Kamis, 26 Desember 2013

Papandayan Sebagai Perjalanan Pertama – Part I

Selama ini saya lebih suka lakukan perjalanan ke kota atau pantai. Main ke pantai A. Kunjungi kota B. Ingin bermain ke pantai C. Penasaran mau kulineran di kota D. Hanya diantara itu saja. Kemudian saya dihadapkan oleh kalimat ajakan “Ikut Papandayan yuk!”. Sebuah ajakan menggelitik rasa ingin tahu saya. Ditambah rasa ingin mencoba hal lain selain pantai dan kota.

Kali ini kenapa saya penasaran ingin lakukan perjalanan gunung? Saya dikelilingi teman-teman yang begitu mengagumi aktivitas “penaklukan” puncak-puncak gunung. Sering kali wacana yang terlontar adalah perjalanan ke gunung ketika bertemu. Saya tidak pernah tertarik. Bahkan ketika saya berpacaran dengan seroang mahasiswa pecinta alam atau yang sering disebut mapala. Sering diajak namun sering juga tidak memiliki ketertarikan ingin ikut. Lain ceritanya jika saya diajak ke pantai atau ke kota-kota yang masih asing buat saya.

Kali itu, Saya tergelitik ingin tahu, “apa rasanya naik gunung? Apa yang membuat perjalanan gunung sebegitu diagung-agungkan?”.

Saya sudah mendengar wacana itu sekitar tiga minggu sebelumnya. Hanya saya masih belum tertarik. Muncul sebuah pemikiran “Coba lakuin sekali saja perjalanan yang belum pernah kau lakukan. Pahami perasaan yang mereka rasakan. Rasakan pengalaman mereka. Minimal cobalah sekali saja, hanya agar kau tahu rasanya.”. Atas pemikiran itu saya menjadi tertarik ingin ikut tapi saya belum juga meneguhkan tekad saya. Saya mendengar begitu banyak nasehat dan cerita-cerita yang cukup menyeramkan yang dapat terjadi jika lakukan perjalanan gunung. Ada yang cerita untuk melakukan perjalanan gunung kamu harus belajar kendalikan ego. Tidak boleh sombong. Jika kamu sombong atau terlalu menyepelekan suatu hal, alam yang akan mengajarkanmu untuk rendah hati dengan menyasari atau terjadi suatu kejadian yang tidak kamu inginkan. Nasehat dan cerita-cerita semacam itu cukup membuat saya waspada terhadap keinginan saya untuk ikut. Saya pun mempertimbangkan kondisi tubuh saya yang tidak tahan dengan suhu dingin dan mudah sakit serta sering lakukan kecerobohan. Saya hanya tidak ingin menyusahkan orang lain terhadap konsekuensi yang saya alami. Terlebih jika terjadi hal terburuk. Ah rasanya belum siap.

Terjadi perang batin yang cukup membuat saya bingung. Saya ingin lakukan perjalanan yang berbeda, ingin merasakan pengalaman yang orang lain ceritakan namun sisi lain saya sadar diri akan kemampuan diri yang memiliki fisik yang kurang tangguh serta pikiran yang sering kosong atau tidak terkontrol. Rasanya saya belum mampu menghadapi konsekuensi atas sikap yang saya lakukan di perjalanan nanti.

“Jika kamu hanya lakukan pengandaian seperti itu, kamu tidak akan lakukan apa-apa. Cukup jalani, hadapi hambatan yang jelas-jelas di depan mata.”

Atas pemikiran tersebut akhirnya saya memantapkan niat untuk ikut perjalanan ke gunung. Suatu perjalanan yang benar-benar berbeda dari yang pernah saya lakukan. Kemudian saya menyatakan keinginan ikut ke Ajo. Lalu, hal pertama yang saya tanyakan, Apa saja yang harus saya persiapkan? Persiapan kali ini pastinya berbeda dibanding perjalanan ke pantai atau kota. “kamu cukup jogging aja. Minimal seminggu sekali, kalau bisa dua kali seminggu.” begitu kata Ajo.

Dengan instruksi tersebut, saya memutuskan akan jogging. Waktu itu kegiatan saya cukup padat, sempat merencanakan jogging di malam hari tapi hal itu tidak disarankan oleh Ajo. Katanya, kasihan sama jantung yang bekerja lebih berat di malam hari. Sehingga saya jogging sendirian di sore hari di sekitar komplek rumah saja. Bila janjian dengan orang lain otomatis saya harus menyesuaikan waktu dan lakukan jogging di tempat lain akan memakan waktu yang lama untuk perjalanannya. Jadi, saya jogging sendiri saja.

Lari 5 menit saja rasanya tenggorokan dan dada saya panas sekali. Muncul rasa ingin muntah. Kemudian saya berjalan santai saja. Saat rasa panas dan mual itu berkurang, saya kembali berlari. Baru saja sebentar lari, mungkin sekitar 3 menit, kali ini kepala saya pusing disertai tangan dan kaki yang gemetar. Saya sempatkan berhenti membeli es kelapa muda rasa jeruk. Ketika berdiri menunggu pesanan, saya sempat rasakan kepala saya kunang-kunang serta badan yang lemas tidak sanggup berdiri lama. Sungguh menyeramkan buat saya hingga memunculkan pikiran-pikiran yang menciutkan semangat saya seperti, “Apa nanti sanggup? Baru jogging sebentar aja gejala fisiknya segininya, gimana di atas nanti? Masih ada waktu ubah keputusan mumpung belum berangkat loh“.

Kembali saya ingatkan diri dengan menggumamkan “Cukup jalani, hadapi hambatan yang jelas-jelas di depan mata.”. Akhirnya saya lawan keraguan saya dengan menjadikan gejala fisik sebagai PR. Gejala-gejala itu mengingatkan saya bahwa saya perlu kembali lakukan latihan fisik walau dengan olah raga ringan. Juga menjadikan evaluasi diri bahwa saya perlu lakukan fisik yang lebih intens lagi sebagai persiapan perjalanan gunung minggu depan.

Hanya saja kegiatan saya cukup padat saat siang hingga sore. Saya baru sampai rumah ketika langit sudah gelap sedangkan jogging di malam hari tidak disarankan. Alhasil saya baru bisa kembali jogging 2 hari sebelum hari keberangkatan. Hari itu cuaca cukup cerah dan jogging kali itu terasa sangat berbeda. Tidak ada gejala panas di tenggorokan atau dada bahkan tidak gemetar. Kali itu durasi lari terasa lebih lama dari pada pertama. Sekitar 10 menit lari kemudian berjalan santai saat kemudian lanjut lari kembali. Begitu seterusnya hingga akhir trek lari saya sore itu. Peningkatan yang lumayan.

“aku hanya bisa jogging 2 kali aja. Gak apa-apa?”
“itu udah cukup kok. Sekarang istirahat yang cukup aja biar badannya fit pas berangkat. Jangan begadang”

Pembicaraan itu ku anggap sebagai instruksi kedua dari Ajo. Sehari sebelum berangkat, saya usahakan untuk tidak lakukan kegiatan yang padat terutama di malam hari agar saya dapat istirahat yang cukup.
Persiapan selingan yang saya lakukan selain persiapan fisik adalah persiapan peralatan dan perlengkapan yang dibutuhkan. Ajo memberi masukan yang menurut saya kurang membantu. Saya hanya diinformasikan membawa perlengkapan pribadi saja sedang saya bingung perlengkapan pribadi tersebut terdiri apa saja. Saya tahu bahwa perlengkapan yang dibawa ketika berkunjung ke pantai dan ke kota saja memiliki kebutuhan perlengkapan yang berbeda. Begitu juga jika tujuannya ke gunung. Pastinya perlengkapan yang dibutuhkan akan sangat berbeda. Betul saja pemikiran saya itu. Saya bertanya teman saya yang lain, Heny dan Deddy, perlengkapan yang disebutkan sungguh berbeda dari yang disebutkan oleh Ajo. Dari penjelasan mereka, berikut perlengkapan yang biasanya digunakan ketika naik gunung:

Ada dua jenis perlengkapan yaitu perlengkapan tim dan perlengkapan pribadi. Perlengkapan tim minimal terdiri dari:
  • -         Tenda (beserta flysheet)
  • -          kompor mini (dan spiritus), serta alat masak mini
  • -          Matras
  • -          Bahan makanan (bahan mentah dan minuman)
  • -          Obat-obatan (band aid,betadine, parasetamol, dll)

Perlengkapan pribadi yang cukup banyak. Perlengkapan minimal yang dipersiapkan minimal terdiri dari:
  • -          Pakaian bersih, minimal 1 set untuk digunakan saat tidur (disesuaikan durasi pendakian)
  • -          Sleeping Bag
  • -          Jas hujan/raincoat
  • -          Headlamp atau senter
  • -          Jaket, sarung tangan yang tebal dan kaos kaki
  • -          Perlengkapan mandi
  • -          Peralatan makan atau nesting (gelas, piring dan sendok, diusahakan berbahan plastik agar ringan)
  • -          Minuman (air mineral 1,5 L) dan camilan pribadi (cokelat, biskuit, minuman coklat instan)

Wah persiapan yang sungguh berbeda! Saya hampir tidak memiliki satupun aitem yang disebutkan. Hanya pakaian bersih, alat mandi serta camilan saja yang dapat saya persiapkan. Sisanya? Saya tidak punya sama sekali! Untunglah saya punya banyak teman yang suka lakukan perjalanan gunung. Saya banyak dipinjami peralatan oleh Dedy, Heny dan Kojek. Mereka tahu ini perjalanan pertama saya. tampaknya mereka ingin membuat saya terkesan pada pengalaman pertama agar saya jatuh cinta pada perjalanan ke gunung.

Di hari keberangkatan, kami masih harus menghadiri pernikahan teman kami, Heny, hingga sore sehingga kami memutuskan berangkat ke Garut di malam hari. Saya punya kebiasaan buruk mengenai waktu packing. Sering sekali terlalu sibuk ke sana-sini menjelang perjalanan sehingga waktu packing dilakukan beberapa jam sebelum berangkat. Bahkan 1-2 jam sebelum berangkat pun saya masih leyeh-leyeh belum memutuskan barang apa saja yang harus saya kemas. Jangan ditiru kebiasaan seperti ini jika kamu ingin ada perlengkapan yang luput kamu masukkan tas!

Begitu juga dengan perjalanan kali ini. Kami sepakat berkumpul di Terminal Rambutan pukul 22.00 WIB. Sepulang dari resepsi teman saya, saya memutuskan untuk istirahat terlebih dahulu. Rasanya lelah sekali. Saya teringat kata Ajo, istirahat yang cukup. Kemudian saya tertidur hingga pukul 7 malam. Melihat jam, saya langsung terbangun dengan terkejut. “Ah belum packing!” Mendadak dirundung kepanikan karena 2 jam lagi harus berangkat ke Terminal, barang-barang masih tercecer “indah”, ditambah belum mandi. Lengkap sudah!

Syukurlah saya sudah terbiasa lakukan perjalanan sehingga sudah terbiasa lakukan packing secara kilat. Bisa dibilang sense of readiness saya telah terlatih atas setiap perjalanan yang selama ini saya lakukan. Termasuk hal siap-siap sebelum berangkat seperti ini. Cukup 30 menit saja waktu yang saya butuhkan untuk memasukan seluruh perlengkapan kebutuhan saya untuk perjalanan ke gunung saya pertama. Sayangnya saya tidak sempat mendokumentasikan hasil packing saya malam itu tp berikut wujud tas hasil packing saya ketika dalam perjalanan menuju puncak Papandayan:



Packing selesai – kemudian mandi – lalu berangkat! Hai Papandayan, Aku datang pada mu! Berbaiklah pada ku nanti. Aku hanya ingin mengecap keindahanmu yang begitu dipuja-puja oleh penggemarmu.


Sabtu, 14 Desember 2013

Kenalan ala Pejalan

Semalam saya baru saja bertemu secara langsung dengan seorang orang-orang yang hebat. Pertemuan yang cukup lucu. Kami dipertemukan dalam sebuah grup linimassa pejalan nusantara. Interaksi kemudian terbentuk dari chat messaging hingga social media namun belum pernah interaksi langsung, tatap muka. Belum pernah melakukan tata kenalan pada umumnya yaitu dengan berjabat tangan sambil menyebutkan nama.

Malam itu saya sudah membuat 2 janji di waktu yang hampir bersamaan dengan lokasi yang berbeda. Alhasil membuat saya serba tergesa-gesa. Saya sudah merencanakan bertemu dengan Ricco hanya sekitar 1 jam kemudian dilanjutkan perjalanan menuju janji kedua yang sudah ditentukan yaitu pukul 21.00WIB . Acara malam itu bertempat di sebuah mall di Jakarta yang direncanakan pukul 18.30 WIB dan saya tiba pukul 19.00 WIB. Ruangan sudah ramai dan membuat saya cukup kewalahan mencarinya. Kewalahan karena kami sama sekali belum pernah bertemu sebelumnya sehingga saya tidak mengenali bagaimana wajah ataupun postur tubuhnya. Ditambah ponsel Ricco yang kehabisan batere semakin menambah tantangan saya untuk menemukannya diantara puluhan hingga ratusan orang.

Saya akhirnya dengan gagah berani menyapa pria dengan bahasa tubuh yang sedang mencari atau menunggu orang lain. Hasilnya? Saya salah menyapa orang! Bukan hanya sekali, tapi hingga 3 kali hingga akhirnya saya menemukan Ricco! Cukup malu tapi cukup menyenangkan juga! J

“Mas Ricco ya?” adalah kalimat pembuka kami hingga akhirnya kami saling bercerita, bercanda dan berbagi keluh kesah. Awalnya ragu kemudian pada akhirnya kata demi kata keluar begitu saja tanpa rasa segan. 10 Menit saja waktu yang diperlukan untuk menghancurkan tembok asing hingga kami bertutur kata panjang lebar hingga 1 jam lebih. Ah! Kenapa waktu cepat sekali berlalu? Sudah waktunya saya pergi memenuhi janji kedua padahal saya masih ingin berbincang lebih lama lagi, pikirku.

Persis 10 menit sebelum saya keluar, ada teman pejalan lainnya, Satya, memberi kabar bahwa ia pun hadir dalam acara tersebut dan mengajak saya bertemu. Lagi-lagi, saya pun belum pernah bertemu sebelumnya.

“Kalau sempat setelah selesai acara ketemuan ya J
“Aku udah mau cabut mau ke Sabang nih”
“Kakak dimana? Aku samperin deh. Aku kesitu yah”
“Aku udah mau keluar dari pintu sebelah kanan”
“Kakak sudah keluar? Aku udah di meja registrasi yah pake boots”

Dengan petunjuk sepatu boots itu, saya melangkah keluar ruangan kemudian mencari sosoknya. Kali ini sungguh mudah. Begitu buka pintu dan melihat keluar, saya langsung bisa menangkap sosok perempuan muda dengan boots hitam di sudut ruangan. Tanpa ragu saya menyapa dan mendapat balasan “Hey kak!” dengan sangat ramah dan penuh semangat.

Lucu. Pertemuan ini pun terasa saya sudah mengenalnya sebelumnya. Seperti kami sudah kenal lama. Sudah kenal lebih dari berbulan-bulan, padahal usia pertemuan kami baru saja kurang dari sebulan. Sapaan itu pun tidak sebentar. Saya terbuai atas candaan dan curhat colongan kami.

Kedua pertemuan itu sungguh singkat sekali. Yang pertama sekitar 2 jam, dan yang kedua kurang dari setengah jam. Ah aku tidak puas! Aku ingin kembali bertemu dengan mereka. Kembali berbagi cerita petualangan kami, kembali berbagi rasa petualangan. Saya malah berharap saya dapat melakukan petualangan bersama mereka agar lebih mengenal pribadi masing-masing. Bukan sekedar mengenal nama saja kemudian selesai, tidak pernah bertemu kembali. Semoga satu hari nanti. Jika Tuhan menghendaki.

BPC_Jogja: Komunitas Seribu Rasa

Tahun 2010. Saya ingat sekali malam itu, ketika saya sedang paruh waktu sebagai penjaga warnet. Browsing sebuah forum online kemudian membaca halaman mengenai komunitas backpacker. Saat asik membaca tiba-tiba ada yang berbicara,

“loh suka buka halaman itu? Udah pernah ketemu sama mereka belum?”
“belum mas. Ini baru nemu. Tertarik sih”
“yaudah ikut guyubnya aja. Mereka orangnya asyik kok. Baik-baik.”

Saat itu saya memutuskan, saya akan mencoba bertemu dengan mereka. Pertemuan pertama saya langsung jatuh cinta. Ramah, penuh canda tawa, adanya rasa kekeluargaan yang sungguh kental. Mereka adalah Backpacker Community Jogja atau BPC Jogja. Bayangkan saja, selesai kumpul rapat pertama mereka langsung merencanakan lanjut bercengkrama di Pocin Kaliurang padahal waktu itu sudah pukul 9 malam lebih! Saya pun diajak. Layaknya anak kecil yang diimingi oleh lolipop, saya mengangguk tanpa ragu.

Saat di Kaliurang, kehangatan canda tawa, keakraban mereka semakin mengisi sisi hati saya yang kosong. Sepulangnya saya sampai di kamar kosan, saya masih tersenyum lebar. Mungkin tertidur dengan tersenyum juga. Ah, kesan yang sungguh menyenangkan. Pertemuan-pertemuan berikutnya pun saya ikuti dan kemudian berubah menjadi candu. Dua hari dalam seminggu menjadi agenda yang paling saya nantikan. Rabu dan Jumat. Saya tidak peduli mereka itu siapa. Menamakan kegiatan mereka apa. Yang penting saya berada di antara mereka, saya sudah senang!

Waktu itu saya tidak mau ambil pusing dengan istilah-istilah apapun. Saya tidak mau ambil pusing terhadap rencana apapun. Ikuti saja rencana mereka, pasti saya ikut senang. Hingga akhirnya saya mengikuti perjalanan mereka satu per satu kemudian membakukan rasa serta pikiran bahwa mereka adalah keluarga kecil di saat saya jauh dari keluarga sesungguhnya. Ada rasa dilindungi oleh keluarga, ada canda tawa layaknya terhadap adik atau kakak, dan juga ada konflik layaknya ketika sedang bertengkar dengan orangtua karena perbedaan prinsip dalam menjalani atau membuat keputusan hidup.

Kini sudah penghujung tahun 2013. Sungguh banyak sekali yang saya pelajari dari teman-teman yang sudah saya anggap seperti keluarga sendiri. Belajar memaknai perjalanan. Belajar arti kesetiakawanan dan solidaritas. Belajar beradaptasi dalam lingkungan apapun. Belajar memahami pendapat dan cara melakukan perjalanan. Belajar menghargai alam dan budaya. Belajar mengenai nilai-nilai sosial. Itu baru yang terlintas begitu saja dalam pikiran saya. Jika diingat-ingat lagi mungkin akan lebih banyak pembelajaran yang telah saya alami.

Tahun 2014 sudah hitungan kurang dari sebulan. Komunitas yang berdomisili utama di Yogyakarta ini kini mengalami satu masalah klasik seperti yang dialami komunitas non struktur lainnya. Regenerasi. Pembaharuan oleh generasi muda demi mempertahankan eksistensi. Teman-teman BPC memang didominasi oleh kaum pendatang yang berstatus pelajar maupun mahasiswa berasal dari kota atau daerah lain. Kini teman-teman satu per satu telah kembali ke daerah asalnya seiring dengan lulus kuliah atau sekolah, termasuk saya. Tersisa 3 teman saja yang masih menetap di Jogja. Well, sebenarnya ada 4 orang. Tapi yang satu sudah jarang sekali kumpul, ketemu bahkan lakukan perjalanan. Sedangkan, dari 3 orang tersebut, sudah lulus semua dengan 2 orang berasal dari seberang Pulau Jawa. Tinggal menghitung waktu saja hingga akhirnya hampir tidak ada yang tersisa di Jogja. Hanya menyisakan kenangan di setiap pojok kota.

Sedih jika membayangkan itu. Tahun 2010 masih tertawa bersama, berjalan bersama dan saling mengejek tapi saling membutuhkan. Berawal pertemanan yang berisikan orang-orang yang tinggal di Jogja, kemudian berkembang meluaskan pertemanan di luar kota Jogja. Bahkan keluar Pulau Jawa. Perjalinan persahabatan yang sungguh cepat dan semakin beragam. Lalu, kini di tahun 2013 komunitas ini mulai seperti ruangan tak terurus, dipenuhi sarang laba-laba tanda jarang dihuni. Ah, waktu sungguh kejam membuat kami terlena kemudian menghempaskan pada jurang perpisahan tanpa aba-aba.

Minggu lalu, saya chatting dengan salah satu foundernya. Kami membicarakan kelangsungan komunitas ini. Mau dibawa kemana? Dia mengatakan, “Terserah kalian mau dibawa seperti apa. Kalau memang tidak ada yang meneruskan sehingga komunitas ini harus bubar begitu saja pun tak apa. Aku malah berterima kasih pada kalian yang masih peduli. Buat aku, yang penting rasa kekeluargaan antara kita masih terus terjalin”. So sweet. Saya setuju. Saya tidak peduli jika bendera komunitas ini masih dapat meramaikan dunia pariwisata atau akhirnya mati layaknya bunga yang tidak mendapatkan asupan air dan mineral. Cukup buatku jika saat rambut telah beruban dengan kulit yang sudah keriput tidak tertolong, kami masih sering bertemu, bercanda, saling mengejek bahkan masih melakukan perjalanan bersama. Masih bisa saling mengisi memberi makna, menjadi peran serta saksi dalam setiap peristiwa kehidupan kami. Begitu saja sudah cukup. Apakah kalian memiliki angan yang sama?



Minggu, 01 Desember 2013

Rasa Ingin Tahu Pada Spanduk Jingga Di Bogor

Ketika tidur sudah terasa membosankan ‘tuk habiskan waktu dalam perjalanan, saya suka melihat ke luar jendela kendaraan. Saya suka mengambil duduk persis sebelah jendela. Jendela dengan ada tuas penariknya. Angin yang hilir dengan kendali saya kuasai sendiri seberapa lebar jendela dibuka. Digeser terbuka sampai mentok atau digeser hanya seruas beberapa jari saja. Terserah sesuai keinginanku.

Malam itu saya pun memilih duduk sebelah jendela. Angkutan umum saya sudah sepi penumpang. Tinggal saya satu-satunya perempuan di angkutan itu, ditemani tiga penumpang beserta sang supir. Saya memutuskan untuk terjaga hingga tujuan akhir. Hanya berwaspada saja pada hal apa pun tindak kriminalitas.

Saya suka lihat pemandangan di luar jendela. Suka melihat transformasi pemandangan dari daerah pedesaan menuju perkotaan. Diawali dengan banyaknya pohon, rumah sederhana, lampu jalan yang jarang-jarang kemudian perlahan terlihat ruko, mini supermarket 24 jam hingga akhirnya gedung bertingkat, hiruk pikuk kendaraan beserta kilauan lampu kota. Ah sudah masuk Bogor rupanya, batinku.

Clingak clinguk. Lihat kanan. Lihat kiri. Heboh. Ya begitulah tingkah laku saya bila melihat pemandangan baru atau lingkungan asing. Tidak sabar ingin menghapal deretan bangunan yang berjejer sepanjang jalanan yang saya lalui. Siapa tahu berikutnya saya akan lewat jalan yang sama dengan kendaraan pribadi. Kemudian saya dikejutkan oleh satu tempat makan dengan aksen bambu dan terpajang spanduk dengan warna jingga yang mencolok. Saya terkejut dengan tulisan menu yang terdapat pada spanduk tersebut. Hanya saya tidak bisa turun berhenti sekedar mampir tempat makan itu. Saya harus mengejar kereta terakhir ke Jakarta. Lalu saya bertekad minggu depan saya harus kembali ke Bogor untuk mencari tahu tempat makan itu kebenaran penyajian menu sesuai yang tertulis di spanduk atau itu hanya sekedar simbol. Saya langsung hubungi teman saya yang tinggal di Bogor menanyakan kesibukan di minggu depan dan kesediaan menemani saya menemukan tempat makan itu. Tadi saya tidak sempat mencari tahu nama jalan karena supir yang melaju cukup cepat dan tidak menemukan plang nama jalan serta saya tidak mengenal daerah Bogor. Minggu depannya, 28 Oktober 2013, saya berhasil meyakinkan teman saya di Bogor untuk menemani selama di Bogor yaitu tante Heny dan Deddy. Yes! Langsung semangat ’45!

Bukan Bogor namanya jika tiada hari tanpa hujan. Julukan kota hujan itu memang bukan sekedar julukan. Hujan deras menahan saya untuk tidak keluar kontrakan Tante Heny yang berada di kawasan Mega Mendung. Saya meminta Deddy ‘tuk menjemput ke atas tapi saya ga menduga Deddy sampai terobos hujan untuk menjemput saya. Benar-benar basah kuyup membuat saya merasa bersalah. Sudah menawarkan jaket saya tapi Deddy enggan memakainya karena karet di pinggang yang ketat. Katanya geli. Sedih tawaran bantuannya tidak diterima.

Akhirnya hujan reda ketika hari sudah gelap. Rupanya hampir jam tujuh malam. Pupus sudah harapan mencari tempat makan itu karena saya harus mengejar jadwal kereta jam sembilan malam. Waktunya tidak cukup kalau begini, batinku. Saya tetap turun ke bawah dan berencana membeli asinan buah yang terkenal kemudian mencoba surabi duren yang menjamur di Bogor. Mata ku terus saja menyapu seluruh bangunan yang kami lewati sepanjang jalan menuju tempat jual asinan buah khas Bogor. Hatiku terus saja berharap menemukan tempat makan itu hingga sesekali saya tidak begitu memperhatikan Deddy bicara. Maafkan saya jika kali ini rasa penasaranku telah membisukan santunku. Motor terus melaju lurus hingga melewati Terminal Baranangsiang. “ah beneran gak ketemu. Oke, I give up” pikirku. Saya merasa tempat makan itu terletak antara persimpangan menuju Ciawi hingga sebelum saya sampai di Terminal Baranangsiang.

Kali ini saya kembali memperhatikan Deddy bicara dengan seksama. Tak lama sudut mata saya menangkap spanduk warna jingga mencolok yang sedari tadi saya cari. Memang ada saatnya kita diminta menyerah dulu ‘tuk menemukan sesuatu yang kita cari. Penuh semangat ku tunjukkan Deddy jika saya ingin singgah ke tempat makan itu dulu. Deddy menuruti dengan memutar balik motor karena kami sempat terlewat. Inilah spanduk jingga mencolok itu:


Kaget melihat tulisan beberapa varian menu hiu? Saya juga. Kaget karena tercantum pada spanduk dengan tulisan yang besar dan warna yang mencolok. Benar-benar mencari perhatian. Strategi marketing yang bagus. Tapi apakah pencantuman kata “hiu” itu pun hanya suatu strategi marketing? Itu salah satu pertanyaan yang menggelitik rasa ingin tahu saya. Akhirnya saya masuk untuk mencoba mencicipi menu tempat makan itu.

Pelayan menghampiri kami setelah kami memilih tempat duduk dan memberikan selembar daftar menu kemudian kami minta untuk ditinggal sebentar sementara kami memilih menu apa yang akan disantap. Saya sempatkan mengambil foto daftar menunya. Berikut fotonya:


Sebelum ditinggal, Deddy sempat menanyakan: “Kang, hiu di menu ini beneran hiu?” sang pelayan mengiyakan jawaban Deddy. “Jenisnya apa?” Deddy tampak penasaran. Pelayan menjawab hiu yang disajikan adalah hiu tutul. Setelah itu sang pelayan meninggalkan kami untuk memilih menu. Eits, jangan berprasangka buruk dulu. Yang saya cicipi malam itu adalah kwetiaw seafood. Rasanya sungguh jauh dari kata enak. Sangat berminyak dan seafoodnya masih keras, sulit dikunyah. Very not recommended!

Rasa penasaran saya telah terlampiaskan. Tempat itu memang menjual menu sup hiu ataupun sup rica-rica, bukan sekedar strategi marketing saja. Untung saja masakan tempat itu tidak enak dan malam itu sepi pengunjung jadi saya tidak memiliki beban moral yang besar. Tapi saya masih heran, kenapa ada tempat makan yang menjual menu hiu di kota kecil seperti Bogor? Terlebih tempat makan itu bukanlah sebuah restoran cina yang lebih dikenal menyajikan menu hiu, penyu atau jenis seafood lainnya yang kini sudah dianggap langka. Tempat makan itu hanyalah tempat makan biasa layaknya rumah makan sunda maupun rumah makan lainnya yang biasa kita temui di pinggir jalan.

Saya merasa justru dengan tempat makan seperti itu yang perlu diwaspadai. Jika suasana tempat makan ditampilkan dengan sederhana seperti rumah makan lainnya, bisa jadi nanti akan bermunculan dan berjamur tanpa disadari. Dimulai hal yang biasa hingga membuat kita jadi terbiasa tanpa sadar bahwa itu adalah sebenarnya bukan hal yang biasa saja.

Sabtu, 30 November 2013

Kekalahanku Pada Hormon

Masa terlemah ku adalah saat hormon menguasaiku. Mau berusaha serasional apapun, aku kalah seketika hormon mengendalikanku. Sama seperti lewat tengah malam ini.

Tempo hari, sebelum hormon menerjang, pikiran rasionalku telah membuat keputusan. Aku harus akhiri rasa ini sebelum berkembang lebih jauh.

Malam ini, rasa yang tak dapat diungkapkan berkecamuk membabi buta menyisakan kebimbangan 'aku harus bagaimana?'.

Sungguh aku ingin meneriakkan, 'Cukup hentikan dramamu! Aku bukan gadis malammu!'. Tapi apa aku mampu? Disaat kau diam, aku malah menanti sapaanmu.

Aku benci diriku yang seperti ini. Membuatku lemah tak berdaya menghadapi rasaku sendiri.
Hei hormon, bisakah kau kembali nanti saja saat aku tlah membunuh rasa ini hingga tak bersisa?

Setelah itu, terserah kau jika ingin menelanjangi rasionalitasku sesukamu.
Tapi paling tidak, biarkan aku selesaikan dulu dengan rasa ini.

Jumat, 29 November 2013

Video: Nasi Goreng Tempe

Ada yang suka nasi goreng sekaligus suka tempe? Saya punya video tutorial memasak Nasi Goreng Tempe buatan teman saya. Deddy.

Video ini adalah hasil iseng belajar membuat video pertama kalinya. Awalnya dikirim ke saya dalam ajang pamer tunjuk kebolehan akan keisengan pertama kalinya. Menurut saya videonya bagus buat percobaan pertama kalinya.

Silakan bagi yang ingin mencoba belajar memasak Nasi Goreng Tempe. Tutorial ini sangat sederhana. Cocok bagi pemula yang baru belajar masak. Berikut videonya:



Sukabumi: Sebuah Perjalanan Persahabatan - Part 2

Berada di kota sejuk seperti Sukabumi membuat saya pelit bergerak alias mager atau malas gerak. Alasan utama saya malas gerak adalah temperatur air yang sungguh dingin membuat kulit saya enggan disentuh ditambah suhu ruangan yang sejuk disertai angin semilir di dalam rumah teman saya menyebabkan kantuk yang tak kunjung usai. Jadilah saya yang bagai onggokan pohon yang sulit digulingkan. Padahal hari sebelumnya saya sudah berencana bangun pagi untuk langsung segera keliling kota sejuk ini. Akhirnya wacana itu kandas dengan wacana semata.

Berhubung teman saya sudah harus kembali  ke Jakarta hari minggu sore, akhirnya di sekitar jam 11 saya memberanikan diri untuk berjibaku dengan kedinginan air Sukabumi. Syukurlah saya menang dan selamat dalam pertarungan dengan air dingin itu. Ternyata masih lebih dingin hati saya makanya saya menang! *halah*.

Selesai mandi Mas Dimas, sang tuan rumah, celetuk, “Yuk! kita ke PH!”. Saya bertanya “itu tempat apa? Jauh?” Saya memikirkan si bocah kecil berusia 3 bulan yang ikut diboyong oleh ibunya bila perjalanan itu jaraknya cukup jauh. “Gw juga belum pernah ke sana. Deket kok. Paling setengah jam” jawab Nisty. Oke, setengah jam tidak terlalu jauh jika ditempuh bersama bayi 3 bulan, batinku.

Pukul 12-an menjelang jam 1 siang kami mengendarai motor matic dari Karang Kengah langsung menuju Pondok Halimun. Ke Pondok Halimun juga bisa diakses menggunakan kendaraan umum dari terminal Sukabumi dengan jurusan Selabintana kemudian disambung dengan berjalan selama satu jam menuju Pondok Halimun.

Setelah sekitar 30 menit mengendarai motor akhirnya palang pintu dengan tulisan “Kawasan Pondok Halimun” sudah terlihat dari kejauhan 100 m. Itu adalah pintu masuk pertama untuk memasuki kawasan wisata Pondok Halimun dengan petugas sudah duduk manis untuk menarik retribusi sebesar Rp2.000/orang. Saya bernapas lega setelah mengendarai motor dengan kondisi jalan yang cukup banyak jebakan yaitu lubang yang cukup besar dan banyak batu cukup besar. Terutama saya boncengi teman saya yang lebih berat dari saya. Kebayang bagaimana leganya ‘kan? Hehehehe.. Saya kembali mengikuti motor teman saya dari belakang untuk mencari tempat parkir. Tapi.. loh kok jalan terus? Oh ternyata perjalanan ini belum berakhir! Saya kembali menarik napas. Hauufffft! Semangat!

Ternyata setelah pintu masuk pertama kita memasuki kawasan kebun teh Kampung Perbawati. Cukup luas dan asri dengan pemandangan yang serba hijau. Hanya saya tidak bisa puas menikmati pemandangan kanan kiri saya karena saya harus konsentrasi pada jalan yang rusaknya lebih parah dari sebelum memasuki pintu masuk. Lebar jalannya cukup 1 mobil dengan jalan yang belum diaspal secara menyeluruh. Bagian yang telah diaspal pun sudah tidak mulus. Banyak lubang dan batuan yang menghiasi sepanjang menuju kawasan Pondok Halimun sesungguhnya dengan sebelah kanan adalah ladang dengan kerendahan sekitar 1 meter. Jadi saya tidak boleh ceroboh berkendara terutama membonceng karyawan yang harus pulang sore itu. Ini lah perjalanan sesungguhnya! Membawa sang karyawan kantoran dengan selamat tanpa terjadi apapun yang dapat membuatnya tidak masuk kerja. Tanggung jawab yang sungguh berat.

15 menit dari pintu masuk pertama akhirnya kami sampai di Kawasan Pondok Halimun sesungguhnya. Kami kembali ditarik biaya retribusi sejumlah Rp10.000 untuk ber4 sudah termasuk 2 motor. Kata teman saya itu hasil negosiasi suaminya. Saya tidak tahu untuk tarif aslinya. Dari pintu masuk dari tempat petugas retribusi, saya langsung disuguhkan 3 tempat berbeda. Depan, kiri, dan kanan. Depan adalah jalur trekking menuju perkebunan teh yang bisa juga digunakan untuk motor cros, kiri adalah jalan menuju air terjun Cibeureum sekaligus alternatif jalan menuju Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, sedangkan ke kanan adalah taman kecil yang ada kali dari sumber mata air Gunung Salak.

Yah karena tema perjalanan ini adalah wisata keluarga baru bersama bayi berusia tiga bulan, kami memilih untuk bersantai saja di taman kecil. Taman ini sungguh sejuk, asri dengan dikelilingi oleh pohon rindang dan ada kali kecil yang semakin memberi kesan ketenangan dari gemericik air mengalir cukup jernih. Cocok untuk wisata keluarga dengan membawa anak usia dini belajar berkenalan dengan alam. Di taman tersebut terdapat beberapa pondok yang bisa digunakan untuk beristirahat, beberapa penjual minuman dan makanan hangat seperti kopi dan mie instan. Penjual juga menyediakan tikar bagi pengunjung yang tidak membawa alas duduk untuk digelar di rerumputan. Juga terdapat arena bermain untuk anak berupa panjat tali dan perosotan untuk melatih motorik anak. Saat saya berkunjung ke sana, ada beberapa pembangunan pondok dan keadaan arena bermain anak yang sudah tidak terawat. Sehingga alternatif bermain anak hanya bermain air di kali bersama orang tua. Berikut sekilas foto Taman Pondok Halimun:









Saya cukup terkesan dengan kesejukan dan suasana asri yang ditawarkan oleh Pondok Halimun. Satu hal yang sangat disayangkan yaitu mengenai pengelolaan sampah yang ditinggalkan serta minimnya kesadaran pengunjung untuk mengumpulkan sampah dan dibuang di tempat sampah. Saya tidak menemukan adanya tong sampah di sekitar lokasi pengunjung bersantai. Tentu saja pengunjung membuang sampah sembarangan karena tidak adanya fasilitas yang tersedia. Kesadaran pengunjung mengumpulkan sampah di satu plastik kemudian dibawa pulang sementara sambil mencari tempat sampah pun masih rendah. Sehingga sampah dapat ditemui dimana-mana. Padahal di pintu masuk taman kecil terdapat palang pengumuman yang terpajang berisi himbauan untuk menjaga kebersihan dan keasrian kawasan. 



Jika saja ada pengelolaan sampah yang lebih baik, pembangunan pondok selesai dan arena bermain anak terawat dan diperbaharui, mungkin kawasan Pondok Halimun akan menjadi kawasan hiburan alam yang dapat diandalkan oleh warga Sukabumi terutama bagi orangtua muda yang baru memiliki anak.

Selasa, 12 November 2013

Sukabumi: Sebuah Perjalanan Persahabatan - Part 1

Sudah berminggu-minggu punya rencana ke Sukabumi mengunjungi Nisty, teman dekat kuliah yang baru melahirkan, akhirnya terealisasikan hari sabtu tanggal 19 Oktober 2013 lalu. Perjalanan kali ini saya ditemani teman kuliah yang bekerja di Jakarta. Teman saya seorang perempuan bernama Putri yang biasa kami sebut Owek.

Pukul 08.20 WIB kami memulai perjalanan dari Stasiun Tebet menuju Stasiun Bogor dengan tarif tiket Rp.9.000 sudah termasuk biaya jaminan kartu seharga Rp.5.000. Kami tiba di Stasiun Bogor pukul 09.30 WIB dengan perut keroncongan karena tanpa janjian kami sama-sama belum sarapan. Kemudian kami memutuskan untuk rehat sejenak untuk makan dengan menu apa pun yang ada di luar stasiun. Jika keluar melalui pintu keluar yang lama, kita akan temui banyak pedagang berjejeran di luar pagar stasiun. Dari makanan hingga perlengkapan rumah tangga. Dari sekedar kudapan pisang goreng, tahu sumedang hingga soto mie khas bogor. Dari pedagang bermodal alas plastik saja, bakul, gerobak, hingga ruko yang berjejer rapi.

Pilihan kami jatuh pada soto mie yang berada di jejeran ruko. Menu utamanya adalah soto mie dan soto santan. Semula kami bingung dengan menu tersebut karena bagi kami dua menu tersebut tampak sama saja. Sama-sama soto. Setelah dijelaskan oleh penjual, ternyata soto mie adalah menu soto dengan tambahan menggunakan mie namun kuah kaldu dimasak tanpa santan. Sedangkan soto santan adalah menu soto tanpa tambahan mie dengan kuah kaldu dimasak menggunakan santan. Dua menu tersebut seharga Rp.12.000 sudah dengan satu porsi nasi putih. Akhirnya kami sama-sama memesan soto mie untuk menghindari santan yang dapat menyebabkan kolesterol yang tinggi.

Setelah terkenyangkan oleh seporsi soto, kami melanjutkan perjalanan berikutnya dengan naik angkutan kecil yang berjejer rapi di luar stasiun. Kami menaiki angkutan dengan nomer 03 yang menuju Terminal Baranang Siang dengan tarif seharga Rp.3.000. Tarif itu adalah hasil terkaan logika kami saja karena sebenarnya kami kurang tahu tarif sebenarnya. Sesampai di Terminal Baranang Siang, kami menyambung kendaraan dengan mobil L300 yang biasa disebut dengan bis kol. Tidak perlu masuk dalam kawasan terminal, bis kol sudah parkir berjejer di seberang terminal dan sudah banyak joki angkutan yang akan menawari dengan penuh semangat. Awalnya kami mencoba memilih angkutan yang sudah ditumpangi cukup banyak penumpang dengan harapan bis tersebut akan langsung berangkat. Hanya saja kami sudah “tertangkap” oleh joki angkutan yang menggiring kami pada bis yang dijokinya. Bis itu baru terisi oleh dua ibu paruh baya yang tampaknya baru pulang belanja. Akhirnya tanpa daya melawan, kami pun naik bis tersebut. Tarif kami pada waktu itu dikenai Rp.18.000. Kata teman kami, tarifnya memang sekitar Rp.18.000-Rp.20.000 di akhir pekan. Jika di hari biasa bisa hanya sekitar Rp.15.000. Cuma ketika saya kembali ke Jakarta pada hari selasa, saya justru dikenai ongkos Rp.20.000. Saya masih kurang mengerti dasar supir menetapkan tarif ini.

Bis kol akhirnya berangkat pukul 10.52 WIB dari Terminal Baranang Siang, Bogor menuju Sukabumi. Setelah melewati Ciawi, bis melaju dengan sungguh cepat. Rasa-rasanya kecepatan menyamai pembalap internasional yang sedang berlaga di Moto GP F1! Ditambah kecepatan tersebut dilakukan pada jalur yang cukup sempit (hanya cukup dua mobil yang berdekatan!), naik turun dan penuh belokan seperti jalur nagrek. Untung saja jalur ini tidak ada jurangnya ataupun tebing. Jika ada, entah apa yang akan saya alami. Fiuhh.. membayangkan saja sudah membuat saya berkeringat! Ahahahhaha.. Daripada saya menyaksikan kengerian yang membuat saya berpikir negatif sang supir akan menabrak, saya memutuskan untuk tidur saja.

Setelah satu jam lebih, tidur saya terbangunkan oleh sang supir yang meminta kami pindah ke bis lain yang sudah diberhentikan. Ternyata bis yang tadi kami tumpangi mengalami ban bocor sehingga kami dioper ke bis yang memiliki tujuan yang sama. Bis itu sudah dipadati oleh penumpang sebelumnya dan ditambah dengan penumpang dari bis kami membuat bis sungguh penuh. Kami kedapatan kursi di samping pak supir padahal sudah ada seorang perempuan yang menempati kursi depan. Mau tidak mau, dan mesti dimuat-muati akhirnya sang supir ditemani oleh 3 perempuan di sampingnya. Ya, kursi depan yang semestinya ditempati dua orang sudah termasuk supir, saat itu kursi depan ditempati oleh empat orang sekaligus! Perjuangan yang cukup berat untuk mengunjungi seorang teman lama dan keinginan melihat ponakan yang baru.

Kami bukan saja harus bertahan desakan berempat di kursi depan, tapi kami pun sungguh-sungguh harus bertahan melihat pemandangan di depan kami! Ganti bis ternyata tidak mengganti gaya menyupir kendaraan. Sang supir juga berkendara dengan kebut-kebutan dan kali ini kami mesti menyaksikan betapa kencangnya bis kami dan betapa dekatnya jarak bis dengan kendaraan di depan kami! Owek sampai menggenggam erat lengan saya saking terkejut dan dicampur takut menabrak. Keadaan seperti itu kami alami selama hampir dua jam hingga akhirnya kamu sampai di Terminal Sukabumi yang berada di Jalan Sudirman pada pukul 14.09 WIB. Begitu turun saya langsung menghela napas sedalam dan sepanjangnya, menandakan betapa leganya saya telah tiba di Sukabumi dengan selamat! Kalau Owek, setelah turun dia mengucap “Ya Allah, Nistiiiiii.. Perjuangan men 'ngunjungi koe..” dengan ekspresi yang saya bingung deskripsikan antara kelegaan penuh syukur, penyesalan atau ketakutan. Ahahahaha.. 

Saya menyebut perjalanan kali ini adalah sebuah perjalanan persahabatan yang membuat kami menjalani sebuah perjuangan yang tak mudah demi sebuah persahabatan dan memiliki pemaknaan yang luar biasa terhadap arti sebuah pertemuan. Perjuangan dimana jarak kami hanyalah dipisahkan oleh satu batas propinsi antara propinsi DKI Jakarta dengan Propinsi Jawa Barat.

Oh iya, demi si kecil ini lah yang mendasari kami melakukan perjalanan persahabatan ini:


Kamis, 07 November 2013

Super Late Present For You, Jo!

Saya punya travelmate seorang blogger yang jauh lebih senior dari saya dan memiliki bahasa penyampaian yang baik hingga membuat saya meminta dia untuk menulis tentang saya dari sudut pandangnya. Ternyata saya duluan yang tergelitik menulis tentang dia. Hehehehehe..

@djongiskhan. Morishige. Ajo. Tiga nama panggilan namun satu sosok dengan bermacam talenta.

Awal berkenalan validitas tampangnya sungguh meragukan disebut sebagai mahasiswa UGM di salah satu jurusan science. Bayangkan saja bertemu dengan orang yang rambut gondrong awut-awutan, baju lusuh jarang diganti, sekali lihat saja langsung bisa ditebak jarang mandi sekaligus jarang keramasan, apa yang pertama kali kamu pikirkan? Could be think he is homeless guy. Cuma benar kata pepatah “don’t judge book by its cover”. Sekali berbicara, topik apapun bisa disamber, diladenin! Musik, buku, politik, sastra, sejarah, just name it. Satu sosok dengan penuh pengetahuan dan talenta. That is him.

Blogging, sudah dilakukan bertahun-tahun. Suka iseng buat lagu sesuka-sukanya. Sudah kelarin satu novel fiksi. Semakin keren ambil angel foto dan bisa pakai kamera analog. Satu kekurangannya, being jomblo. Hahahaha.. But he is rarely over thinking about that one. He said, “someday will come. No need to worry. Remember there are lot of buddy to rely on is enough” (Then day after, he told me that he worried of being single. *sorry to mention this, Jo..hahaha*).

Saya tidak pernah meragukan kemampuan mendengarnya. Kapan pun, apa pun, dimana pun saat kita SMS “wa/ym/skype dong jo” gak lama langsung ada sapaan. Semisal sinyal internet tidak mendukung, gak lama terima SMS kasih tahu. Seringnya he will make time for you whenever you need to talk. Yesss, he is that sweet! Unfortunately, he is still single. hahahaa

Banyak hal yang membuat saya terkejut dengan tingkah lakunya. Tetiba memberitahu tentang kemajuan dalam dunia menulisnya yaitu menyelesaikan novel dan adanya tawaran menjadi freelance kontributor sebuah majalah. Tetiba whatsapp “aku bikin lagu nih. Denger ya!”. Tetiba datang paket kiriman berisi kain dari Padang, padahal saya sendiri terlupa tentang permintaan ini. Tetiba mengirimkan lagu Fix you – Coldplay yang dinyanyikan sendiri, dan paling mengejutkan berhasil buat saya menangis seketika. Mungkin saat itu sedang pre menstruasi syndrome kali yaaa.. *ngeles*. Saya yakin kejutan itu masih terus berlanjut. Aku tunggu kejutan lainnya, Jo!

Ada satu kejadian yang lucu sekaligus ngenes. Kejadian di bulan Juni 2013. Saat itu saya sudah berdomisili Jakarta, diceritakan oleh teman yang masih berdomisili di Yogyakarta. Satu malam di sebuah kedai kopi, travelmates dan teman kontrakan saya sedang kumpul nongkrong. Ternyata kumpul itu punya tujuan membicarakan sebuah suprise untuk salah satu teman kontrakan saya yang akan berulang tahun. Sebuah kejutan datang saat Ajo berceletuk, “gimana sih rasanya ngomongin suprise ulang tahun orang lain padahal itu hari ulang tahunnya sendiri?” Ternyata malam itu ulang tahunnya dan tidak ada yang sadar! Mendengar cerita ini membuat saya langsung tertawa karena memang lucu akan ketidaksadaran teman-teman tentang hari itu dan membayangkan bagaimana ekspresi mereka saat dengar omongan Ajo. Saya tidak kuasa menahan ketawa bahkan saat mengetik ini. Hahahahahahaa..

Well, saya pun waktu itu melupakan hari ulang tahunnya. Cuma sengaja gak ngucapin sambil memikirkan hal lain yang bisa saya lakukan untuk menebus kelupaan saya itu. And here is your super late birthday present, Jo! Words from those who care about you:








For you: Live long and keep rock and roll, Jo!


Kamis, 31 Oktober 2013

Sepucuk Kartu Kebahagiaan

Kemarin sore lagi ubek-ubek kamar nyari barang eh ga sengaja nemu kartu ucapan ulang tahun dari teman SMP. Entah itu tahun berapa.

Kartu itu dikirim sewaktu saya kuliah di Yogyakarta. Waktu itu bahagianyaaa gak ketulungan! hehehe..

Saat kamu mulai jarang berinteraksi dengan teman lama lalu mendapat perhatian dengan kiriman ucapan handmade seperti ini rasanya luar biasa meeeen!

Buat Riris: THANK YOU BANGET! sengaja gw posting di sini biar hadiah lu selalu ada, ga kemana-mana. Plus rasa senengnya bisa terulang terus setiap gw baca kartu lu :)

Senin, 28 Oktober 2013

Hujan

Kurang suka hujan.

Tidak suka hujan-hujanan.

Tidak tahan dingin ketika hujan.

Tidak suka basah karena kehujanan.

Kerap ketakutan suara petir yang menemani hujan.

Tapi suka aroma tanah yang hanya ada sesaat menjelang hujan.

Suka merasakan rintik hujan yang jatuh tak beraturan di telapak tangan.

Suka melihat tanah, daun, ranting yang basah setelah hujan berhenti.

Suka penantian munculnya pelangi setelah hujan berhenti.

Suka melihat langit yang kembali biru dikombinasikan awan putih setelah hujan berhenti.

Rasanya ingin menyentuh hujan kemudian memeluknya.

Mengucapkan, 'Walau aku tidak suka ketika kau ada, tapi aku suka caramu membuat dunia lebih indah'

Sabtu, 26 Oktober 2013

Browni: Arti Yang Tidak Disadari

Sering sebel kalau kebangun karena gonggongan cemprengnya.
Suka berujar "ih apa deh heboh sendiri. lebaaaay!".
Sering marah-marahin kalau kandang penuh kotoran yg belepotan terinjak-injak.
Sering buka pintu sambil penuh tanya 'ada apa sih? kok lewat tengah malam gini berisik?'

Malam ini sunyi. Saking sunyinya hingga mendengar suara serangga malam, entah apa jenisnya, padahal malam-malam sebelumnya jarang sadar ada suara ini.

Sore ini saya merelakan Browni dipelihara orang lain, seorang teman di kawasan Jakarta Utara. Setelah bercerita singkat, memberi wejangan, tips mengenai kebiasaannya tersadar udah banyak banget kenangan yang tertumpuk, jarang saya bicarakan pada siapa pun.

Alergi pada dogfood tertentu, galak pada pria, pola manjanya saat dipangku ataupun digendong, pengalaman ditemani saat sakit dan sendirian di kosan dengan hanya duduk manis dengan tubuh dan pandangan tertuju pada saya yang tergeletak di atas tempat tidur, kebiasaannya yang garuk-garuk pintu menandakan ingin keluar sekedar pipis atau pup, merengek menangis bila dikandangi dan diletakkan di pojokan ruangan dan baru akan berhenti bila melihat saya kemudian akan tertidur dengan sendirinya, ingatan bahwa hewan apa pun dengan ukuran tubuh berbanding berapa pun dengannya tanpa gentar akan dilawan bahkan seekor pitbull. hahhhh..yasudahlah..pemiliknya sekarang akan lebih bisa beri waktu dan perhatian dibanding keadaannya beberapa bulan belakangan ini.

Semenjak bekerja, saya akui cukup kewalahan merawat memelihara tiga anjing: anjing big size, anjing medium size dan small size yaitu Browni. Seringkali saya sengaja tidak melepasnya keluar kandang padahal dua anjing lainnya saya lepas di halaman untuk mereka bermain, berlarian. Saya punya alasan untuk tindakan saya ini. Biasanya saya melepaskan anjing-anjing sambil saya membersihkan kandang, termasuk kandang Browni yg terpisah sendiri oleh dua anjing lainnya. Ukuran Browni yang mungil sering membuat dia dengan bebas lari menerobos keluar pagar melewati selanya yang seukuran tubuhnya. Satu hal yang saya cemaskan bila dia bermain di luar pagar: tertabrak kendaraan yang tidak melihatnya melintas. Dan betul kecemasan ini. Pernah satu hari pulang kerja saya mendapati dia berjalan pincang. Rupanya sore itu dia dilepas bebas tanpa pengawasan. Kasian melihatnya ditambah dengan ekspresi penuh dramanya.

Sore sepulang bertemu dengan teman tadi, sempat mencoba menghiraukan perasaan kehilangan. Cuma suara serangga atau pun cicak di malam ini terasa lebih mengusik dari gonggongan Browni. Sempat terlintas pikiran menjemput kembali tapi ego tidak melulu harus dituruti. Kalau Browni kembali ke sini, dia akan kembali di kondisi yang kurang diperhatikan.

Sempat menasehati, "Paling beberapa jam atau beberapa hari dia akan terlihat bingung sebagai tahap penyesuaian". Malam ini tersadar ternyata saya bicara untuk diri sendiri. Saya kembali harus belajar menyesuaikan diri dengan kondisi baru, kondisi tanpa gonggongan cempreng Browni.

Terima kasih ya, Browni. Atas segala pelajaran mengenai dedikasi, komitmen, dan perhatian. Atas waktu dan kejadian yang memberi banyak arti yang tidak disadari saat masih ada dan tersadar saat sudah tidak ada. Sampai jumpa, Browni. Kapan-kapan ku kan menjengukmu. Pasti.

Teriakan Kemerdekaan Bosscha



Sabtu, 17 Agustus 2013 perjalanan saya di mulai pk 07.20 WIB dari Bintaro, Jakarta. Sebuah perjalanan melalui jalur bebas hambatan menuju Bandung, tiba di Bosscha - Lembang pukul 10.50 WIB. Jakarta - Lembang dengan waktu tempuh kurang 3 jam lebih menunjukkan bagaimana kepadatan lalu lintas terutama kepadatan lalu lintas di jalur Lembang yang padat merayap cenderung tidak bergerak. Upacara peringatan kemerdekaan RI di ruang serba guna Bosscha direncanakan pukul 9.30 namun hari itu dengan terpaksa baru dimulai pada pukul 11.00. Keterlambatan 1,5 Jam dari jadwal tidak mengurungkan semangat untuk mengumandangkan Indonesia Raya yang kemudian diikuti pembacaan Proklamasi oleh budayawan nasionalis, Bapak Eka Budianta, yang juga merangkap sebagai moderator pada dialog siang mengenai keberlangsungan kegiatan Observatorium Bosscha antara masyarakat, komunitas umum (salah satunya Komunitas Aleut!), Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) dan pihak Observatorium Bosscha.


Sahabat Bosscha. Lembang – Jawa Barat, 17 Agustus 2013.

Tahun 2013, Observatorium Bosscha (baca: bos’ka) tepat menginjak usia 90 tahun. Usia yang tua, lebih tua dibanding kemerdekaan RI yang telah dicecap selama 67 tahun. Angka 90 tahun itu telah menyimpan banyak sejarah yang juga memberi sumbangsih terhadap Republik Indonesia. Mari kita menilik sejarah dibangunnya observatorium yang megah ini.

Perjalanan pembangunan Observatorium Bosscha termasuk panjang. Joan George Erardus Gijsbert Voûte merupakan orang pertama yang menyadari kurangnya jumlah observatorium dan pengamat di langit selatan. Namun, Voûte menyadari tanpa gelar doktor dan dukungan dari pemerintahan kolonial Belanda, ia akan sulit merealisasikan pembangunan observatorium di langit selatan. Kemudian Voûte dikenalkan oleh pengusaha teh bersaudara dari bandung yaitu Karel Albert Rudolf Bosscha dan Rudolf Albert Kerkhoven. Adanya kolaborasi kedua pengusaha ini sebagai orang-orang terkaya dan berpengaruh di Jawa, Voûte segera mencari dukungan dari pada astronom di Belanda. Usaha Voûte berhasil menarik perhatian para astronom metropolitan baik di Leiden maupun Groningen, Belanda. Astronom Leiden setuju mendukung pembangunan observatorium dan meminta peran pengelolaan dilakukan oleh astronom Leiden.

Karel Albert Rudolf Bosscha, juga dikenal dengan sebutar KAR Bosscha, adalah seorang penggila tanaman yang juga antusias menggemari bidang astronomi berinisiatif untuk menyalurkan hobinya dengan membangun observatorium ini dibantu oleh sepupu Bosscha yaitu Rudolf Albert Kerkhoven. Pembangunan observatorium tidaklah mulus apa adanya. Bosscha sadar seandainya astronom Leiden memiliki kendali atas pengelolaan observatorium nantinya, ia tak akan bisa bersaing dalam hal otoritas ilmiah walaupun ia adalah orang kaya dan berpengaruh. Sehingga ia membentuk perkumpulan orang terpelajar bernama Nederlandsch-Indische Sterrenkundige Vereeniging (NISV—Perkumpulan Astronom Hindia Belanda) dengan Bosscha sebagai ketuanya dan Kerkhoven sebagai sekretaris. Perkumpulan ini dibangun untuk menyalurkan uang yang digunakan untuk membangun observatorium. Kok bisa? Jadi, Untuk bergabung pada perkumpulan ini, ada syarat keanggotaan dengan menyumbang sejumlah uang. Jumlah uang yang disumbangkan akan menentukan status keanggotaannya dalam perkumpulan. Begini rinciannya: pendiri organisasi menyumbang lebih dari 10.000 Gulden, penyumbang memberikan yang uang masuk sebesar 500 Gulden dan iuran anggota 100 Gulden per tahun sementara anggota biasa membayar 10 Gulden per tahun. Sekitar dari tahun 1920/1921 hingga tahun 1928, diperkirakan organisasi ini mampu menyumbangkan 1 juta Gulden untuk dana pendirian dan operasional harian observatorium. Kemudian perkumpulan ini diisi oleh orang-orang berpengaruh di Hindia Belanda pada saat itu sehingga mendapat perhatian pemerintahan kolonial hingga lembaga berpengaruh di Hindia Belanda. Keren ya caranya Pak Bosscha? J


                                 Karel Albert Rudolf. Bosscha. Sumber: http://langitselatan.com

Berkat usaha Pak Bosscha, sebidang tanah di Lembang – sekitar 15 km ke utara Bandung dan 600 m di atasnya – telah disumbangkan oleh Ursone bersaudara, pengusaha pemerahan sapi Baroe Adjak dan hak kepemilikan tanahnya telah diserahkan kepada NISV. Dikarenakan observatorium akan dibangun di Lembang, pada masa pembangunan observatorium disebut-sebut dengan Observatorium Lembang. Pembangunan Observatorium Lembang dimulai pada Januari tahun 1923 dan selesai dibangun 5 tahun kemudian yaitu pada tahun 1928. Well, sebenarnya pembangunannya tidak selama itu. Pembangunan fisik tampaknya telah selesai pada tahun 1925 karena program pengamatan sudah dimulai dengan instrumen yang ada di tahun tersebut. Namun, teleskop 60 cm  pesanan Bosscha dari perusahaan optik ternama Jerman, yaitu Carl Zeiss Jena baru tiba dan dipasangkan pada tahun 1928. Butuh waktu tujuh tahun untuk membuat dan mengantarkannya dari Jerman ke Batavia. 

Setelah pembangunan tersebut selesai, Voûte menyarankan untuk memberi nama observatorium ini dengan Observatorium Bosscha sebagai penghargaan segala upaya yang telah dilakukan oleh Bosscha selama pembangunan. Sejak itu Observatorium yang awalnya disebut observatorium Lembang dinamai Observatorium Bosscha. Setelah berdiri, Bapak Bosscha menyerahkan kepada Netherlands Indies (NISV) sebagai pengelola dan kembali mengurusi usaha perkebunan tehnya di Malabar. Sayangnya bapak Bosscha tidak lama menikmati waktunya di observatoriumnya ini karena tidak lama kemudian bapak Bosscha meninggal di Malabar pada November 1928 dikarenakan sakit tetanus. Walau pembangunan telah selesai pada tahun 1928, Publikasi Internasional Observatorium Bosscha pertama kali dilakukan pada tahun 1933. Pada 17 Oktober tahun 1951, NISV dibubarkan kemudian pengelolaan Observatorium Bosscha diserahkan pada pemerintah RI yang diterima oleh Mendikbud pada waktu itu, yaitu Bapak Wongsonegoro, kemudian menyerahkan pengelolaannya dibawah Technische Hoogeschool te Bandung (nama sebelum diganti menjadi ITB) hingga kini.

Foto masa pembangunan Observatorium Bosscha 
Joan Voûte mengangkat topinya dan K.A.R. Bosscha berdiri disebelahnya 

Perjalanan tersebut sangat menarik membuat terus bertanya tapi cukup pengenalan singkat sejarahnya. Kini mari kita mengintip perannya.

Sejak dibangun, Observatorium Bosscha merupakan satu-satunya observatorium tertua dan terbesar di Indonesia dengan teleskop terbesar ketiga di seluruh dunia. (Ya dunia, bukan sekedar nasional loh ya. Kalau nasional malah satu-satunya teleskop terbesar). Selain itu, Observatorium Bosscha pun menjadi lembaga penelitian astronomi terbesar di Asia Tenggara. Diulang ya, se-Asia Tenggara meeen! Pada masanya, teknologi yang digunakan di observatorium ini adalah yang tercanggih. Bayangkan saja pada tahun 1928 dengan teleskop dengan garis tengah 60 cm dan panjang fokus 10 meter  itu mampu mencitrakan bintang yang jauhnya sudah tidak dapat diukur dengan ukuran kilometer atau mil tapi dengan kecepatan cahaya. Dan yang paling penting, Observatorium Bosscha merupakan lembaga penelitian astronomi yang memegang peran penting dalam peneropongan pada langit bagian selatan. Diwaktu tertentu, peneropongan bintang hanya dapat dilihat dengan jelas dari Observatorium Bosscha dan observatorium bagian langit utara menjadi sangat bergantung pada hasil peneropongan dari Observatorium Bosscha. Jadi, kiprah Observatorium Bosscha ini bukan hanya menasional namun juga internasional. Bisa dikatakan selain sebagai tonggak penelitian dan pengembangan ilmu astronomi di Indonesia, Observatorium Bosscha pun berperan sebagai kunci saksi mata dunia untuk peradaban astronomi di langit selatan. Keren!

Sekarang kita lihat bagaimana situasi kehidupan Observatorium Bosscha maupun lingkungannya terkini. Pada tahun 2004, Observatorium Bosscha dinyatakan sebagai Benda Cagar Budaya oleh Pemerintah dan dilindungi oleh UU No. 2/1992 tentang Benda Cagar Budaya. Kemudian pada tahun 2008 Pemerintah menetapkan Observatorium Bosscha sebagai salah satu Objek Vital Nasional yang harus diamankan. Nah, ini dia yang mengundang pertanyaan, “dilindungi UU kemudian ditetapkan jadi objek yang harus diamankan”? ada apa? Kenapa mesti sampai dilindungi UU dan Pemerintah sampe susah payah menetapkan menjadi objek yang harus diamankan?

       Saya pernah membaca di salah satu artikel bahwa Observatorium Bosscha telah menjadi milik dunia. Pernyataan itu tampaknya tidak memiliki arti apapun. Toh nyatanya Observatorium Bosscha kini sedang berperang melawan modernisasi lokal yang membabi buta. Kegiatan manusia yang tidak ada hentinya 24 jam sehari, 7 hari seminggu tidak mengenal siang atau malam dan berkembangnya keragaman jenis kegiatan manusia mendorong para investor dan para pengembang untuk menciptakan fasilitas-fasilitas penunjang dan menghiasi pembangunan dimana-mana. Pembangunan yang mengatasnamakan sebagai pemenuhan kebutuhan manusia walau harus menggerus jejak sejarah perjalanan manusia itu sendiri. Kehidupan yang berkilau di malam hari pun menjadi tak terelakkan. Dampaknya langit bersih yang penuh ditaburi bintang pun telah jarang didapati bahkan di sekitaran lingkungan Observatorium Bosscha. Undang-Undang maupun Kepmen pun hanya menjadi pernyataan hitam di atas putih bahkan dibuatkan plang besar  dan dipasang di kawasan terluar pun tidak membawa perubahan apa-apa karena Undang-Undang tersebut baru mengatur bangunan fisik dan halaman yang masuk dalam wilayah Observatorium Bosscha. Padahal sebagai tempat peneropongan bintang perlu adanya ruang yang cukup untuk meminimalisir adanya pencahayaan dari bangunan ataupun aktivitas dan juga penyaringan polusi cahaya sedangkan pembangunan semakin mendesak dan menghimpit Observatorium Bosscha. Kini, Observatorium Bosscha seperti sedang “berperang” dengan pengembang. Lahan Observatorium Bosscha ternyata belum memiliki sertifikat tanah dan lokasinya berada dalam himpitan lahan milik pengembang yang kita sebut saja sebagai Perkasa. (*dengar-dengar pengembang ini membeli lahan secara bertahap sehingga Observatorium Bosscha terhimpit kayak sekarang. Tapi itu masi isu aja siiih. belum saya teliti lebih jauh.ehehe*) 

Perkasa memiliki perencanaan membangun kawasan wisata terpadu di dua lahan yang dimiliki yaitu lahan di barat daya dan di timur laut. Naasnya, bila dilihat dari peta wilayah Observatorium Bosscha tampak telah kalah sebelum berperang. Observatorium Bosscha memiliki luas 1,8 ha sementara Perkasa memiliki lahan dengan luas 61,62 ha. Oke, Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) pun beri sumbangsih lahan namun luasnya hanya 0,6 ha. Yak, mari kita jumlahkan Observatorium Bosscha 1,8 ha + BMG 0,6 ha = 2,4 ha, melawan Perkasa yang lahannya seluas 61,62 ha. Bikin ha..ha..ha..ha.. ahsudahlah.. Gimana dengan sekitaran lainnya? Dalam radius 1 km atau lahan seluas 400 ha di sekitar Bosscha, ada lima lokasi yang sudah berubah fungsi. Apa saja? Akan saya jabarkan sebagai berikut:
Barat Laut        : Terdapat kebun campuran seluas 187,36 ha
Barat                : Terdapat pemukiman penduduk seluas 61,88 ha
Barat Daya       : Terdapat sawah/tegalan/kebun campuran seluas 119,38 ha
Timur               : Terdapat peternakan seluas 1,8 ha dan emplasemen 12,5 ha



Untuk lebih perjelas bagaimana pemetaannya, berikut pencitraan yang saya ambil dari Google Earth dengan menggunakan ponsel Lenovo:



 Berikut Pencitraan lebih dekatnya:


Dua foto pencitraan di atas terlihat jelas bahwa sekeliling Observatorium Bosska telah cukup padat oleh pemukiman. Bagaimana nanti saat Perkasa merealisasikan wisata terpadunya ya? Kemungkinan besar peningkatan polusi cahaya tidak dapat dihindari dan semakin mengancam kegiatan peneropongan Observatorium Bosscha.

Pemerintah Kabupaten Bandung telah memberikan ijin kepada Perkasa sehubungan dengan perencanaan pembangunan wisata terpadu. Dalam ijin tersebut Pemkab menyertai salah satu syarat: pembangunan tidak mengganggu kegiatan peneropongan bintang di Bosscha. Bisa dibilang persyaratan ini sedang menjadi pelamban rencana Perkasa karena proses perijinan yang belum tuntas. Pada artikel di tahun 2006, Menristek Dr Kusmayanto berjanji lakukan segala upaya menyelamatkan Bosscha dan juga ada rencana kerja sama dengan Menbudpar (Jero Wacik pada waktu itu). Sudah tujuh tahun, meeen! Mau ngomong ‘kerjaan pemerintah ngapain aja sih?’ tapi terbentur juga dengan pertanyaan ‘memang apa yang sudah kamu lakukan?’

Boleh saja mengkritik regulasi birokrasi Indonesia yang masih tumpang tindih antara regulasi pusat dengan daerah. Hanya saja lebih baik dibarengi dengan tindakan nyata dari diri sendiri. Jangan sampe “maling teriak maling”. Bagaimana bantunya? Gampang banget! Pertama, yuk kita bantu kurangi polusi cahaya dari langkah paling kecil, matikan lampu yang tidak digunakan saat malam. Kurangi kegiatan malam atau begadang juga bisa jadi langkah kurangi penggunaan lampu, sekaligus menyehatkan badan. Jika memiliki taman, bisa memanfaatkan potongan keramik yang ditanamkan di sepanjang jalan setapak taman. Potongan keramik tersebut merupakan cara yang digunakan di sekitar halaman Observatorium Bosscha dengan memanfaatkan pantulan cahaya bulan di permukaan keramik tersebut. Cara ini efektif dalam meminimalisir polusi cahaya, loooh.. Potongan keramik dapat dilihat di bawah ini:


Kedua, jika kamu ingin ikutan “teriakan” kepedulian Observatorium Bosscha bersama teman-teman lain yang juga peduli bisa gabung “Sahabat Bosscha”. Kelompok relawan ini baru saja dibentuk pada tanggal 17 Agustus 2013 lalu bersamaan dengan perayaan 90 tahunnya Observatorium Bosscha yang saya ceritakan paling atas. Kegiatan terakhirnya tanggal 03 Oktober lalu kelompok ini melakukan kunjungan ke rumah dan makam Pak Bosscha di Malabar dan kunjungan boleh diikuti oleh siapa saja. Tertarik? Sila follow@FoBosscha atau Like Fans Page Facebook: Friends of Bosscha Observatory.

Perwakilan beberapa observatorium di beberapa negara sudah menunjukkan kepeduliannya terhadap Observatorium Bosscha. Bagaimana dengan tuan rumah? Sudah ada beberapa pihak yang telah menunjukkan sikap peduli terhadap Observatorium Bosscha namun suara mereka masih belum cukup untuk didengar. Mari kita ikut peduli! Mulailah peduli dan beraksi dari diri sendiri, dari hari ini juga.


"Ga mesti suka astronomi dulu ‘tuk peduli. Jangan sampai digerus sama pengembang dulu baru meneriakkan keprihatinan” cupacupicup.blogspot.com