Titik awal perjalanan diawali dari Jakarta yaitu Stasiun Tanah Abang dengan tujuan Rangkas Bitung. Pilihan jadwal pagi adalah adalah pukul 08.05, 09.30 WIB. Tiket dengan pukul 09.30 WIB sudah terpesan online dan tiba di Rangkas Bitung pukul 12.00 WIB, padahal di tiket diinformasikan waktu tiba pukul 11.03 WIB. Jadwal kereta lengkap dapat dilihat pada Gambar 1. Perjalanan tidak selesai sampai sini. Untuk mencapai Ciboleger, pintu utama Baduy, kita harus menempuh perjalanan darat lagi kurang lebih 1 jam dan hanya dapat diakses menggunakan angkutan umum dengan sistem carter. Saat ini belum ada angkutan umum dengan rute stasiun atau sekitar Rangkas Bitung ke Ciboleger yang bisa diakses setiap jam. Hanya pada sore hari dari stasiun dan pagi hari dari Ciboleger, mengikuti jam kerja pemilik angkutan yang tinggal di Ciboleger dan bekerja di Rangkas Bitung.
Gambar 1. Jadwal Kereta Tanah Abang - Rangkas Bitung di hari minggu
Sumber: http://tiket.kereta-api.co.id/, diakses 03 Juni 2014.
Jangan remehkan perjalanan 1 jam ini! Supir angkutan di Rangkas Bitung tidak jauh berbeda dengan supir metro mini di Jakarta, ditambah dengan medan perjalanan seperti di Sumatera yang berkelok dan naik turun. Tim kami pun tidak kuasa menghindari mabuk perjalanan. Hampir semua terdiam setelah 20 menit perjalanan yang diawali oleh pembicaraan heboh dengan sekali-kali dibumbui oleh canda kemudian perlahan satu per satu diam melakukan siasat masing-masing agar tidak muntah. Kenapa hampir? karena ada 1 orang yang duduk di depan supir dan rumusnya memang harus lihat ke depan untuk menghindari mabuk perjalanan.
Pukul 13.00 WIB. Sampai dengan wajah yang mulai pucat dan masih terdiam tapi ada beberapa hembusan napas lega dari beberapa orang. Lucunya, semua orang menyimpan rasa mabuknya dan berpikir hanya dirinya yang mabuk. Kami disambut oleh Kang Darman, seorang dari suku Baduy luar yang akan menjadi pemandu, dan kami segera digiring ke sebuah tempat makan untuk beristirahat sejenak. Di dalam ada seorang pria dari suku Baduy dalam yang kami kira juga sebagai konsumen tempat makan seperti kami. Kami langsung melihat menu dengan kuah hangat menjadi sasaran utama. Soto, mie instan bahkan teh hangat menjadi senjata utama kami menghilangkan rasa pusing dan mual. Perlu disarankan untuk membawa uang tunai yang sedikit berlebih untuk makan di sini karena setiap makanan dihargai dengan nilai yang terbilang tinggi. Mie instan rebus tanpa telur + seporsi nasi (lebih cocok disebut setengah porsi bila melihat porsi aslinya) dihargai Rp.20.000, misalnya.
Pukul 14.00 WIB. Perjalanan sebenarnya menuju Baduy dalam dimulai setelah melapor ke Ketua RT yang berada di desa Baduy luar. Laporan seputar jumlah pengunjung dan lama waktu kunjungan. Ada biaya retribusi yang katanya sebagai biaya administratif namun tidak tertulis jumlah pastinya. Setelah lewati perkampungan Baduy terluar, perjalanan langsung disuguhkan oleh jalanan menanjak dan pria dari rumah makan pun ikut serta dalam rombongan. Rupanya ia adalah Kang Idong, warga suku Baduy dalam dari desa Cibeo yang akan menunjukkan arah serta membantu kami menempuh perjalanan. 1,5 jam kemudian turun hujan deras. Untung perjalanan belum menempuh memasuki hutan sehingga masih menemui rumah penduduk Baduy untuk berteduh. Berteduh hampir 1 jam namun tidak ada tanda hujan akan berhenti membuat kami memutuskan untuk lanjutkan perjalanan dengan mengenakan jas hujan. Jangan terkecoh dengan langit cerah saat berangkat. Tidak ada salahnya membawa jas hujan untuk berjaga-jaga hujan mendadak seperti ini! Adanya hujan membuat perjalanan selanjutnya terasa lebih sulit karena setiap yang ditapaki akan terasa licin terutama bila tidak mengenakan sepatu atau sendal khusus mendaki. Bahkan batu kali yang tersusun rapi sebagai jalan tapak warga setempat pun seperti berubah menjadi papan seluncur. Sangat dianjurkan untuk mengenakan sepatu atau sendal khusus mendaki gunung. Tidak punya? cari yang punya dan pinjam. Jangan seperti saya yang menggunakan running shoes dan berakhir dengan terpeleset berkali-kali, hampir membahayakan diri sendiri. Pemandu lokal melihat gaya berjalan kami yang tampak ragu dan melambat akibat jalan yang licin ditambah beberapa dari kami tidak mengenakan sepatu/sendal gunung. Pemandu kemudian berinisiatif untuk meminta batang kayu yang menumpuk di rumah warga kemudian disulap menjadi trekking pole lalu dibagikan ke masing-masing. Batang kayu tersebut sangat membantu menyeimbangkan langkah saat hampir terpeleset atau membantu tubuh untuk mencegah terjatuh. Setengah jam perjalanan kemudian kami mulai memasuki hutan dan perjalanan semakin sulit karena jalanan yang ditempuh sudah didominasi oleh tanjakan curam disertai jalan setapak yang dipenuhi tanah berlumpur. Saya sangat tidak memiliki bayangan perjalanan akan penuh lumpur dan dipenuhi tanjakan curam baik naik ataupun turunnya. Kesibukan seminggu sebelum berangkat membuat saya lengah dengan tidak mencari tahu medan perjalanan dan tidak olah raga sama sekali. Tidak hanya untuk lelaki tapi juga untuk para perempuan yang ingin ke Baduy dalam, sangat saya anjurkan untuk olah raga, minimal lari/jogging paling tidak 1x 2 hari sebelum berangkat agar tubuh tidak "kaget" dengan beberapa gejala ini: mual ingin muntah, sesak, paru-paru terasa panas dan pusing.
Estimasi waktu tempuh awal diperkirakan 3-4 jam saat cuaca cerah dan tiba diperkirakan paling lambat menjelang maghrib. Estimasi tersebut mundur cukup jauh, yaitu hampir 6 jam sudah termasuk berhenti 1 jam karena hujan deras! Kami baru tiba di desa Cibeo sekitar pukul 19.30. Yap, perjalanan bisa hingga malam. Oleh karena itu, senter/head lamp sangat wajib untuk dibawa. Kita tidak pernah dapat memastikan waktu tempuh dengan berjalan kaki akan sama dengan perjalanan orang lain karena kecepatan dan daya tahan seseorang berbeda-beda. Selain itu senter/head lamp dapat digunakan saat malam karena di desa manapun di Baduy dalam tidak ada aliran listrik sama sekali. Oia, rute perjalanan kami bukan rute yang melewati desa Gajeboh yang dikenal lebih sedikit tanjakannya dan tidak terlalu curam daripada rute yang kami tempuh. Lebih tepatnya, rute yang sedikit lebih ekstrem dari jalur Gajeboh.
Saat tiba, istri pemilik rumah sudah memasakkan nasi dan sedang memasak lauk untuk makan malam. Seluruh logistik sudah sampai duluan dibawa oleh Kang Idong yang mendahului kami saat kami istirahat setelah tanjakan curam terakhir. Saya golongkan ini tanjakan terberat karena selain curam juga jaraknya lebih jauh! benar-benar butuh effort yang lebih dan tekad yang lebih besar. Saya hampir menyerah dengan beberapa kali merasa pusing dan kaki sudah gemetar tidak mampu berdiri bahkan berjalan. Untung ada Kang Idong yang berkali-kali menuntun sekaligus mencegah saya jatuh dan juga meminjamkan tenaganya saat mendaki di tanjakan terakhir. Saat itu saya merasa didorong naik Kang Idong padahal dia ada di samping saya. Orang Baduy dalam sungguh telah ditempa alam sehingga memiliki kekuatan sebesar itu. Salut!
Ternyata tuan rumah kami adalah Kang Idong dan yang memasak adalah istrinya. Tenaga begitu terkuras sehingga tidak dapat membantu pemilik rumah memasak dan juga cukup bingung dengan adat setempat, apakah memperbolehkan orang asing membantu atau memasuki dapur? Hingga akhirnya semua masakan telah matang tersedia dan waktunya makan malam bersama. Keluarga Kang Idong ikut makan bersama kecuali anaknya yang sudah tertidur. Makanan yang disajikan adalah nasi, mie instan rebus, dan ikan sarden. Sesuai dengan logistik yang kami bawa.
Selesai makan waktu sudah menunjukkan pukul 21.30, masing-masing bersiap untuk bebersih diri. Entah hanya cuci muka, ganti baju atau bilas diri. Saya sendiri memutuskan untuk bilas diri. Saya katakan berbilas karena tidak menggunakan sabun apapun yang biasa digunakan dalam ritual mandi. Walau saya bawa sabun mandi, shampoo bahkan pasta gigi tapi saya memilih menghormati peraturan masyarakat Baduy yang tidak memperbolehkan menggunakan bahan kimiawi seperti alat mandi yang biasa digunakan di kota. Saya tidak memungkiri airnya dingin tapi lebih dingin air di Pondok Salada - Papandayan. Lebih tepatnya jika disebut airnya segar sekali. Serasa semua rasa lelah terbilas bersih dan mengantar saya tidur dengan lelap hingga terbangun esoknya.
Hari senin, 26 Mei 2014 – Apa yang saya lakukan di esok harinya? jalan-jalan santai keliling desa, bermain air di kali (ini rekomendasi banget untuk dilakukan, menyegarkan dan tentram banget!), membersihkan sepatu yg penuh lumpur, menjemur pakaian yang sudah dibilas malam kemarin, hingga bicara santai di dalam rumah bersama tim dan juga keluarga Kang Idong.
Sarapan kembali disiapkan oleh Kang Idong dan Istri. Tak lama kemudian Istri Kang Idong pergi untuk aktivitas lain yaitu menumbuk padi. Lalu, Kang Idong mengajak menyiapkan masakan. Ternyata kami diperbolehkan membantu memasak. Nasi, Mie instan goreng serta telur menjadi menu utama kemudian ditambah tawaran ikan peda dan ikan asin yang menjadi menu keluarga Kang Idong. Biasanya pemandu lokal akan meminta pengunjung membawa logistik sendiri untuk dimasak selama di Baduy dan tidak jarang diminta membawa ikan asin. Masyarakat Baduy dikenal suka ikan asin tapi saat memasaknya masyarakat Baduy tidak menggunakan minyak goreng loh. Ikan asin diolah dengan cara dibakar atau diletakkan diatas penggorengan begitu saja tanpa minyak goreng. Jadi, jangan kaget bila tidak menemukan minyak di dapur. Ada baiknya kamu membawa minyak goreng sendiri dengan takaran secukupnya untuk digunakan selama kamu di Baduy. Minyak yang tersisa akan cenderung tidak digunakan masyarakat Baduy karena memiliki aturan adat tidak diperbolehkan memasak menggunakan minyak goreng.
Pukul 14.00 WIB kami pindah ke desa berikutnya, yaitu desa Cikatawarna. Tidak banyak yang kami lakukan di desa ini. Akses jalan yang tanah membuat saya kembali membersihkan sepatu yang berlumpur, membersihkan alat makan, bilas sore kemudian jalan-jalan sore keliling desa. Tuan rumah adalah sepasang muda yang baru menikah sekitar 3 tahun. Kang Sarmin adalah kepala rumah tangga dengan usia sekitar 20 tahunan, sedang sang istri bernama Arsih dengan usia menjelang 16 tahun. Saat menyiapkan makan malam, kami sudah tidak sungkan untuk membantu tuan rumah memasak. Kami membantu Arsih menyiapkan seluruh makanan untuk semua orang termasuk sang kepala rumah tangga.
Setelah makan malam, para pria melanjutkan aktivitas dengan bercanda gurau di teras rumah sedangkan para perempuan bebenah tempat untuk tidur. Tim memutuskan esok pagi akan berangkat pulang pukul 07.00 WIB, paling lambat pukul 08.00 WIB agar bisa mengejar kereta pukul 15.11 WIB. Oleh karena itu, kami mencoba tidur lebih cepat. Belum jam 22.00 WIB, semua sudah berada di dalam sleeping bag.
Hari selasa, 27 Mei 2014 – tim sudah terbangun sekitar pukul 05.00 WIB. Wudhu - shalat, beberes perlengkapan pribadi, dan memasak sarapan menjadi kegiatan utama. Sesuai rencana semalam, perjalanan pulang dimulai pukul 07.30 untuk kembali ke desa Ciboleger karena angkutan umum carteran menunggu di sana pukul 14.00 WIB.
Setelah keluar perbatasan desa Baduy dalam dan menginjak area Baduy luar, masing-masing mengeluarkan kamera dan juga menyalakan telepon genggam. Foto-foto menjadi oase perjalanan. Setiap sudut menjadi model terbaik untuk mendapatkan gambar yang bagus. Terima kasih pada masyarakat Baduy yang telah memelihara alam menjadi apa adanya.
Rute kali ini kami menemukan beberapa rumah yang agak jauh dari Cikatawarna dan tampak terpisah dari desa utama. Beberapa kali menemukan hanya ada 1-2 rumah saja, tidak bergerombol seperti layaknya pedesaan dan rumah tersebut ada pemiliknya. Beberapa kali pemandu bertegur sapa dengan pemilik rumah. Ternyata melewati desa Gajeboh menjadi rute perjalanan pulang. Rute yang jauh berbeda dari rute keberangkatan yang tidak menemukan rumah setelah melewati desa Baduy luar. Setelah beberapa jam, kami tiba di desa Ciboleger sekitar pukul 12.30-13.00 WIB. Sehingga waktu tempuh dari desa Cikatawarna dan tiba di desa Ciboleger melewati desa Gajeboh memakan waktu 5 jam. Lebih cepat dari waktu keberangkatan dikarenakan faktor cuaca yang cerah. Waktu tersebut sudah termasuk waktu berhenti untuk foto-foto. Saat berhenti untuk foto bisa terbilang lama. Sekali berhenti bisa sekitar 15 menit hingga 20 menit.
Tiba tepat waktu sesuai perkiraan awal tapi belum tentu tepat waktu mengejar jadwal kereta. Hal ini dikarenakan ritual berbelanja oleh-oleh. Tim kembali transit di warung makan yang dua hari lalu kami datangi untuk istirahat makan atau mandi. Tidak lama beberapa orang langsung mengeluarkan dompet dan pergi ke pusat hasil kerajinan Baduy luar yang berjejer rapi sebelum gerbang “selamat datang di Baduy”. Waktu berbelanja yang dihabiskan tidak tanggung-tanggung, hingga menjelang pukul 14.30 WIB dari pukul 12.30 WIB. You definitely can’t ignore power of shopping. Not only for girls, even for boys! hahaha. Sekitar pukul 15.00 WIB tim berangkat menuju stasiun. Belajar dari pengalaman, saya memilih duduk di samping supir biar tidak pusing mabuk perjalanan *egois mode: ON hahaha*. Supir kali ini agak nakal. Di tengah perjalanan, sang supir menaikkan penumpang dengan alasan ongkosnya untuk membeli rokok. Padahal statusnya kami carter angkutan tersebut, yang artinya tidak menaikkan penumpang di tengah jalan dong? Beberapa lama kemudian sang supir kembali menaikkan penumpang padahal tempat sudah terisi penuh sehingga tim menolak.
Tim tiba di stasiun Rangkas Bitung sekitar pukul 16.30 WIB. Sudah jauh terlambat dari jadwal keberangkatan kereta Kalimaya pukul 15.11 WIB. Untunglah ada jadwal kereta pukul 18.30 WIB dengan sistem penjualan tiket baru dibuka 30 menit sebelum keberangkatan. *saya lupa nama kereta maupun tujuan akhir kereta tersebut*. Tim memilih naik kereta dengan turun di Parung Panjang. Dari Parung Panjang dilanjutkan menggunakan kereta Commuter Line yang sudah terkoneksi hingga Tanah Abang. Commuter line dijadwalkan pukul 20.22 WIB dan tiba di Tanah Abang sekitar 1 jam kemudian.
Sekian catatan pengantar jika anda ingin berwisata ke Baduy. Pilihan anda untuk mengindahkan setiap saran atau anjuran atau tidak. Setiap kenyamanan seseorang berbeda-beda tapi ada baiknya untuk memperhitungkan kondisi yang dapat terjadi. Selamat menikmati alam dan kebudayaan Baduy!
Catatan Biaya:
Tiket keretaTanah Abang-Rangkas Bitung @ Rp.15.000 + {(carter angkutan umum Rp.550.000 + pemandu Rp.500.000 + Rumah warga (2 hari) Rp.300.000) : 9 orang}
- Angkutan umum dapat menampung hingga maks. 13 orang dengan konsekuensi berdesakan dengan tas, terutama bila tas carrier berkapasitas > 30 L. Bila menemukan angkutan umum dari stasiun menuju Ciboleger, tarifnya sebesar Rp.25.000 per orang.
- Biaya jasa pemandu bisa berbeda, tergantung jumlah orang dan waktu kunjungnya
- Biaya jasa menginap rumah ini diberikan kepada pemilik rumah yang ditinggali di Baduy dalam yaitu Cibeo dan Cikatawarna, bisa berbeda juga, tergantung jumlah orang dan waktu kunjungnya
- Biaya retribusi belum diketahui jumlah pastinya. Perjalanan kemarin dikenai Rp.5.000 per orang.