Minggu, 01 Desember 2013

Rasa Ingin Tahu Pada Spanduk Jingga Di Bogor

Ketika tidur sudah terasa membosankan ‘tuk habiskan waktu dalam perjalanan, saya suka melihat ke luar jendela kendaraan. Saya suka mengambil duduk persis sebelah jendela. Jendela dengan ada tuas penariknya. Angin yang hilir dengan kendali saya kuasai sendiri seberapa lebar jendela dibuka. Digeser terbuka sampai mentok atau digeser hanya seruas beberapa jari saja. Terserah sesuai keinginanku.

Malam itu saya pun memilih duduk sebelah jendela. Angkutan umum saya sudah sepi penumpang. Tinggal saya satu-satunya perempuan di angkutan itu, ditemani tiga penumpang beserta sang supir. Saya memutuskan untuk terjaga hingga tujuan akhir. Hanya berwaspada saja pada hal apa pun tindak kriminalitas.

Saya suka lihat pemandangan di luar jendela. Suka melihat transformasi pemandangan dari daerah pedesaan menuju perkotaan. Diawali dengan banyaknya pohon, rumah sederhana, lampu jalan yang jarang-jarang kemudian perlahan terlihat ruko, mini supermarket 24 jam hingga akhirnya gedung bertingkat, hiruk pikuk kendaraan beserta kilauan lampu kota. Ah sudah masuk Bogor rupanya, batinku.

Clingak clinguk. Lihat kanan. Lihat kiri. Heboh. Ya begitulah tingkah laku saya bila melihat pemandangan baru atau lingkungan asing. Tidak sabar ingin menghapal deretan bangunan yang berjejer sepanjang jalanan yang saya lalui. Siapa tahu berikutnya saya akan lewat jalan yang sama dengan kendaraan pribadi. Kemudian saya dikejutkan oleh satu tempat makan dengan aksen bambu dan terpajang spanduk dengan warna jingga yang mencolok. Saya terkejut dengan tulisan menu yang terdapat pada spanduk tersebut. Hanya saya tidak bisa turun berhenti sekedar mampir tempat makan itu. Saya harus mengejar kereta terakhir ke Jakarta. Lalu saya bertekad minggu depan saya harus kembali ke Bogor untuk mencari tahu tempat makan itu kebenaran penyajian menu sesuai yang tertulis di spanduk atau itu hanya sekedar simbol. Saya langsung hubungi teman saya yang tinggal di Bogor menanyakan kesibukan di minggu depan dan kesediaan menemani saya menemukan tempat makan itu. Tadi saya tidak sempat mencari tahu nama jalan karena supir yang melaju cukup cepat dan tidak menemukan plang nama jalan serta saya tidak mengenal daerah Bogor. Minggu depannya, 28 Oktober 2013, saya berhasil meyakinkan teman saya di Bogor untuk menemani selama di Bogor yaitu tante Heny dan Deddy. Yes! Langsung semangat ’45!

Bukan Bogor namanya jika tiada hari tanpa hujan. Julukan kota hujan itu memang bukan sekedar julukan. Hujan deras menahan saya untuk tidak keluar kontrakan Tante Heny yang berada di kawasan Mega Mendung. Saya meminta Deddy ‘tuk menjemput ke atas tapi saya ga menduga Deddy sampai terobos hujan untuk menjemput saya. Benar-benar basah kuyup membuat saya merasa bersalah. Sudah menawarkan jaket saya tapi Deddy enggan memakainya karena karet di pinggang yang ketat. Katanya geli. Sedih tawaran bantuannya tidak diterima.

Akhirnya hujan reda ketika hari sudah gelap. Rupanya hampir jam tujuh malam. Pupus sudah harapan mencari tempat makan itu karena saya harus mengejar jadwal kereta jam sembilan malam. Waktunya tidak cukup kalau begini, batinku. Saya tetap turun ke bawah dan berencana membeli asinan buah yang terkenal kemudian mencoba surabi duren yang menjamur di Bogor. Mata ku terus saja menyapu seluruh bangunan yang kami lewati sepanjang jalan menuju tempat jual asinan buah khas Bogor. Hatiku terus saja berharap menemukan tempat makan itu hingga sesekali saya tidak begitu memperhatikan Deddy bicara. Maafkan saya jika kali ini rasa penasaranku telah membisukan santunku. Motor terus melaju lurus hingga melewati Terminal Baranangsiang. “ah beneran gak ketemu. Oke, I give up” pikirku. Saya merasa tempat makan itu terletak antara persimpangan menuju Ciawi hingga sebelum saya sampai di Terminal Baranangsiang.

Kali ini saya kembali memperhatikan Deddy bicara dengan seksama. Tak lama sudut mata saya menangkap spanduk warna jingga mencolok yang sedari tadi saya cari. Memang ada saatnya kita diminta menyerah dulu ‘tuk menemukan sesuatu yang kita cari. Penuh semangat ku tunjukkan Deddy jika saya ingin singgah ke tempat makan itu dulu. Deddy menuruti dengan memutar balik motor karena kami sempat terlewat. Inilah spanduk jingga mencolok itu:


Kaget melihat tulisan beberapa varian menu hiu? Saya juga. Kaget karena tercantum pada spanduk dengan tulisan yang besar dan warna yang mencolok. Benar-benar mencari perhatian. Strategi marketing yang bagus. Tapi apakah pencantuman kata “hiu” itu pun hanya suatu strategi marketing? Itu salah satu pertanyaan yang menggelitik rasa ingin tahu saya. Akhirnya saya masuk untuk mencoba mencicipi menu tempat makan itu.

Pelayan menghampiri kami setelah kami memilih tempat duduk dan memberikan selembar daftar menu kemudian kami minta untuk ditinggal sebentar sementara kami memilih menu apa yang akan disantap. Saya sempatkan mengambil foto daftar menunya. Berikut fotonya:


Sebelum ditinggal, Deddy sempat menanyakan: “Kang, hiu di menu ini beneran hiu?” sang pelayan mengiyakan jawaban Deddy. “Jenisnya apa?” Deddy tampak penasaran. Pelayan menjawab hiu yang disajikan adalah hiu tutul. Setelah itu sang pelayan meninggalkan kami untuk memilih menu. Eits, jangan berprasangka buruk dulu. Yang saya cicipi malam itu adalah kwetiaw seafood. Rasanya sungguh jauh dari kata enak. Sangat berminyak dan seafoodnya masih keras, sulit dikunyah. Very not recommended!

Rasa penasaran saya telah terlampiaskan. Tempat itu memang menjual menu sup hiu ataupun sup rica-rica, bukan sekedar strategi marketing saja. Untung saja masakan tempat itu tidak enak dan malam itu sepi pengunjung jadi saya tidak memiliki beban moral yang besar. Tapi saya masih heran, kenapa ada tempat makan yang menjual menu hiu di kota kecil seperti Bogor? Terlebih tempat makan itu bukanlah sebuah restoran cina yang lebih dikenal menyajikan menu hiu, penyu atau jenis seafood lainnya yang kini sudah dianggap langka. Tempat makan itu hanyalah tempat makan biasa layaknya rumah makan sunda maupun rumah makan lainnya yang biasa kita temui di pinggir jalan.

Saya merasa justru dengan tempat makan seperti itu yang perlu diwaspadai. Jika suasana tempat makan ditampilkan dengan sederhana seperti rumah makan lainnya, bisa jadi nanti akan bermunculan dan berjamur tanpa disadari. Dimulai hal yang biasa hingga membuat kita jadi terbiasa tanpa sadar bahwa itu adalah sebenarnya bukan hal yang biasa saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar