Kamis, 26 Desember 2013

Papandayan Sebagai Perjalanan Pertama – Part I

Selama ini saya lebih suka lakukan perjalanan ke kota atau pantai. Main ke pantai A. Kunjungi kota B. Ingin bermain ke pantai C. Penasaran mau kulineran di kota D. Hanya diantara itu saja. Kemudian saya dihadapkan oleh kalimat ajakan “Ikut Papandayan yuk!”. Sebuah ajakan menggelitik rasa ingin tahu saya. Ditambah rasa ingin mencoba hal lain selain pantai dan kota.

Kali ini kenapa saya penasaran ingin lakukan perjalanan gunung? Saya dikelilingi teman-teman yang begitu mengagumi aktivitas “penaklukan” puncak-puncak gunung. Sering kali wacana yang terlontar adalah perjalanan ke gunung ketika bertemu. Saya tidak pernah tertarik. Bahkan ketika saya berpacaran dengan seroang mahasiswa pecinta alam atau yang sering disebut mapala. Sering diajak namun sering juga tidak memiliki ketertarikan ingin ikut. Lain ceritanya jika saya diajak ke pantai atau ke kota-kota yang masih asing buat saya.

Kali itu, Saya tergelitik ingin tahu, “apa rasanya naik gunung? Apa yang membuat perjalanan gunung sebegitu diagung-agungkan?”.

Saya sudah mendengar wacana itu sekitar tiga minggu sebelumnya. Hanya saya masih belum tertarik. Muncul sebuah pemikiran “Coba lakuin sekali saja perjalanan yang belum pernah kau lakukan. Pahami perasaan yang mereka rasakan. Rasakan pengalaman mereka. Minimal cobalah sekali saja, hanya agar kau tahu rasanya.”. Atas pemikiran itu saya menjadi tertarik ingin ikut tapi saya belum juga meneguhkan tekad saya. Saya mendengar begitu banyak nasehat dan cerita-cerita yang cukup menyeramkan yang dapat terjadi jika lakukan perjalanan gunung. Ada yang cerita untuk melakukan perjalanan gunung kamu harus belajar kendalikan ego. Tidak boleh sombong. Jika kamu sombong atau terlalu menyepelekan suatu hal, alam yang akan mengajarkanmu untuk rendah hati dengan menyasari atau terjadi suatu kejadian yang tidak kamu inginkan. Nasehat dan cerita-cerita semacam itu cukup membuat saya waspada terhadap keinginan saya untuk ikut. Saya pun mempertimbangkan kondisi tubuh saya yang tidak tahan dengan suhu dingin dan mudah sakit serta sering lakukan kecerobohan. Saya hanya tidak ingin menyusahkan orang lain terhadap konsekuensi yang saya alami. Terlebih jika terjadi hal terburuk. Ah rasanya belum siap.

Terjadi perang batin yang cukup membuat saya bingung. Saya ingin lakukan perjalanan yang berbeda, ingin merasakan pengalaman yang orang lain ceritakan namun sisi lain saya sadar diri akan kemampuan diri yang memiliki fisik yang kurang tangguh serta pikiran yang sering kosong atau tidak terkontrol. Rasanya saya belum mampu menghadapi konsekuensi atas sikap yang saya lakukan di perjalanan nanti.

“Jika kamu hanya lakukan pengandaian seperti itu, kamu tidak akan lakukan apa-apa. Cukup jalani, hadapi hambatan yang jelas-jelas di depan mata.”

Atas pemikiran tersebut akhirnya saya memantapkan niat untuk ikut perjalanan ke gunung. Suatu perjalanan yang benar-benar berbeda dari yang pernah saya lakukan. Kemudian saya menyatakan keinginan ikut ke Ajo. Lalu, hal pertama yang saya tanyakan, Apa saja yang harus saya persiapkan? Persiapan kali ini pastinya berbeda dibanding perjalanan ke pantai atau kota. “kamu cukup jogging aja. Minimal seminggu sekali, kalau bisa dua kali seminggu.” begitu kata Ajo.

Dengan instruksi tersebut, saya memutuskan akan jogging. Waktu itu kegiatan saya cukup padat, sempat merencanakan jogging di malam hari tapi hal itu tidak disarankan oleh Ajo. Katanya, kasihan sama jantung yang bekerja lebih berat di malam hari. Sehingga saya jogging sendirian di sore hari di sekitar komplek rumah saja. Bila janjian dengan orang lain otomatis saya harus menyesuaikan waktu dan lakukan jogging di tempat lain akan memakan waktu yang lama untuk perjalanannya. Jadi, saya jogging sendiri saja.

Lari 5 menit saja rasanya tenggorokan dan dada saya panas sekali. Muncul rasa ingin muntah. Kemudian saya berjalan santai saja. Saat rasa panas dan mual itu berkurang, saya kembali berlari. Baru saja sebentar lari, mungkin sekitar 3 menit, kali ini kepala saya pusing disertai tangan dan kaki yang gemetar. Saya sempatkan berhenti membeli es kelapa muda rasa jeruk. Ketika berdiri menunggu pesanan, saya sempat rasakan kepala saya kunang-kunang serta badan yang lemas tidak sanggup berdiri lama. Sungguh menyeramkan buat saya hingga memunculkan pikiran-pikiran yang menciutkan semangat saya seperti, “Apa nanti sanggup? Baru jogging sebentar aja gejala fisiknya segininya, gimana di atas nanti? Masih ada waktu ubah keputusan mumpung belum berangkat loh“.

Kembali saya ingatkan diri dengan menggumamkan “Cukup jalani, hadapi hambatan yang jelas-jelas di depan mata.”. Akhirnya saya lawan keraguan saya dengan menjadikan gejala fisik sebagai PR. Gejala-gejala itu mengingatkan saya bahwa saya perlu kembali lakukan latihan fisik walau dengan olah raga ringan. Juga menjadikan evaluasi diri bahwa saya perlu lakukan fisik yang lebih intens lagi sebagai persiapan perjalanan gunung minggu depan.

Hanya saja kegiatan saya cukup padat saat siang hingga sore. Saya baru sampai rumah ketika langit sudah gelap sedangkan jogging di malam hari tidak disarankan. Alhasil saya baru bisa kembali jogging 2 hari sebelum hari keberangkatan. Hari itu cuaca cukup cerah dan jogging kali itu terasa sangat berbeda. Tidak ada gejala panas di tenggorokan atau dada bahkan tidak gemetar. Kali itu durasi lari terasa lebih lama dari pada pertama. Sekitar 10 menit lari kemudian berjalan santai saat kemudian lanjut lari kembali. Begitu seterusnya hingga akhir trek lari saya sore itu. Peningkatan yang lumayan.

“aku hanya bisa jogging 2 kali aja. Gak apa-apa?”
“itu udah cukup kok. Sekarang istirahat yang cukup aja biar badannya fit pas berangkat. Jangan begadang”

Pembicaraan itu ku anggap sebagai instruksi kedua dari Ajo. Sehari sebelum berangkat, saya usahakan untuk tidak lakukan kegiatan yang padat terutama di malam hari agar saya dapat istirahat yang cukup.
Persiapan selingan yang saya lakukan selain persiapan fisik adalah persiapan peralatan dan perlengkapan yang dibutuhkan. Ajo memberi masukan yang menurut saya kurang membantu. Saya hanya diinformasikan membawa perlengkapan pribadi saja sedang saya bingung perlengkapan pribadi tersebut terdiri apa saja. Saya tahu bahwa perlengkapan yang dibawa ketika berkunjung ke pantai dan ke kota saja memiliki kebutuhan perlengkapan yang berbeda. Begitu juga jika tujuannya ke gunung. Pastinya perlengkapan yang dibutuhkan akan sangat berbeda. Betul saja pemikiran saya itu. Saya bertanya teman saya yang lain, Heny dan Deddy, perlengkapan yang disebutkan sungguh berbeda dari yang disebutkan oleh Ajo. Dari penjelasan mereka, berikut perlengkapan yang biasanya digunakan ketika naik gunung:

Ada dua jenis perlengkapan yaitu perlengkapan tim dan perlengkapan pribadi. Perlengkapan tim minimal terdiri dari:
  • -         Tenda (beserta flysheet)
  • -          kompor mini (dan spiritus), serta alat masak mini
  • -          Matras
  • -          Bahan makanan (bahan mentah dan minuman)
  • -          Obat-obatan (band aid,betadine, parasetamol, dll)

Perlengkapan pribadi yang cukup banyak. Perlengkapan minimal yang dipersiapkan minimal terdiri dari:
  • -          Pakaian bersih, minimal 1 set untuk digunakan saat tidur (disesuaikan durasi pendakian)
  • -          Sleeping Bag
  • -          Jas hujan/raincoat
  • -          Headlamp atau senter
  • -          Jaket, sarung tangan yang tebal dan kaos kaki
  • -          Perlengkapan mandi
  • -          Peralatan makan atau nesting (gelas, piring dan sendok, diusahakan berbahan plastik agar ringan)
  • -          Minuman (air mineral 1,5 L) dan camilan pribadi (cokelat, biskuit, minuman coklat instan)

Wah persiapan yang sungguh berbeda! Saya hampir tidak memiliki satupun aitem yang disebutkan. Hanya pakaian bersih, alat mandi serta camilan saja yang dapat saya persiapkan. Sisanya? Saya tidak punya sama sekali! Untunglah saya punya banyak teman yang suka lakukan perjalanan gunung. Saya banyak dipinjami peralatan oleh Dedy, Heny dan Kojek. Mereka tahu ini perjalanan pertama saya. tampaknya mereka ingin membuat saya terkesan pada pengalaman pertama agar saya jatuh cinta pada perjalanan ke gunung.

Di hari keberangkatan, kami masih harus menghadiri pernikahan teman kami, Heny, hingga sore sehingga kami memutuskan berangkat ke Garut di malam hari. Saya punya kebiasaan buruk mengenai waktu packing. Sering sekali terlalu sibuk ke sana-sini menjelang perjalanan sehingga waktu packing dilakukan beberapa jam sebelum berangkat. Bahkan 1-2 jam sebelum berangkat pun saya masih leyeh-leyeh belum memutuskan barang apa saja yang harus saya kemas. Jangan ditiru kebiasaan seperti ini jika kamu ingin ada perlengkapan yang luput kamu masukkan tas!

Begitu juga dengan perjalanan kali ini. Kami sepakat berkumpul di Terminal Rambutan pukul 22.00 WIB. Sepulang dari resepsi teman saya, saya memutuskan untuk istirahat terlebih dahulu. Rasanya lelah sekali. Saya teringat kata Ajo, istirahat yang cukup. Kemudian saya tertidur hingga pukul 7 malam. Melihat jam, saya langsung terbangun dengan terkejut. “Ah belum packing!” Mendadak dirundung kepanikan karena 2 jam lagi harus berangkat ke Terminal, barang-barang masih tercecer “indah”, ditambah belum mandi. Lengkap sudah!

Syukurlah saya sudah terbiasa lakukan perjalanan sehingga sudah terbiasa lakukan packing secara kilat. Bisa dibilang sense of readiness saya telah terlatih atas setiap perjalanan yang selama ini saya lakukan. Termasuk hal siap-siap sebelum berangkat seperti ini. Cukup 30 menit saja waktu yang saya butuhkan untuk memasukan seluruh perlengkapan kebutuhan saya untuk perjalanan ke gunung saya pertama. Sayangnya saya tidak sempat mendokumentasikan hasil packing saya malam itu tp berikut wujud tas hasil packing saya ketika dalam perjalanan menuju puncak Papandayan:



Packing selesai – kemudian mandi – lalu berangkat! Hai Papandayan, Aku datang pada mu! Berbaiklah pada ku nanti. Aku hanya ingin mengecap keindahanmu yang begitu dipuja-puja oleh penggemarmu.


2 komentar: