelum masa kekuasaan Belanda, Glodok sudah didiami oleh orang Tionghoa. Kemudian di tahun 1740 terjadi pemberontakan kaum Tionghoa dengan pemerintahan Belanda sebagai bentuk protes terhadap pajak yang dikenakan yang sangat tinggi. Namun, pemberontakan kaum Tionghoa terkalahkan dan menyebabkan kaum Tionghoa diusir dari dalam tembok kota dan mendiami kawasan Glodok sehingga kemudian kawasan ini menjadi pusat perkampungan kaum Tionghoa. Sejak itu Glodok berubah menjadi Pecinan dan sebagai pusat perdagangan. Petak Sembilan berada agak sedikit ke dalam, tepatnya di belakang Pasar Pagi Glodok.

Terdapat banyak “harta karun” yang berada di Petak Sembilan. Mari kita telusuri harta apa saja yang ada. Mari mulai perjalanan dari Halte Busway Olimo kemudian menyeberang ke arah barat, memasuki gang Jl Kemurnian. Sebuah gerbang tinggi menghiasi depan gang jalan tersebut. Saat masuk lebih dalam lagi terlihat deretan rumah yang berjejer rapat dengan teralis tinggi menghiasi seluruh rumah. Bahkan teralis tersebut sengaja dipasang hingga lantai dua.


Adanya teralis pada rumah-rumah yang berada di kawasan Glodok memang sengaja dipasang dengan tinggi hingga mencapai langit-langit bahkan tidak sedikit yang memasang hingga menutupi lantai atas. Teralis tersebut dipasang perkiraan saat kerusuhan pada Mei 1998 dimana kaum Tionghoa menjadi target kekerasan pada masa itu. Sehingga pemasangan dilakukan dengan tujuan perlindungan diri terhadap segala jenis kekerasan hingga perusakan atau penjarahan oleh warga sekitar.

Lurus saja susuri Jl Kemurnian tersebut hingga penghujung jalan yang bercabang kiri dan kanan. Saya menyebut pertigaan tersebut sebagai Triangle of Life. Di belakang saya terdapat nuansa kewaspadaan dengan teralis yang menjunjung tinggi pada setiap rumah. Kemudian saat menoleh sebelah kanan, terdapat sebuah keramaian pasar. Saat menoleh ke kiri, terdapat sebuah Vihara.  Belakang nuansa terasa mencekam layaknya berada di bibir neraka, kanan terasa ramai dengan khidupan seperti di bumi, lalu di kiri terasa damai dengan nirvana sebagai penyejuk hati.itu lah yang saya rasakan ketika berada persis di ujung persimpangan gang. Perasaan yang unik

Dari persimpangan inilah perjalanan kita dimulai. Ada banyak hal menarik di kawasan Petak Sembilan ini. Berikut diantaranya:
a.        Vihara Dharma Bhakti
Ada sebuah vihara terbesar di Jakarta yaitu Vihara Dharma Bhakti. Pada vihara ini terdapat tiga Klenteng yaitu Klenteng Hui Ze Miao, Di Cang Wang Miao dan Xuan Tan Gong (Vihara Dharma Bhakti) yang tergabung menjadi satu kompleks bangunan. Vihara ini dibangun pada sekitar tahun 1650 oleh Letnan Quo Xun Guan dan diselesaikan pada tahun 1669 oleh Kapten Guo Jun Guan kemudian diberi nama Guan Yin Ting.  Tahun 1755 nama berubah menjadi Jin De Yuan, diberikan oleh Kapen Huang Shi Lao. Masyarakat sekitar juga menyebutnya dengan nama Kim Tek I. Banyak orang yang menggantungkan hidupnya di klenteng ini. Saat memasuki gerbang utama, pengunjung langsung disambut oleh pemandangan anak kecil serta orangtua hanya duduk di dalam kompleks vihara. Mereka adalah para gepeng yang mengandalkan belas kasih berupa receh yang diberikan oleh peziarah vihara. Pada bagian tengah Vihara Dharma Bhakti terdapat gazebo kecil untuk tempat membakar dupa dalam bentuk atap segi delapan yang merupakan lambang Pat-Kua atau delapan arah mata angin, dengan ukiran patung naga pada setiap ujung-ujungnya. Pada ujung atap terdapat cungkup berbentuk bunga lotus.



b.        Pasar Pecinan
Pasar yang terletak di belakang Vihara Dharma Bhakti bisa dibilang bukan pasar biasa. Jika menyelusuri dan berbelanja di pasar ini, akan banyak ditemukan bahan-bahan masak yang digunakan dalam masakan khas Tionghoa seperti katak, baik yang terikat masih hidup atau yang sudah direbus dan dikuliti, bulus, aneka jamur, dan masih banyak lagi bahan yang tidak dijual di pasar tradisional lainnya. Selain bahan masak, juga terdapat toko jual barang kebutuhan ziarah, perlengkapan doa serta penjual kertas angpao yang didominasi dengan warna merah. Dengan adanya jejeran toko ini membuat nuansa oriental semakin kental. Nuansa akan semakin meriah saat menjelang perayaan Imlek dengan penuh ornamen-ornamen Imlek.



c.         Gereja St Maria De Fatimah
Saat memasuki lebih dalam ke arah barat pasar, ada sebuah gereja dengan nama Gereja St Maria De Fatimah. Gereja terletak di sebelah SMA Ricci.Gereja ini menjadi hal yang unik karena adanya nuansa budaya Tionghoa yang menghiasi eksterior maupun interior gereja. Saat lihat dari luar, langsung dapat menangkap nuansa oriental dari warna merah yang menghiasi tiang dan pintu maupun jendela. Juga terdapat tulisan mandarin di atas atap. Saya mendapat informasi bahwa keadaan di dalam didominasi dengan kayu besar seperti terdapat dalam vihara. Sayangnya waktu itu pintu dalam keadaan tertutup, sedang tidak ada ibadah misa.


d.        Kuliner
Jika anda pecinta kuliner, Petak Sembilan adalah surga kecilnya perkulineran. Kuliner yang beraneka ragam dari makanan khas Tionghoa, hingga makanan tradisional Jakarta. Makanan didominasi oleh makanan non-halal yang mengandung babi, namun juga ada makanan halal. Surga kecil itu tepatnya bernama Gang Gloria. Gang gloria merupakan gang petak lima yang terletak tidak jauh dari pasar. Sebuah kios kecil yang menjual bakso besar serta cemilan seperti sate, Bak Cang serta tulisan nasi campur adalah ciri utama gang tersebut. Berikut adalah makanan yang terdapat di Gang Gloria:
-    Nasi campur, nasi hainam, babi panggang, babi panggang merah, sate babi. Tempat makan berupa kios kecil dengan bangku dipan yang berjejer di kiri dan kanan. Juga ada banyak gerobak dengan tulisan sekba dan pioh. Sekba merupakan makanan yang berisi jeroan babi dimasak dengan black soy sauce sehingga kuahnya coklat kental dengan sayur sawi asin. Sedangkan pioh adalah bahan utamanya adalah telur bulus. Bisa dibilang, Gang Gloria sangat terkenal dengan makanan serba-serbi babi.
-     Jika masuk ke dalam lagi terdapat warung kopi Tak Kie yang sudah ada dari tahun 1927. Kedai kopi ini buka mulai pukul 06.30 WIB hingga 14.00 WIB. Minuman yang khas adalah Es Kopi Tak Kie dengan harga hanya Rp.10.000 per gelasnya. Kopi ini sangat terkenal dengan racikannya yang mencampur berbagai jenis kopi seperti kopi Robusta maupun Arabika dari Lampung, Toraja, hingga Sidikalang.  namun kandungan kafeinnya rendah sehingga aman bagi lambung untuk penderita maag dan tidak menyebabkan jantung berdebar bagi yang tidak biasa konsumsi kopi. Kini pemilik telah mempunyai menu baru yaitu Kopi Tak-Tak. Berbeda dengan Es Kopi Tak Kie, untuk Kopi Tak-Tak memiliki khas aroma kopi yang kuat sehingga dapat menyebabkan jantung berdebar dan meningkatkan asam lambung bagi penderita maag. Kopi Tak-Tak ini diberi harga Rp.15.000 per gelasnya.
-    Tidak jauh dari warung kopi Tak Kie, terdapat Soto Betawi A Fung yang mulai berdagang sejak tahun 1982. Nama A Fung diambil dari nama pemiliknya yaitu Ho Tjiang Fung. Walau namanya menggunakan nama Tionghoa namun untuk makanan ini tidak mengandung babi. Jadi aman dikonsumsi bagi teman-teman muslim. Jika dilihat daftar menunya, soto betawi A Fung tidak berbeda dengan soto betawi lainnya yang menawarkan daging sapi, babat maupun campur. Namun jika cicipi baru terasa uniknya soto ini. Potongan isi yang cukup besar dan lembut serta rasa kuah yang khas membuat kolaborasi yang nikmat.
-   Ada lagi menu yang aman dicoba oleh teman muslim, yaitu rujak juhi. Di depan Soto Betawi A Fung terdapat gerobak Rujak Juhi dengan bapak paruh baya yang penuh senyum. Rujak Juhi merupakan makanan khas Betawi yang terdiri dari kentang, mie basah, ketimun, kol, selada serta dengan irisan cumi yang dikeringkan yang ditaruh paling atas kemudian disiram oleh bumbu kacang dan dilengkapi oleh kerupuk mie kuning dan emping. Sekilas isian mirip dengan gado-gado namun yang membedakan adalah irisan cumi yang memberikan aroma rasa yang berbeda dari gado-gado. Dengan harga Rp.18.000 sudah mendapatkan seporsi makanan yang bergizi lengkap yang dapat menjadi pilihan bagi teman muslim.

Rabu, 01 Januari 2014

1 Januari 2014

Sudah memasuki 1 Januari 2014.

Apa pun resolusi, harapan, mimpi di tahun 2014 semoga tercapai!

Tetap semangat. Terus positif. Selalu menjadi diri sendiri.


SELAMAT TAHUN BARU!

Kamis, 26 Desember 2013

Papandayan Sebagai Perjalanan Pertama – Part I

Selama ini saya lebih suka lakukan perjalanan ke kota atau pantai. Main ke pantai A. Kunjungi kota B. Ingin bermain ke pantai C. Penasaran mau kulineran di kota D. Hanya diantara itu saja. Kemudian saya dihadapkan oleh kalimat ajakan “Ikut Papandayan yuk!”. Sebuah ajakan menggelitik rasa ingin tahu saya. Ditambah rasa ingin mencoba hal lain selain pantai dan kota.

Kali ini kenapa saya penasaran ingin lakukan perjalanan gunung? Saya dikelilingi teman-teman yang begitu mengagumi aktivitas “penaklukan” puncak-puncak gunung. Sering kali wacana yang terlontar adalah perjalanan ke gunung ketika bertemu. Saya tidak pernah tertarik. Bahkan ketika saya berpacaran dengan seroang mahasiswa pecinta alam atau yang sering disebut mapala. Sering diajak namun sering juga tidak memiliki ketertarikan ingin ikut. Lain ceritanya jika saya diajak ke pantai atau ke kota-kota yang masih asing buat saya.

Kali itu, Saya tergelitik ingin tahu, “apa rasanya naik gunung? Apa yang membuat perjalanan gunung sebegitu diagung-agungkan?”.

Saya sudah mendengar wacana itu sekitar tiga minggu sebelumnya. Hanya saya masih belum tertarik. Muncul sebuah pemikiran “Coba lakuin sekali saja perjalanan yang belum pernah kau lakukan. Pahami perasaan yang mereka rasakan. Rasakan pengalaman mereka. Minimal cobalah sekali saja, hanya agar kau tahu rasanya.”. Atas pemikiran itu saya menjadi tertarik ingin ikut tapi saya belum juga meneguhkan tekad saya. Saya mendengar begitu banyak nasehat dan cerita-cerita yang cukup menyeramkan yang dapat terjadi jika lakukan perjalanan gunung. Ada yang cerita untuk melakukan perjalanan gunung kamu harus belajar kendalikan ego. Tidak boleh sombong. Jika kamu sombong atau terlalu menyepelekan suatu hal, alam yang akan mengajarkanmu untuk rendah hati dengan menyasari atau terjadi suatu kejadian yang tidak kamu inginkan. Nasehat dan cerita-cerita semacam itu cukup membuat saya waspada terhadap keinginan saya untuk ikut. Saya pun mempertimbangkan kondisi tubuh saya yang tidak tahan dengan suhu dingin dan mudah sakit serta sering lakukan kecerobohan. Saya hanya tidak ingin menyusahkan orang lain terhadap konsekuensi yang saya alami. Terlebih jika terjadi hal terburuk. Ah rasanya belum siap.

Terjadi perang batin yang cukup membuat saya bingung. Saya ingin lakukan perjalanan yang berbeda, ingin merasakan pengalaman yang orang lain ceritakan namun sisi lain saya sadar diri akan kemampuan diri yang memiliki fisik yang kurang tangguh serta pikiran yang sering kosong atau tidak terkontrol. Rasanya saya belum mampu menghadapi konsekuensi atas sikap yang saya lakukan di perjalanan nanti.

“Jika kamu hanya lakukan pengandaian seperti itu, kamu tidak akan lakukan apa-apa. Cukup jalani, hadapi hambatan yang jelas-jelas di depan mata.”

Atas pemikiran tersebut akhirnya saya memantapkan niat untuk ikut perjalanan ke gunung. Suatu perjalanan yang benar-benar berbeda dari yang pernah saya lakukan. Kemudian saya menyatakan keinginan ikut ke Ajo. Lalu, hal pertama yang saya tanyakan, Apa saja yang harus saya persiapkan? Persiapan kali ini pastinya berbeda dibanding perjalanan ke pantai atau kota. “kamu cukup jogging aja. Minimal seminggu sekali, kalau bisa dua kali seminggu.” begitu kata Ajo.

Dengan instruksi tersebut, saya memutuskan akan jogging. Waktu itu kegiatan saya cukup padat, sempat merencanakan jogging di malam hari tapi hal itu tidak disarankan oleh Ajo. Katanya, kasihan sama jantung yang bekerja lebih berat di malam hari. Sehingga saya jogging sendirian di sore hari di sekitar komplek rumah saja. Bila janjian dengan orang lain otomatis saya harus menyesuaikan waktu dan lakukan jogging di tempat lain akan memakan waktu yang lama untuk perjalanannya. Jadi, saya jogging sendiri saja.

Lari 5 menit saja rasanya tenggorokan dan dada saya panas sekali. Muncul rasa ingin muntah. Kemudian saya berjalan santai saja. Saat rasa panas dan mual itu berkurang, saya kembali berlari. Baru saja sebentar lari, mungkin sekitar 3 menit, kali ini kepala saya pusing disertai tangan dan kaki yang gemetar. Saya sempatkan berhenti membeli es kelapa muda rasa jeruk. Ketika berdiri menunggu pesanan, saya sempat rasakan kepala saya kunang-kunang serta badan yang lemas tidak sanggup berdiri lama. Sungguh menyeramkan buat saya hingga memunculkan pikiran-pikiran yang menciutkan semangat saya seperti, “Apa nanti sanggup? Baru jogging sebentar aja gejala fisiknya segininya, gimana di atas nanti? Masih ada waktu ubah keputusan mumpung belum berangkat loh“.

Kembali saya ingatkan diri dengan menggumamkan “Cukup jalani, hadapi hambatan yang jelas-jelas di depan mata.”. Akhirnya saya lawan keraguan saya dengan menjadikan gejala fisik sebagai PR. Gejala-gejala itu mengingatkan saya bahwa saya perlu kembali lakukan latihan fisik walau dengan olah raga ringan. Juga menjadikan evaluasi diri bahwa saya perlu lakukan fisik yang lebih intens lagi sebagai persiapan perjalanan gunung minggu depan.

Hanya saja kegiatan saya cukup padat saat siang hingga sore. Saya baru sampai rumah ketika langit sudah gelap sedangkan jogging di malam hari tidak disarankan. Alhasil saya baru bisa kembali jogging 2 hari sebelum hari keberangkatan. Hari itu cuaca cukup cerah dan jogging kali itu terasa sangat berbeda. Tidak ada gejala panas di tenggorokan atau dada bahkan tidak gemetar. Kali itu durasi lari terasa lebih lama dari pada pertama. Sekitar 10 menit lari kemudian berjalan santai saat kemudian lanjut lari kembali. Begitu seterusnya hingga akhir trek lari saya sore itu. Peningkatan yang lumayan.

“aku hanya bisa jogging 2 kali aja. Gak apa-apa?”
“itu udah cukup kok. Sekarang istirahat yang cukup aja biar badannya fit pas berangkat. Jangan begadang”

Pembicaraan itu ku anggap sebagai instruksi kedua dari Ajo. Sehari sebelum berangkat, saya usahakan untuk tidak lakukan kegiatan yang padat terutama di malam hari agar saya dapat istirahat yang cukup.
Persiapan selingan yang saya lakukan selain persiapan fisik adalah persiapan peralatan dan perlengkapan yang dibutuhkan. Ajo memberi masukan yang menurut saya kurang membantu. Saya hanya diinformasikan membawa perlengkapan pribadi saja sedang saya bingung perlengkapan pribadi tersebut terdiri apa saja. Saya tahu bahwa perlengkapan yang dibawa ketika berkunjung ke pantai dan ke kota saja memiliki kebutuhan perlengkapan yang berbeda. Begitu juga jika tujuannya ke gunung. Pastinya perlengkapan yang dibutuhkan akan sangat berbeda. Betul saja pemikiran saya itu. Saya bertanya teman saya yang lain, Heny dan Deddy, perlengkapan yang disebutkan sungguh berbeda dari yang disebutkan oleh Ajo. Dari penjelasan mereka, berikut perlengkapan yang biasanya digunakan ketika naik gunung:

Ada dua jenis perlengkapan yaitu perlengkapan tim dan perlengkapan pribadi. Perlengkapan tim minimal terdiri dari:
  • -         Tenda (beserta flysheet)
  • -          kompor mini (dan spiritus), serta alat masak mini
  • -          Matras
  • -          Bahan makanan (bahan mentah dan minuman)
  • -          Obat-obatan (band aid,betadine, parasetamol, dll)

Perlengkapan pribadi yang cukup banyak. Perlengkapan minimal yang dipersiapkan minimal terdiri dari:
  • -          Pakaian bersih, minimal 1 set untuk digunakan saat tidur (disesuaikan durasi pendakian)
  • -          Sleeping Bag
  • -          Jas hujan/raincoat
  • -          Headlamp atau senter
  • -          Jaket, sarung tangan yang tebal dan kaos kaki
  • -          Perlengkapan mandi
  • -          Peralatan makan atau nesting (gelas, piring dan sendok, diusahakan berbahan plastik agar ringan)
  • -          Minuman (air mineral 1,5 L) dan camilan pribadi (cokelat, biskuit, minuman coklat instan)

Wah persiapan yang sungguh berbeda! Saya hampir tidak memiliki satupun aitem yang disebutkan. Hanya pakaian bersih, alat mandi serta camilan saja yang dapat saya persiapkan. Sisanya? Saya tidak punya sama sekali! Untunglah saya punya banyak teman yang suka lakukan perjalanan gunung. Saya banyak dipinjami peralatan oleh Dedy, Heny dan Kojek. Mereka tahu ini perjalanan pertama saya. tampaknya mereka ingin membuat saya terkesan pada pengalaman pertama agar saya jatuh cinta pada perjalanan ke gunung.

Di hari keberangkatan, kami masih harus menghadiri pernikahan teman kami, Heny, hingga sore sehingga kami memutuskan berangkat ke Garut di malam hari. Saya punya kebiasaan buruk mengenai waktu packing. Sering sekali terlalu sibuk ke sana-sini menjelang perjalanan sehingga waktu packing dilakukan beberapa jam sebelum berangkat. Bahkan 1-2 jam sebelum berangkat pun saya masih leyeh-leyeh belum memutuskan barang apa saja yang harus saya kemas. Jangan ditiru kebiasaan seperti ini jika kamu ingin ada perlengkapan yang luput kamu masukkan tas!

Begitu juga dengan perjalanan kali ini. Kami sepakat berkumpul di Terminal Rambutan pukul 22.00 WIB. Sepulang dari resepsi teman saya, saya memutuskan untuk istirahat terlebih dahulu. Rasanya lelah sekali. Saya teringat kata Ajo, istirahat yang cukup. Kemudian saya tertidur hingga pukul 7 malam. Melihat jam, saya langsung terbangun dengan terkejut. “Ah belum packing!” Mendadak dirundung kepanikan karena 2 jam lagi harus berangkat ke Terminal, barang-barang masih tercecer “indah”, ditambah belum mandi. Lengkap sudah!

Syukurlah saya sudah terbiasa lakukan perjalanan sehingga sudah terbiasa lakukan packing secara kilat. Bisa dibilang sense of readiness saya telah terlatih atas setiap perjalanan yang selama ini saya lakukan. Termasuk hal siap-siap sebelum berangkat seperti ini. Cukup 30 menit saja waktu yang saya butuhkan untuk memasukan seluruh perlengkapan kebutuhan saya untuk perjalanan ke gunung saya pertama. Sayangnya saya tidak sempat mendokumentasikan hasil packing saya malam itu tp berikut wujud tas hasil packing saya ketika dalam perjalanan menuju puncak Papandayan:



Packing selesai – kemudian mandi – lalu berangkat! Hai Papandayan, Aku datang pada mu! Berbaiklah pada ku nanti. Aku hanya ingin mengecap keindahanmu yang begitu dipuja-puja oleh penggemarmu.


Sabtu, 14 Desember 2013

Kenalan ala Pejalan

Semalam saya baru saja bertemu secara langsung dengan seorang orang-orang yang hebat. Pertemuan yang cukup lucu. Kami dipertemukan dalam sebuah grup linimassa pejalan nusantara. Interaksi kemudian terbentuk dari chat messaging hingga social media namun belum pernah interaksi langsung, tatap muka. Belum pernah melakukan tata kenalan pada umumnya yaitu dengan berjabat tangan sambil menyebutkan nama.

Malam itu saya sudah membuat 2 janji di waktu yang hampir bersamaan dengan lokasi yang berbeda. Alhasil membuat saya serba tergesa-gesa. Saya sudah merencanakan bertemu dengan Ricco hanya sekitar 1 jam kemudian dilanjutkan perjalanan menuju janji kedua yang sudah ditentukan yaitu pukul 21.00WIB . Acara malam itu bertempat di sebuah mall di Jakarta yang direncanakan pukul 18.30 WIB dan saya tiba pukul 19.00 WIB. Ruangan sudah ramai dan membuat saya cukup kewalahan mencarinya. Kewalahan karena kami sama sekali belum pernah bertemu sebelumnya sehingga saya tidak mengenali bagaimana wajah ataupun postur tubuhnya. Ditambah ponsel Ricco yang kehabisan batere semakin menambah tantangan saya untuk menemukannya diantara puluhan hingga ratusan orang.

Saya akhirnya dengan gagah berani menyapa pria dengan bahasa tubuh yang sedang mencari atau menunggu orang lain. Hasilnya? Saya salah menyapa orang! Bukan hanya sekali, tapi hingga 3 kali hingga akhirnya saya menemukan Ricco! Cukup malu tapi cukup menyenangkan juga! J

“Mas Ricco ya?” adalah kalimat pembuka kami hingga akhirnya kami saling bercerita, bercanda dan berbagi keluh kesah. Awalnya ragu kemudian pada akhirnya kata demi kata keluar begitu saja tanpa rasa segan. 10 Menit saja waktu yang diperlukan untuk menghancurkan tembok asing hingga kami bertutur kata panjang lebar hingga 1 jam lebih. Ah! Kenapa waktu cepat sekali berlalu? Sudah waktunya saya pergi memenuhi janji kedua padahal saya masih ingin berbincang lebih lama lagi, pikirku.

Persis 10 menit sebelum saya keluar, ada teman pejalan lainnya, Satya, memberi kabar bahwa ia pun hadir dalam acara tersebut dan mengajak saya bertemu. Lagi-lagi, saya pun belum pernah bertemu sebelumnya.

“Kalau sempat setelah selesai acara ketemuan ya J
“Aku udah mau cabut mau ke Sabang nih”
“Kakak dimana? Aku samperin deh. Aku kesitu yah”
“Aku udah mau keluar dari pintu sebelah kanan”
“Kakak sudah keluar? Aku udah di meja registrasi yah pake boots”

Dengan petunjuk sepatu boots itu, saya melangkah keluar ruangan kemudian mencari sosoknya. Kali ini sungguh mudah. Begitu buka pintu dan melihat keluar, saya langsung bisa menangkap sosok perempuan muda dengan boots hitam di sudut ruangan. Tanpa ragu saya menyapa dan mendapat balasan “Hey kak!” dengan sangat ramah dan penuh semangat.

Lucu. Pertemuan ini pun terasa saya sudah mengenalnya sebelumnya. Seperti kami sudah kenal lama. Sudah kenal lebih dari berbulan-bulan, padahal usia pertemuan kami baru saja kurang dari sebulan. Sapaan itu pun tidak sebentar. Saya terbuai atas candaan dan curhat colongan kami.

Kedua pertemuan itu sungguh singkat sekali. Yang pertama sekitar 2 jam, dan yang kedua kurang dari setengah jam. Ah aku tidak puas! Aku ingin kembali bertemu dengan mereka. Kembali berbagi cerita petualangan kami, kembali berbagi rasa petualangan. Saya malah berharap saya dapat melakukan petualangan bersama mereka agar lebih mengenal pribadi masing-masing. Bukan sekedar mengenal nama saja kemudian selesai, tidak pernah bertemu kembali. Semoga satu hari nanti. Jika Tuhan menghendaki.

BPC_Jogja: Komunitas Seribu Rasa

Tahun 2010. Saya ingat sekali malam itu, ketika saya sedang paruh waktu sebagai penjaga warnet. Browsing sebuah forum online kemudian membaca halaman mengenai komunitas backpacker. Saat asik membaca tiba-tiba ada yang berbicara,

“loh suka buka halaman itu? Udah pernah ketemu sama mereka belum?”
“belum mas. Ini baru nemu. Tertarik sih”
“yaudah ikut guyubnya aja. Mereka orangnya asyik kok. Baik-baik.”

Saat itu saya memutuskan, saya akan mencoba bertemu dengan mereka. Pertemuan pertama saya langsung jatuh cinta. Ramah, penuh canda tawa, adanya rasa kekeluargaan yang sungguh kental. Mereka adalah Backpacker Community Jogja atau BPC Jogja. Bayangkan saja, selesai kumpul rapat pertama mereka langsung merencanakan lanjut bercengkrama di Pocin Kaliurang padahal waktu itu sudah pukul 9 malam lebih! Saya pun diajak. Layaknya anak kecil yang diimingi oleh lolipop, saya mengangguk tanpa ragu.

Saat di Kaliurang, kehangatan canda tawa, keakraban mereka semakin mengisi sisi hati saya yang kosong. Sepulangnya saya sampai di kamar kosan, saya masih tersenyum lebar. Mungkin tertidur dengan tersenyum juga. Ah, kesan yang sungguh menyenangkan. Pertemuan-pertemuan berikutnya pun saya ikuti dan kemudian berubah menjadi candu. Dua hari dalam seminggu menjadi agenda yang paling saya nantikan. Rabu dan Jumat. Saya tidak peduli mereka itu siapa. Menamakan kegiatan mereka apa. Yang penting saya berada di antara mereka, saya sudah senang!

Waktu itu saya tidak mau ambil pusing dengan istilah-istilah apapun. Saya tidak mau ambil pusing terhadap rencana apapun. Ikuti saja rencana mereka, pasti saya ikut senang. Hingga akhirnya saya mengikuti perjalanan mereka satu per satu kemudian membakukan rasa serta pikiran bahwa mereka adalah keluarga kecil di saat saya jauh dari keluarga sesungguhnya. Ada rasa dilindungi oleh keluarga, ada canda tawa layaknya terhadap adik atau kakak, dan juga ada konflik layaknya ketika sedang bertengkar dengan orangtua karena perbedaan prinsip dalam menjalani atau membuat keputusan hidup.

Kini sudah penghujung tahun 2013. Sungguh banyak sekali yang saya pelajari dari teman-teman yang sudah saya anggap seperti keluarga sendiri. Belajar memaknai perjalanan. Belajar arti kesetiakawanan dan solidaritas. Belajar beradaptasi dalam lingkungan apapun. Belajar memahami pendapat dan cara melakukan perjalanan. Belajar menghargai alam dan budaya. Belajar mengenai nilai-nilai sosial. Itu baru yang terlintas begitu saja dalam pikiran saya. Jika diingat-ingat lagi mungkin akan lebih banyak pembelajaran yang telah saya alami.

Tahun 2014 sudah hitungan kurang dari sebulan. Komunitas yang berdomisili utama di Yogyakarta ini kini mengalami satu masalah klasik seperti yang dialami komunitas non struktur lainnya. Regenerasi. Pembaharuan oleh generasi muda demi mempertahankan eksistensi. Teman-teman BPC memang didominasi oleh kaum pendatang yang berstatus pelajar maupun mahasiswa berasal dari kota atau daerah lain. Kini teman-teman satu per satu telah kembali ke daerah asalnya seiring dengan lulus kuliah atau sekolah, termasuk saya. Tersisa 3 teman saja yang masih menetap di Jogja. Well, sebenarnya ada 4 orang. Tapi yang satu sudah jarang sekali kumpul, ketemu bahkan lakukan perjalanan. Sedangkan, dari 3 orang tersebut, sudah lulus semua dengan 2 orang berasal dari seberang Pulau Jawa. Tinggal menghitung waktu saja hingga akhirnya hampir tidak ada yang tersisa di Jogja. Hanya menyisakan kenangan di setiap pojok kota.

Sedih jika membayangkan itu. Tahun 2010 masih tertawa bersama, berjalan bersama dan saling mengejek tapi saling membutuhkan. Berawal pertemanan yang berisikan orang-orang yang tinggal di Jogja, kemudian berkembang meluaskan pertemanan di luar kota Jogja. Bahkan keluar Pulau Jawa. Perjalinan persahabatan yang sungguh cepat dan semakin beragam. Lalu, kini di tahun 2013 komunitas ini mulai seperti ruangan tak terurus, dipenuhi sarang laba-laba tanda jarang dihuni. Ah, waktu sungguh kejam membuat kami terlena kemudian menghempaskan pada jurang perpisahan tanpa aba-aba.

Minggu lalu, saya chatting dengan salah satu foundernya. Kami membicarakan kelangsungan komunitas ini. Mau dibawa kemana? Dia mengatakan, “Terserah kalian mau dibawa seperti apa. Kalau memang tidak ada yang meneruskan sehingga komunitas ini harus bubar begitu saja pun tak apa. Aku malah berterima kasih pada kalian yang masih peduli. Buat aku, yang penting rasa kekeluargaan antara kita masih terus terjalin”. So sweet. Saya setuju. Saya tidak peduli jika bendera komunitas ini masih dapat meramaikan dunia pariwisata atau akhirnya mati layaknya bunga yang tidak mendapatkan asupan air dan mineral. Cukup buatku jika saat rambut telah beruban dengan kulit yang sudah keriput tidak tertolong, kami masih sering bertemu, bercanda, saling mengejek bahkan masih melakukan perjalanan bersama. Masih bisa saling mengisi memberi makna, menjadi peran serta saksi dalam setiap peristiwa kehidupan kami. Begitu saja sudah cukup. Apakah kalian memiliki angan yang sama?