Tahun 2010. Saya ingat sekali
malam itu, ketika saya sedang paruh waktu sebagai penjaga warnet. Browsing sebuah forum online kemudian membaca halaman mengenai
komunitas backpacker. Saat asik
membaca tiba-tiba ada yang berbicara,
“loh suka buka halaman itu? Udah pernah ketemu sama mereka belum?”
“belum mas. Ini baru nemu. Tertarik sih”
“yaudah ikut guyubnya aja. Mereka orangnya
asyik kok. Baik-baik.”
Saat itu saya memutuskan, saya
akan mencoba bertemu dengan mereka. Pertemuan pertama saya langsung jatuh
cinta. Ramah, penuh canda tawa, adanya rasa kekeluargaan yang sungguh kental.
Mereka adalah Backpacker Community Jogja
atau BPC Jogja. Bayangkan saja,
selesai kumpul rapat pertama mereka langsung merencanakan lanjut bercengkrama
di Pocin Kaliurang padahal waktu itu sudah pukul 9 malam lebih! Saya pun
diajak. Layaknya anak kecil yang diimingi oleh lolipop, saya mengangguk tanpa
ragu.
Saat di Kaliurang, kehangatan
canda tawa, keakraban mereka semakin mengisi sisi hati saya yang kosong. Sepulangnya
saya sampai di kamar kosan, saya masih tersenyum lebar. Mungkin tertidur dengan
tersenyum juga. Ah, kesan yang sungguh menyenangkan. Pertemuan-pertemuan
berikutnya pun saya ikuti dan kemudian berubah menjadi candu. Dua hari dalam seminggu
menjadi agenda yang paling saya nantikan. Rabu dan Jumat. Saya tidak peduli
mereka itu siapa. Menamakan kegiatan mereka apa. Yang penting saya berada di
antara mereka, saya sudah senang!
Waktu itu saya tidak mau ambil
pusing dengan istilah-istilah apapun. Saya tidak mau ambil pusing terhadap
rencana apapun. Ikuti saja rencana mereka, pasti saya ikut senang. Hingga
akhirnya saya mengikuti perjalanan mereka satu per satu kemudian membakukan
rasa serta pikiran bahwa mereka adalah keluarga kecil di saat saya jauh dari
keluarga sesungguhnya. Ada rasa dilindungi oleh keluarga, ada canda tawa
layaknya terhadap adik atau kakak, dan juga ada konflik layaknya ketika sedang
bertengkar dengan orangtua karena perbedaan prinsip dalam menjalani atau
membuat keputusan hidup.
Kini sudah penghujung tahun 2013.
Sungguh banyak sekali yang saya pelajari dari teman-teman yang sudah saya
anggap seperti keluarga sendiri. Belajar memaknai perjalanan. Belajar arti
kesetiakawanan dan solidaritas. Belajar beradaptasi dalam lingkungan apapun.
Belajar memahami pendapat dan cara melakukan perjalanan. Belajar menghargai
alam dan budaya. Belajar mengenai nilai-nilai sosial. Itu baru yang terlintas
begitu saja dalam pikiran saya. Jika diingat-ingat lagi mungkin akan lebih banyak
pembelajaran yang telah saya alami.
Tahun 2014 sudah hitungan kurang
dari sebulan. Komunitas yang berdomisili utama di Yogyakarta ini kini mengalami
satu masalah klasik seperti yang dialami komunitas non struktur lainnya. Regenerasi.
Pembaharuan oleh generasi muda demi mempertahankan eksistensi. Teman-teman BPC
memang didominasi oleh kaum pendatang yang berstatus pelajar maupun mahasiswa berasal
dari kota atau daerah lain. Kini teman-teman satu per satu telah kembali ke
daerah asalnya seiring dengan lulus kuliah atau sekolah, termasuk saya. Tersisa
3 teman saja yang masih menetap di Jogja. Well,
sebenarnya ada 4 orang. Tapi yang satu sudah jarang sekali kumpul, ketemu
bahkan lakukan perjalanan. Sedangkan, dari 3 orang tersebut, sudah lulus semua
dengan 2 orang berasal dari seberang Pulau Jawa. Tinggal menghitung waktu saja
hingga akhirnya hampir tidak ada yang tersisa di Jogja. Hanya menyisakan
kenangan di setiap pojok kota.
Sedih jika membayangkan itu. Tahun
2010 masih tertawa bersama, berjalan bersama dan saling mengejek tapi saling
membutuhkan. Berawal pertemanan yang berisikan orang-orang yang tinggal di
Jogja, kemudian berkembang meluaskan pertemanan di luar kota Jogja. Bahkan keluar
Pulau Jawa. Perjalinan persahabatan yang sungguh cepat dan semakin beragam.
Lalu, kini di tahun 2013 komunitas ini mulai seperti ruangan tak terurus,
dipenuhi sarang laba-laba tanda jarang dihuni. Ah, waktu sungguh kejam membuat
kami terlena kemudian menghempaskan pada jurang perpisahan tanpa aba-aba.
Minggu lalu, saya chatting dengan salah satu foundernya. Kami membicarakan kelangsungan
komunitas ini. Mau dibawa kemana? Dia mengatakan, “Terserah kalian mau dibawa
seperti apa. Kalau memang tidak ada yang meneruskan sehingga komunitas ini harus
bubar begitu saja pun tak apa. Aku malah berterima kasih pada kalian yang masih
peduli. Buat aku, yang penting rasa kekeluargaan antara kita masih terus
terjalin”. So sweet. Saya setuju.
Saya tidak peduli jika bendera komunitas ini masih dapat meramaikan dunia
pariwisata atau akhirnya mati layaknya bunga yang tidak mendapatkan asupan air
dan mineral. Cukup buatku jika saat rambut telah beruban dengan kulit yang
sudah keriput tidak tertolong, kami masih sering bertemu, bercanda, saling
mengejek bahkan masih melakukan perjalanan bersama. Masih bisa saling mengisi
memberi makna, menjadi peran serta saksi dalam setiap peristiwa kehidupan kami.
Begitu saja sudah cukup. Apakah kalian memiliki angan yang sama?
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusgorengan, wedangan, plus maen remi sampe pagi. angkringan KR. sip laahh
BalasHapus