Sabtu, 26 Oktober 2013

Teriakan Kemerdekaan Bosscha



Sabtu, 17 Agustus 2013 perjalanan saya di mulai pk 07.20 WIB dari Bintaro, Jakarta. Sebuah perjalanan melalui jalur bebas hambatan menuju Bandung, tiba di Bosscha - Lembang pukul 10.50 WIB. Jakarta - Lembang dengan waktu tempuh kurang 3 jam lebih menunjukkan bagaimana kepadatan lalu lintas terutama kepadatan lalu lintas di jalur Lembang yang padat merayap cenderung tidak bergerak. Upacara peringatan kemerdekaan RI di ruang serba guna Bosscha direncanakan pukul 9.30 namun hari itu dengan terpaksa baru dimulai pada pukul 11.00. Keterlambatan 1,5 Jam dari jadwal tidak mengurungkan semangat untuk mengumandangkan Indonesia Raya yang kemudian diikuti pembacaan Proklamasi oleh budayawan nasionalis, Bapak Eka Budianta, yang juga merangkap sebagai moderator pada dialog siang mengenai keberlangsungan kegiatan Observatorium Bosscha antara masyarakat, komunitas umum (salah satunya Komunitas Aleut!), Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) dan pihak Observatorium Bosscha.


Sahabat Bosscha. Lembang – Jawa Barat, 17 Agustus 2013.

Tahun 2013, Observatorium Bosscha (baca: bos’ka) tepat menginjak usia 90 tahun. Usia yang tua, lebih tua dibanding kemerdekaan RI yang telah dicecap selama 67 tahun. Angka 90 tahun itu telah menyimpan banyak sejarah yang juga memberi sumbangsih terhadap Republik Indonesia. Mari kita menilik sejarah dibangunnya observatorium yang megah ini.

Perjalanan pembangunan Observatorium Bosscha termasuk panjang. Joan George Erardus Gijsbert Voûte merupakan orang pertama yang menyadari kurangnya jumlah observatorium dan pengamat di langit selatan. Namun, Voûte menyadari tanpa gelar doktor dan dukungan dari pemerintahan kolonial Belanda, ia akan sulit merealisasikan pembangunan observatorium di langit selatan. Kemudian Voûte dikenalkan oleh pengusaha teh bersaudara dari bandung yaitu Karel Albert Rudolf Bosscha dan Rudolf Albert Kerkhoven. Adanya kolaborasi kedua pengusaha ini sebagai orang-orang terkaya dan berpengaruh di Jawa, Voûte segera mencari dukungan dari pada astronom di Belanda. Usaha Voûte berhasil menarik perhatian para astronom metropolitan baik di Leiden maupun Groningen, Belanda. Astronom Leiden setuju mendukung pembangunan observatorium dan meminta peran pengelolaan dilakukan oleh astronom Leiden.

Karel Albert Rudolf Bosscha, juga dikenal dengan sebutar KAR Bosscha, adalah seorang penggila tanaman yang juga antusias menggemari bidang astronomi berinisiatif untuk menyalurkan hobinya dengan membangun observatorium ini dibantu oleh sepupu Bosscha yaitu Rudolf Albert Kerkhoven. Pembangunan observatorium tidaklah mulus apa adanya. Bosscha sadar seandainya astronom Leiden memiliki kendali atas pengelolaan observatorium nantinya, ia tak akan bisa bersaing dalam hal otoritas ilmiah walaupun ia adalah orang kaya dan berpengaruh. Sehingga ia membentuk perkumpulan orang terpelajar bernama Nederlandsch-Indische Sterrenkundige Vereeniging (NISV—Perkumpulan Astronom Hindia Belanda) dengan Bosscha sebagai ketuanya dan Kerkhoven sebagai sekretaris. Perkumpulan ini dibangun untuk menyalurkan uang yang digunakan untuk membangun observatorium. Kok bisa? Jadi, Untuk bergabung pada perkumpulan ini, ada syarat keanggotaan dengan menyumbang sejumlah uang. Jumlah uang yang disumbangkan akan menentukan status keanggotaannya dalam perkumpulan. Begini rinciannya: pendiri organisasi menyumbang lebih dari 10.000 Gulden, penyumbang memberikan yang uang masuk sebesar 500 Gulden dan iuran anggota 100 Gulden per tahun sementara anggota biasa membayar 10 Gulden per tahun. Sekitar dari tahun 1920/1921 hingga tahun 1928, diperkirakan organisasi ini mampu menyumbangkan 1 juta Gulden untuk dana pendirian dan operasional harian observatorium. Kemudian perkumpulan ini diisi oleh orang-orang berpengaruh di Hindia Belanda pada saat itu sehingga mendapat perhatian pemerintahan kolonial hingga lembaga berpengaruh di Hindia Belanda. Keren ya caranya Pak Bosscha? J


