Ketika tidur sudah terasa
membosankan ‘tuk habiskan waktu dalam perjalanan, saya suka melihat ke luar
jendela kendaraan. Saya suka mengambil duduk persis sebelah jendela. Jendela
dengan ada tuas penariknya. Angin yang hilir dengan kendali saya kuasai sendiri
seberapa lebar jendela dibuka. Digeser terbuka sampai mentok atau digeser hanya
seruas beberapa jari saja. Terserah sesuai keinginanku.
Malam itu saya pun memilih duduk
sebelah jendela. Angkutan umum saya sudah sepi penumpang. Tinggal saya
satu-satunya perempuan di angkutan itu, ditemani tiga penumpang beserta sang
supir. Saya memutuskan untuk terjaga hingga tujuan akhir. Hanya berwaspada saja
pada hal apa pun tindak kriminalitas.
Saya suka lihat pemandangan di
luar jendela. Suka melihat transformasi pemandangan dari daerah pedesaan menuju
perkotaan. Diawali dengan banyaknya pohon, rumah sederhana, lampu jalan yang
jarang-jarang kemudian perlahan terlihat ruko, mini supermarket 24 jam hingga
akhirnya gedung bertingkat, hiruk pikuk kendaraan beserta kilauan lampu kota.
Ah sudah masuk Bogor rupanya, batinku.
Clingak clinguk. Lihat kanan.
Lihat kiri. Heboh. Ya begitulah tingkah laku saya bila melihat pemandangan baru
atau lingkungan asing. Tidak sabar ingin menghapal deretan bangunan yang
berjejer sepanjang jalanan yang saya lalui. Siapa tahu berikutnya saya akan
lewat jalan yang sama dengan kendaraan pribadi. Kemudian saya dikejutkan oleh
satu tempat makan dengan aksen bambu dan terpajang spanduk dengan warna jingga
yang mencolok. Saya terkejut dengan tulisan menu yang terdapat pada spanduk
tersebut. Hanya saya tidak bisa turun berhenti sekedar mampir tempat makan itu.
Saya harus mengejar kereta terakhir ke Jakarta. Lalu saya bertekad minggu depan
saya harus kembali ke Bogor untuk mencari tahu tempat makan itu kebenaran penyajian
menu sesuai yang tertulis di spanduk atau itu hanya sekedar simbol. Saya
langsung hubungi teman saya yang tinggal di Bogor menanyakan kesibukan di
minggu depan dan kesediaan menemani saya menemukan tempat makan itu. Tadi saya
tidak sempat mencari tahu nama jalan karena supir yang melaju cukup cepat dan
tidak menemukan plang nama jalan serta saya tidak mengenal daerah Bogor. Minggu
depannya, 28 Oktober 2013, saya berhasil meyakinkan teman saya di Bogor untuk
menemani selama di Bogor yaitu tante Heny dan Deddy. Yes! Langsung semangat ’45!
Bukan Bogor namanya jika tiada hari tanpa hujan. Julukan kota hujan itu memang bukan sekedar julukan. Hujan deras menahan
saya untuk tidak keluar kontrakan Tante Heny yang berada di kawasan Mega
Mendung. Saya meminta Deddy ‘tuk menjemput ke atas tapi saya ga menduga Deddy
sampai terobos hujan untuk menjemput saya. Benar-benar basah kuyup membuat saya
merasa bersalah. Sudah menawarkan jaket saya tapi Deddy enggan memakainya
karena karet di pinggang yang ketat. Katanya geli. Sedih tawaran bantuannya
tidak diterima.
Akhirnya hujan reda ketika hari
sudah gelap. Rupanya hampir jam tujuh malam. Pupus sudah harapan mencari tempat
makan itu karena saya harus mengejar jadwal kereta jam sembilan malam. Waktunya
tidak cukup kalau begini, batinku. Saya tetap turun ke bawah dan berencana
membeli asinan buah yang terkenal kemudian mencoba surabi duren yang menjamur
di Bogor. Mata ku terus saja menyapu seluruh bangunan yang kami lewati
sepanjang jalan menuju tempat jual asinan buah khas Bogor. Hatiku terus saja
berharap menemukan tempat makan itu hingga sesekali saya tidak begitu
memperhatikan Deddy bicara. Maafkan saya jika kali ini rasa penasaranku telah
membisukan santunku. Motor terus melaju lurus hingga melewati Terminal Baranangsiang.
“ah beneran gak ketemu. Oke, I give
up” pikirku. Saya merasa tempat makan itu terletak antara persimpangan menuju
Ciawi hingga sebelum saya sampai di Terminal Baranangsiang.
Kali ini saya kembali
memperhatikan Deddy bicara dengan seksama. Tak lama sudut mata saya menangkap
spanduk warna jingga mencolok yang sedari tadi saya cari. Memang ada saatnya
kita diminta menyerah dulu ‘tuk menemukan sesuatu yang kita cari. Penuh
semangat ku tunjukkan Deddy jika saya ingin singgah ke tempat makan itu dulu.
Deddy menuruti dengan memutar balik motor karena kami sempat terlewat. Inilah
spanduk jingga mencolok itu:
Kaget melihat tulisan beberapa
varian menu hiu? Saya juga. Kaget karena tercantum pada spanduk dengan tulisan
yang besar dan warna yang mencolok. Benar-benar mencari perhatian. Strategi
marketing yang bagus. Tapi apakah pencantuman kata “hiu” itu pun hanya suatu
strategi marketing? Itu salah satu pertanyaan yang menggelitik rasa ingin tahu
saya. Akhirnya saya masuk untuk mencoba mencicipi menu tempat makan itu.
Pelayan menghampiri kami
setelah kami memilih tempat duduk dan memberikan selembar daftar menu kemudian
kami minta untuk ditinggal sebentar sementara kami memilih menu apa yang akan
disantap. Saya sempatkan mengambil foto daftar menunya. Berikut fotonya:
Sebelum ditinggal, Deddy sempat
menanyakan: “Kang, hiu di menu ini beneran hiu?” sang pelayan mengiyakan
jawaban Deddy. “Jenisnya apa?” Deddy tampak penasaran. Pelayan menjawab hiu
yang disajikan adalah hiu tutul. Setelah itu sang pelayan meninggalkan kami
untuk memilih menu. Eits, jangan berprasangka buruk dulu. Yang saya cicipi
malam itu adalah kwetiaw seafood. Rasanya sungguh jauh dari kata enak. Sangat
berminyak dan seafoodnya masih keras, sulit dikunyah. Very not recommended!
Rasa penasaran saya telah
terlampiaskan. Tempat itu memang menjual menu sup hiu ataupun sup rica-rica,
bukan sekedar strategi marketing saja. Untung saja masakan tempat itu tidak
enak dan malam itu sepi pengunjung jadi saya tidak memiliki beban moral yang
besar. Tapi saya masih heran, kenapa ada tempat makan yang menjual menu hiu di
kota kecil seperti Bogor? Terlebih tempat makan itu bukanlah sebuah restoran
cina yang lebih dikenal menyajikan menu hiu, penyu atau jenis seafood lainnya yang
kini sudah dianggap langka. Tempat makan itu hanyalah tempat makan biasa
layaknya rumah makan sunda maupun rumah makan lainnya yang biasa kita temui di
pinggir jalan.
Saya merasa justru
dengan tempat makan seperti itu yang perlu diwaspadai. Jika suasana tempat
makan ditampilkan dengan sederhana seperti rumah makan lainnya, bisa jadi nanti
akan bermunculan dan berjamur tanpa disadari. Dimulai hal yang biasa hingga
membuat kita jadi terbiasa tanpa sadar bahwa itu adalah sebenarnya bukan hal yang
biasa saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar