Waktu sudah menunjukkan pukul 21.00 WIB, sudah waktunya saya
melangkahkan kaki menuju terminal Kampung Rambutan dimana menjadi titik kumpul
saya bersama teman-teman saya. Ini adalah pengalaman pertama saya ke terminal
Kampung Rambutan sehingga saya tidak mengerti posisi depan, belakang, samping
terminal. Semua tampak sama. Kemudian saya dihampiri oleh Deli lalu diajak menghampiri teman yang lainnya
yaitu Ajo, Suci, Radius dan Putri.
Tidak perlu berlama-lama, kami langsung menaiki bus AC Primajasa yang sudah
siap berangkat. Cukup dengan Rp.20.000 sudah bisa membawa saya menuju tujuan
utama yaitu Terminal Guntur dengan nyaman dan aman serta cukup membuat saya
tertidur lelap. Pukul 03. 45 WIB saya terbangun dan tersadar bahwa kami sudah
sampai. Langit masih gelap, udara masih sejuk namun Terminal Guntur sudah ramai
oleh joki transportasi yang menawarkan jasa tumpangan bagi pendatang yang ingin
mendaki ke gunung-gunung yang ada di Garut. Langkah pertama yang kami lakukan
adalah kami harus menunggu satu teman yang menyusul dari Bandung, yaitu Zeni. Oleh karena itu, kami memutuskan untuk
mencari musholla yang berada dekat dari pos DLLAJ namun tertutup oleh jejeran
kios di depannya. Begitu sampai di musholla Ajo langsung mengeluarkan trangia,
air minum dan kopi kemudian membuat kopi untuk menghangatkan tubuh. Suci
langsung mengeluarkan SB, matras kemudian pasang posisi nyaman untuk kembali
beristirahat, memanfaatkan waktu yang ada hingga Zeni tiba diperkirakan pada
pukul 7 pagi.
Menjelang jam 6 matahari sudah mulai menyapa, Radius atau
yang lebih akrab dipanggil Chef mengajak saya ke pasar untuk belanja logistik
sebagai bekal memasak saat pendakian nanti. Hanya dengan 10 menit saja kami
tiba di pasar. Rupanya sangat dekat, pantesan teman-teman saya tidak terlalu
memusingkan perihal belanja logistik saat di Jakarta. Maklum, pendakian
pertama. Jadi kurang paham dengan strategi maupun tips persiapan. Selesai
belanja, kami langsung kembali ke musholla. Ternyata Zeni sudah tiba plus
sedang santai menikmati kopi hangat buatan Ajo. Kami masih saja bersantai,
bercanda sejenak, hitung-hitung untuk membentuk keakraban karena teknisnya kami
belum saling mengenal. Saya kenal Ajo, Suci, Deli tapi tidak kenal Radius,
Putri, Zeni. Suci kenal Radius tapi tidak kenal Putri dan Zeni. Radius dan
Putri adalah kakak adik yang tidak mengenal Zeni. Sedangkan Zeni, Deli, Ajo
sudah saling kenal saat pendakian mereka ke Gn. Gede. Untunglah masing-masing
sudah biasa melakukan perjalanan yang mengasah kemampuan sosialisasi dan
beradaptasi dengan cepat sehingga tidak perlu waktu lama untuk menghilangkan
kecanggungan selayaknya orang baru kenalan.
Keasikan bincang santai membuat kami tidak sadar waktu telah
menunjukkan pukul 10.00 WIB. Waktunya untuk merapikan segala perlengkapan dan
mencari kendaraan umum kecil untuk membawa kami ke desa terdekat Gn.
Papandayan. Ajakan setengah paksa oleh para calo di Terminal Guntur menandai
awal perjalanan kami yang sesungguhnya. Sempat terjadi sedikit ketidak-ramahan
yang dilakukan oleh calo dan supir angkutan umum. Untuk cerita lengkapnya bisa
dibaca di blog Chef, sila klik link ini:
http://www.rotatingscout.com/expedition-de-papandayan-part-1/. Sangat
disayangkan dengan adanya kejadian ini tapi saya juga tidak dapat menyalahkan
karena motif utama calo dan supir demi urusan perut semata. Bapak saya pernah
berucap, hal yang paling kejam di dunia ini adalah urusan perut. Ada benarnya,
demi mengisi kekosongan perut seseorang bisa melakukan apapun. Termasuk
melakukan pemaksaan seperti calo dan supir angkutan ini. Oke, kita lanjut saja
ya. Selalu ada maksud dibalik setiap peristiwa. Hal itu berlaku juga pada
kejadian tersebut. Terdapat 4 penumpang yang menaiki angkutan umum yang sama
ternyata memiliki tujuan yang sama, Gn. Papandayan. Perjalanan angkutan umum
ini memakan waktu (sepertinya) tidak lebih dari 1 jam. *maap, agak lupa bagian
ini :p* Tiba di desa terdekat kaki Gn. Papandayan, perut saya sudah mulai
protes keroncongan tapi kami harus mencari kendaraan pick up untuk menyambung
menuju pos pertama Gn. Papandayan. Zeni langsung menghampiri supir-supir yang
sedang standby menunggu calon-calon pendaki dengan tujuan ingin bernegosiasi
harga sewa. Tak lama Zeni kembali melaporkan hasilnya bahwa tarif harga sewa
pick up dipatok seharga Rp.200.000, tidak bisa kurang sedikitpun dan berapapun
jumlah penumpangnya. Ternyata hal ini pun yang didapatkan oleh 4 penumpang yang
bersama kami dari Terminal Guntur. Singkatnya, 4 penumpang tersebut memutuskan
untuk bergabung dengan tim kami menyewa pick up dengan alasan paling luhur
dalam perjalanan: agar murah. Sehingga tim kami bertotal 11 orang. Kata orang,
semakin ramai semakin seru. Saya setuju. Yeay! Makin rame. Perjalanan pun kami
lanjutkan tapi kali ini terdapat sensasi yang lebih aduhai. Duduk manis di bak
belakang tanpa penutup apapun, berjejelan 10 penumpang (yang satu duduk di
depan, samping pak supir) dan harus berbagi tempat seperempatnya dengan tas-tas
besar kami, cuaca semakin terik ditambah harus berhadapan dengan jalanan yang
tidak rata sehingga seringkali memacu adrenalin dengan perasaan terbang atau
terpental ke sana kemari. Benar-benar aduhai, terutama di bagian bokong, coy!
kalau saat itu Ajo tanya, saya akan menjawab: LUAR BIASAAAA. hahaha
Dalam waktu kurang lebih 1 jam saja udara terasa semakin
segar, rumah penduduk semakin jarang dan tampak sebuah pos kecil yang
dikelilingi pohon-pohon rindang. Oh rupanya sudah sampai di Cisurupan, pintu
masuk Gn. Papandayan. Deli dan Geri langsung berinisiatif turun menuju pos
untuk lapor dan mengurus Surat Ijin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI).
Prosesnya sebentar, mungkin tidak sampai 10 menit hingga kendaraan diijinkan
masuk dan memarkirkan kendaraan untuk kemudian menurunkan kami serta tas-tas
kami.
Puji Tuhan, ada warung makanan di pos pertama ini! Terkadang
kesederhanaan terasa sangat mewah saat kamu benar-benar membutuhkannya. Sama
dengan menu warung ini. Mie instan ataupun nasi goreng terasa seperti makanan
cafe terkenal ketika perut memberontak kelaparan namun hanya tersaji menu apa
adanya. Selesai menurunkan tas dan merapikan ala kadarnya, tanpa komando saya
langsung menghampiri warung makan. Saat itu saya sedang lakukan puasa nasi membuat
saya harus puas dengan mie instan rebus ditambah gorengan. Habis sudah makanan
dan minuman, wajah sudah kembali berseri, perut sudah kembali damai aman
tentram. Waktunya beres-beres diri dengan cuci muka atau urusan kamar kecil dan
juga siap-siap untuk .... foto-foto!
Perut kenyang. Wajah sudah segar. Tubuh sudah kembali
bertenaga. Foto pun sudah. Waktunya berangkat! Eits, doa bersama sejenak dahulu
agar perjalanan dapat berjalan dengan baik tanpa ada halangan yang berarti.
Oke, doa selesai. Kami segera angkat tas dan mulai melakukan pendakian. Saat
memulai, saya kembali terpikir informasi mengenai kejadian yang dapat terjadi
selama perjalanan. Ada yang mengatakan pikiran harus bersih, tidak berkata
kasar, serta melangkah dan bernafas dengan teratur atau.. bisa tersasar,
terpisah dan terburuknya kondisi tubuh turun drastis. Menyeramkan bukan? Jadi,
perjalanan saya selalu usahakan untuk bernapas teratur dan melangkah dengan
kecepatan yang stabil. Well, berkat Ajo juga yang bicara "Kita jalannya
nyantai aja. Kalo capek, pengen istirahat ngomong, ya! Jangan ditahan atau
dikuatin". Rupanya dia sudah sangat paham bagaimana pola sikap dan pikiran
orang yang baru pertama kali naik gunung. Walau dibilang untuk santai saya
tetap memutuskan untuk menjaga dinamika langkah dan atur napas agar saya tidak
memberatkan teman yang lain jika terjadi sesuatu dengan pernapasan saya serta
tidak ingin melambatkan langkah atau terlalu sering berhenti agar tidak
kesorean untuk mencapai pondok salada.
Tapi tetap saja keindahan alam itu perlu dinikmati bahkan
saat berjalan. Pemandangan batu-batu belerang dan aroma tajam khas belerang
menjadi suguhan pengalaman pertama ini. Pengalaman yang menarik dan indah. Kaki
terus melangkah tanpa melihat jam, hanya melihat ke depan atau ke samping
menikmati setiap sudut ciptaan Sang Kuasa. Bukit belerang perlahan berada di
belakang pundak dan mata mulai dimanjakan oleh bukit dengan didominasi
pohon-pohon pinus maupun cemara. Hanya 1 hal yang tidak berubah pada siang itu:
langit biru dengan awan putih. Cuaca saat itu tampak menyemangati saya untuk
terus berjalan hingga entah sudah berapa jam kaki terus melangkah, entah sudah
berapa bukit yang telah dilewati. Jalan setapak dengan menanjak, menurun,
berbelok sungguh tidak berasa saat dijalani sambil cerita atau curhat. Yap,
kebiasaan cewek bergosip atau curhat bisa dilakukan dimana saja, termasuk saat
mendaki gunung! hahahaha.. Beneran loh, tidak terasa hingga akhirnya menemukan
tanah landai yang luas dan ternyata ada tulisan Pondok Selada. Batinku sontak
bergembira "Yeay! Sampai juga! Aku berhasil tahap pertama!". Seneng
banget bisa naik tanpa terjadi hal-hal yang saya khawatirkan beberapa hari ini.
Terima kasih atas 2x jogging dan tidur yang cukup :D
Teman-teman yang pria langsung mencari posisi untuk
mendirikan kemah dan menetapkan pilihan pada satu sudut dengan dikelilingi
pohon dan rumput. Oh no! saya langsung paranoid kalau akan ada ular saat tidur
nanti malam. Kemudian saya dengar teman saya bicara "iya, di situ aja biar
nanti malam anginnya gak kenceng. Jadi gak dingin banget". oh.. begitu
pertimbangannya. Berhubung saya orangnya tidak tahan suhu dingin, akhirnya saya
terima saja keputusan mereka. Toh mereka sudah lebih berpengalaman.
Perlengkapan tenda dan masak pun dikeluarkan. Para pria mulai berbagi tugas.
Ada yang mendirikan tenda, ada yang mencari kayu kering untuk dibakar, ada yang
mulai masak. Perempuannya? duduk manis saja. hahaha.. Memang benar kata orang,
saat di gunung perempuan itu diperlakukan bak ratu oleh teman perjalanannya.