                                 Karel Albert Rudolf. Bosscha. Sumber: http://langitselatan.com

Berkat usaha Pak Bosscha, sebidang tanah di Lembang – sekitar 15 km ke utara Bandung dan 600 m di atasnya – telah disumbangkan oleh Ursone bersaudara, pengusaha pemerahan sapi Baroe Adjak dan hak kepemilikan tanahnya telah diserahkan kepada NISV. Dikarenakan observatorium akan dibangun di Lembang, pada masa pembangunan observatorium disebut-sebut dengan Observatorium Lembang. Pembangunan Observatorium Lembang dimulai pada Januari tahun 1923 dan selesai dibangun 5 tahun kemudian yaitu pada tahun 1928. Well, sebenarnya pembangunannya tidak selama itu. Pembangunan fisik tampaknya telah selesai pada tahun 1925 karena program pengamatan sudah dimulai dengan instrumen yang ada di tahun tersebut. Namun, teleskop 60 cm  pesanan Bosscha dari perusahaan optik ternama Jerman, yaitu Carl Zeiss Jena baru tiba dan dipasangkan pada tahun 1928. Butuh waktu tujuh tahun untuk membuat dan mengantarkannya dari Jerman ke Batavia. 

Setelah pembangunan tersebut selesai, Voûte menyarankan untuk memberi nama observatorium ini dengan Observatorium Bosscha sebagai penghargaan segala upaya yang telah dilakukan oleh Bosscha selama pembangunan. Sejak itu Observatorium yang awalnya disebut observatorium Lembang dinamai Observatorium Bosscha. Setelah berdiri, Bapak Bosscha menyerahkan kepada Netherlands Indies (NISV) sebagai pengelola dan kembali mengurusi usaha perkebunan tehnya di Malabar. Sayangnya bapak Bosscha tidak lama menikmati waktunya di observatoriumnya ini karena tidak lama kemudian bapak Bosscha meninggal di Malabar pada November 1928 dikarenakan sakit tetanus. Walau pembangunan telah selesai pada tahun 1928, Publikasi Internasional Observatorium Bosscha pertama kali dilakukan pada tahun 1933. Pada 17 Oktober tahun 1951, NISV dibubarkan kemudian pengelolaan Observatorium Bosscha diserahkan pada pemerintah RI yang diterima oleh Mendikbud pada waktu itu, yaitu Bapak Wongsonegoro, kemudian menyerahkan pengelolaannya dibawah Technische Hoogeschool te Bandung (nama sebelum diganti menjadi ITB) hingga kini.

Foto masa pembangunan Observatorium Bosscha 
Joan Voûte mengangkat topinya dan K.A.R. Bosscha berdiri disebelahnya 

Perjalanan tersebut sangat menarik membuat terus bertanya tapi cukup pengenalan singkat sejarahnya. Kini mari kita mengintip perannya.

Sejak dibangun, Observatorium Bosscha merupakan satu-satunya observatorium tertua dan terbesar di Indonesia dengan teleskop terbesar ketiga di seluruh dunia. (Ya dunia, bukan sekedar nasional loh ya. Kalau nasional malah satu-satunya teleskop terbesar). Selain itu, Observatorium Bosscha pun menjadi lembaga penelitian astronomi terbesar di Asia Tenggara. Diulang ya, se-Asia Tenggara meeen! Pada masanya, teknologi yang digunakan di observatorium ini adalah yang tercanggih. Bayangkan saja pada tahun 1928 dengan teleskop dengan garis tengah 60 cm dan panjang fokus 10 meter  itu mampu mencitrakan bintang yang jauhnya sudah tidak dapat diukur dengan ukuran kilometer atau mil tapi dengan kecepatan cahaya. Dan yang paling penting, Observatorium Bosscha merupakan lembaga penelitian astronomi yang memegang peran penting dalam peneropongan pada langit bagian selatan. Diwaktu tertentu, peneropongan bintang hanya dapat dilihat dengan jelas dari Observatorium Bosscha dan observatorium bagian langit utara menjadi sangat bergantung pada hasil peneropongan dari Observatorium Bosscha. Jadi, kiprah Observatorium Bosscha ini bukan hanya menasional namun juga internasional. Bisa dikatakan selain sebagai tonggak penelitian dan pengembangan ilmu astronomi di Indonesia, Observatorium Bosscha pun berperan sebagai kunci saksi mata dunia untuk peradaban astronomi di langit selatan. Keren!

Sekarang kita lihat bagaimana situasi kehidupan Observatorium Bosscha maupun lingkungannya terkini. Pada tahun 2004, Observatorium Bosscha dinyatakan sebagai Benda Cagar Budaya oleh Pemerintah dan dilindungi oleh UU No. 2/1992 tentang Benda Cagar Budaya. Kemudian pada tahun 2008 Pemerintah menetapkan Observatorium Bosscha sebagai salah satu Objek Vital Nasional yang harus diamankan. Nah, ini dia yang mengundang pertanyaan, “dilindungi UU kemudian ditetapkan jadi objek yang harus diamankan”? ada apa? Kenapa mesti sampai dilindungi UU dan Pemerintah sampe susah payah menetapkan menjadi objek yang harus diamankan?

       Saya pernah membaca di salah satu artikel bahwa Observatorium Bosscha telah menjadi milik dunia. Pernyataan itu tampaknya tidak memiliki arti apapun. Toh nyatanya Observatorium Bosscha kini sedang berperang melawan modernisasi lokal yang membabi buta. Kegiatan manusia yang tidak ada hentinya 24 jam sehari, 7 hari seminggu tidak mengenal siang atau malam dan berkembangnya keragaman jenis kegiatan manusia mendorong para investor dan para pengembang untuk menciptakan fasilitas-fasilitas penunjang dan menghiasi pembangunan dimana-mana. Pembangunan yang mengatasnamakan sebagai pemenuhan kebutuhan manusia walau harus menggerus jejak sejarah perjalanan manusia itu sendiri. Kehidupan yang berkilau di malam hari pun menjadi tak terelakkan. Dampaknya langit bersih yang penuh ditaburi bintang pun telah jarang didapati bahkan di sekitaran lingkungan Observatorium Bosscha. Undang-Undang maupun Kepmen pun hanya menjadi pernyataan hitam di atas putih bahkan dibuatkan plang besar  dan dipasang di kawasan terluar pun tidak membawa perubahan apa-apa karena Undang-Undang tersebut baru mengatur bangunan fisik dan halaman yang masuk dalam wilayah Observatorium Bosscha. Padahal sebagai tempat peneropongan bintang perlu adanya ruang yang cukup untuk meminimalisir adanya pencahayaan dari bangunan ataupun aktivitas dan juga penyaringan polusi cahaya sedangkan pembangunan semakin mendesak dan menghimpit Observatorium Bosscha. Kini, Observatorium Bosscha seperti sedang “berperang” dengan pengembang. Lahan Observatorium Bosscha ternyata belum memiliki sertifikat tanah dan lokasinya berada dalam himpitan lahan milik pengembang yang kita sebut saja sebagai Perkasa. (*dengar-dengar pengembang ini membeli lahan secara bertahap sehingga Observatorium Bosscha terhimpit kayak sekarang. Tapi itu masi isu aja siiih. belum saya teliti lebih jauh.ehehe*) 

Perkasa memiliki perencanaan membangun kawasan wisata terpadu di dua lahan yang dimiliki yaitu lahan di barat daya dan di timur laut. Naasnya, bila dilihat dari peta wilayah Observatorium Bosscha tampak telah kalah sebelum berperang. Observatorium Bosscha memiliki luas 1,8 ha sementara Perkasa memiliki lahan dengan luas 61,62 ha. Oke, Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) pun beri sumbangsih lahan namun luasnya hanya 0,6 ha. Yak, mari kita jumlahkan Observatorium Bosscha 1,8 ha + BMG 0,6 ha = 2,4 ha, melawan Perkasa yang lahannya seluas 61,62 ha. Bikin ha..ha..ha..ha.. ahsudahlah.. Gimana dengan sekitaran lainnya? Dalam radius 1 km atau lahan seluas 400 ha di sekitar Bosscha, ada lima lokasi yang sudah berubah fungsi. Apa saja? Akan saya jabarkan sebagai berikut:
Barat Laut        : Terdapat kebun campuran seluas 187,36 ha
Barat                : Terdapat pemukiman penduduk seluas 61,88 ha
Barat Daya       : Terdapat sawah/tegalan/kebun campuran seluas 119,38 ha
Timur               : Terdapat peternakan seluas 1,8 ha dan emplasemen 12,5 ha



Untuk lebih perjelas bagaimana pemetaannya, berikut pencitraan yang saya ambil dari Google Earth dengan menggunakan ponsel Lenovo:



 Berikut Pencitraan lebih dekatnya:


Dua foto pencitraan di atas terlihat jelas bahwa sekeliling Observatorium Bosska telah cukup padat oleh pemukiman. Bagaimana nanti saat Perkasa merealisasikan wisata terpadunya ya? Kemungkinan besar peningkatan polusi cahaya tidak dapat dihindari dan semakin mengancam kegiatan peneropongan Observatorium Bosscha.

Pemerintah Kabupaten Bandung telah memberikan ijin kepada Perkasa sehubungan dengan perencanaan pembangunan wisata terpadu. Dalam ijin tersebut Pemkab menyertai salah satu syarat: pembangunan tidak mengganggu kegiatan peneropongan bintang di Bosscha. Bisa dibilang persyaratan ini sedang menjadi pelamban rencana Perkasa karena proses perijinan yang belum tuntas. Pada artikel di tahun 2006, Menristek Dr Kusmayanto berjanji lakukan segala upaya menyelamatkan Bosscha dan juga ada rencana kerja sama dengan Menbudpar (Jero Wacik pada waktu itu). Sudah tujuh tahun, meeen! Mau ngomong ‘kerjaan pemerintah ngapain aja sih?’ tapi terbentur juga dengan pertanyaan ‘memang apa yang sudah kamu lakukan?’

Boleh saja mengkritik regulasi birokrasi Indonesia yang masih tumpang tindih antara regulasi pusat dengan daerah. Hanya saja lebih baik dibarengi dengan tindakan nyata dari diri sendiri. Jangan sampe “maling teriak maling”. Bagaimana bantunya? Gampang banget! Pertama, yuk kita bantu kurangi polusi cahaya dari langkah paling kecil, matikan lampu yang tidak digunakan saat malam. Kurangi kegiatan malam atau begadang juga bisa jadi langkah kurangi penggunaan lampu, sekaligus menyehatkan badan. Jika memiliki taman, bisa memanfaatkan potongan keramik yang ditanamkan di sepanjang jalan setapak taman. Potongan keramik tersebut merupakan cara yang digunakan di sekitar halaman Observatorium Bosscha dengan memanfaatkan pantulan cahaya bulan di permukaan keramik tersebut. Cara ini efektif dalam meminimalisir polusi cahaya, loooh.. Potongan keramik dapat dilihat di bawah ini:


Kedua, jika kamu ingin ikutan “teriakan” kepedulian Observatorium Bosscha bersama teman-teman lain yang juga peduli bisa gabung “Sahabat Bosscha”. Kelompok relawan ini baru saja dibentuk pada tanggal 17 Agustus 2013 lalu bersamaan dengan perayaan 90 tahunnya Observatorium Bosscha yang saya ceritakan paling atas. Kegiatan terakhirnya tanggal 03 Oktober lalu kelompok ini melakukan kunjungan ke rumah dan makam Pak Bosscha di Malabar dan kunjungan boleh diikuti oleh siapa saja. Tertarik? Sila follow@FoBosscha atau Like Fans Page Facebook: Friends of Bosscha Observatory.

Perwakilan beberapa observatorium di beberapa negara sudah menunjukkan kepeduliannya terhadap Observatorium Bosscha. Bagaimana dengan tuan rumah? Sudah ada beberapa pihak yang telah menunjukkan sikap peduli terhadap Observatorium Bosscha namun suara mereka masih belum cukup untuk didengar. Mari kita ikut peduli! Mulailah peduli dan beraksi dari diri sendiri, dari hari ini juga.


"Ga mesti suka astronomi dulu ‘tuk peduli. Jangan sampai digerus sama pengembang dulu baru meneriakkan keprihatinan” cupacupicup.blogspot.com 

5 komentar:

  1. Barangkali mengubah regulasi mengenai penggunaan lahan sekitar Bosscha bisa jadi pilihan. namun sebenarnya ada pilihan lain, yaitu pemutakhiran alat-alat Bosscha. Mahal memang, tapi demi kontribusi indonesia terhadap dunia ilmu astronomi masa pemerintah tak mau mengeluarkan secuil dana? Terlebih teleskopnya masih peninggalan zaman kolonial..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebaiknya Bosscha nggak sah ikut berkontribusi terhadap ilmu astronomi gan. Nanti para peramal nggak laku lagi karna pergerakan bintang bisa dilhat dan dianalisa sendiri lewat websitenya Bosscha which in turn akan mematikan pasaran para peramal

      Hapus
    2. Oke,

      1. Udah jadi rahasia umum kalau nunggu langah dari pemerintah tuh lamaaaa bangeeett. Ibarat kalau orang sakit setelah meninggal atau diliput beberapa TV nasional baru pada grasak-grusuk pengen tunjuk diri.

      2. Status kepemilikan masih ngambang. Pemerintah daerah akan bilang bahwa observatorium itu milik ITB sedangkan ITB angkat bicara bahwa mereka hanya dititipkan oleh pemerintah karena sejarah awalnya serah terima observatorium memang diserahkan ke Menteri kemudian dititipkan ke ITB untuk dikelola dan kepemilikannya milik negara. Katanya sih gituuu..

      3. Mestinya dengan hasil peneropongan yang lebih baik malah membantu peramal untuk menghitung prediksi lebih tepat menggunakan rasi bintang. Itu juga kalau peramalnya yang pake rasi bintang sebagai dasar prediksinya. Kalau peramal yang pake wangsit-wangsitan yasalam..ahahaha

      Hapus
  2. Gilak bisa nulis sepanjang ini. Pas selesai nulis udah tumbuh rumput liar di sekitarmu?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau alam sudah berkonspirasi, siapalah saya yang dapat melawannya? *cielah

      Hapus