Saya sudah terlalu lapar untuk duduk diam tapi chef Radius terlalu asyik
memasak untuk diganggu. Saya putuskan membantu para pria mendirikan tenda saja
dan ambil bagian termudah saja, yaitu menancapkan tiang pancang! Keren, kaaan?
hahaha.. Tapi pendirian tenda tidak semulus penancapan tiang pancang. Ternyata
ada beberapa frame tenda yang tidak sama sehingga menyebabkan tenda tidak dapat
berdiri tegak. Deli berusaha mengakali ketimpangan frame tersebut dengan tukar
menukar posisi dan akhirnya berhasil! Keren! Makin keren lagi, tenda tersebut
buat perempuan terlebih dahulu. *tetiba muncul mahkota di atas kepala.hihihi*
Tidak lama kemudian mulai gerimis dan kami mulai panik memasukkan tas-tas ke 2
tenda yang berhasil didirikan: tenda perempuan dan tenda minimalis Ajo yg daya
tampung 2 orang. Para pria kembali mendirikan tenda 1 lagi. Tenda satu-satunya
yang harus didirikan sebelum hujan lebat karena daya tampung 2 tenda hanya
berkapasitas 8 orang sedangkan kami sejumlah 11 orang ditambah 11 tas
berkapasitas 30 liter ke atas. Tidak akan muat untuk semua. Hal tersebut membuat
pria berjibaku dengan gerimis yang mulai membesar. Sedang kami yang perempuan
memutuskan untuk mulai memasak dengan bahan apapun yang ada di dalam tas yang
bisa menghangatkan tubuh. Syukurlah ada Mie instant dan kopi. Walau seadanya
tapi cukup untuk membuat tubuh hangat agar tidak kram perut. Kira-kira setengah
jam tenda sudah berhasil didirikan dan masakan chef sudah jadi termasuk dengan
minuman hangat.
Hujan yang lebat mengharuskan kami melakukan apapun di dalam
tenda, termasuk makan bersama. Masakan Chef Radius dioper ke tenda kami kemudian
kami semua berkumpul di satu tenda. 11 orang di dalam 1 tenda berkapasitas 6
orang. Mau tahu bentukan kami bagaimana? seperti duduk di mikrolet yang 6 orang
tapi dipaksa jadi 7 orang. Posisi maju, mundur jadi trik handal. Tidak soal
posisi saja yang kami alami namun juga perlengkapan makanan bersih yang minim.
Air hujan dicampur rintikan air tanah mengotori sebagian perlengkapan makan
kami sehingga mengharuskan kami untuk menggilirkan nesting, dan sendoknya juga.
Keadaan perut yang lapar membuat kami tidak memperdulikan mengenai kebersihan
diri. Langsung tancappp, yang penting perut kenyang dan badan kembali hangat.
Tidak perlu memakan waktu yang lama untuk menghabiskan semua makanan yang ada.
Syukurnya, setelah makanan habis semua, hujan mulai reda. Selesai makan, para
pria mulai keluar tenda kami dan kami putuskan untuk istirahat saja. Saya
teringat nasihat teman sebelum berangkat untuk mengganti pakaian sebelum tidur
agar tubuh hangat. Saya lakukan hal tersebut. Wah benar kata mereka, tubuh
menjadi hangat. Begitu hujan reda, saya keluar tenda. Teman-teman sedang
menyalakan api tapi tidak unggun karena apinya hanya kecil akibat kayu yang
basah oleh hujan. Ngobrol, bercanda tidak jelas menjadi agenda utama sambil
menghangatkan tubuh. Setelah menghabiskan banyak spiritus namun tetap tidak
membuat api menjadi unggun, kami putuskan untuk beristirahat saja biar besok
bisa lanjutkan perjalanan ke puncak. Sebelum tertidur, saya kembali mengingat
pengalaman mendaki pertama yang sudah saya lewati. Hati terasa senang dan
bersyukur mengingat saya bisa melawan segala pikiran pesimis akan diri sendiri.
Senang dan bersyukur bahwa saya bisa mendaki tanpa mengalami kendala yang
berarti. Senang bahwa persiapan jogging dan tidur cukup saya bisa membawa saya
sampai pondok selada. Terima kasih Ajo buat tipsnya dan juga teman-teman yang
sudah meminjamkan perlengkapannya. Aku seneng!
APA ANDA MASIH BUJANG DAN APA MASIH SEKOLAH /SUDAH BEKERJA DAN ASAL KAMU DARI MANA
BalasHapus