Sabtu, 14 Desember 2013

BPC_Jogja: Komunitas Seribu Rasa

Tahun 2010. Saya ingat sekali malam itu, ketika saya sedang paruh waktu sebagai penjaga warnet. Browsing sebuah forum online kemudian membaca halaman mengenai komunitas backpacker. Saat asik membaca tiba-tiba ada yang berbicara,

“loh suka buka halaman itu? Udah pernah ketemu sama mereka belum?”
“belum mas. Ini baru nemu. Tertarik sih”
“yaudah ikut guyubnya aja. Mereka orangnya asyik kok. Baik-baik.”

Saat itu saya memutuskan, saya akan mencoba bertemu dengan mereka. Pertemuan pertama saya langsung jatuh cinta. Ramah, penuh canda tawa, adanya rasa kekeluargaan yang sungguh kental. Mereka adalah Backpacker Community Jogja atau BPC Jogja. Bayangkan saja, selesai kumpul rapat pertama mereka langsung merencanakan lanjut bercengkrama di Pocin Kaliurang padahal waktu itu sudah pukul 9 malam lebih! Saya pun diajak. Layaknya anak kecil yang diimingi oleh lolipop, saya mengangguk tanpa ragu.

Saat di Kaliurang, kehangatan canda tawa, keakraban mereka semakin mengisi sisi hati saya yang kosong. Sepulangnya saya sampai di kamar kosan, saya masih tersenyum lebar. Mungkin tertidur dengan tersenyum juga. Ah, kesan yang sungguh menyenangkan. Pertemuan-pertemuan berikutnya pun saya ikuti dan kemudian berubah menjadi candu. Dua hari dalam seminggu menjadi agenda yang paling saya nantikan. Rabu dan Jumat. Saya tidak peduli mereka itu siapa. Menamakan kegiatan mereka apa. Yang penting saya berada di antara mereka, saya sudah senang!

Waktu itu saya tidak mau ambil pusing dengan istilah-istilah apapun. Saya tidak mau ambil pusing terhadap rencana apapun. Ikuti saja rencana mereka, pasti saya ikut senang. Hingga akhirnya saya mengikuti perjalanan mereka satu per satu kemudian membakukan rasa serta pikiran bahwa mereka adalah keluarga kecil di saat saya jauh dari keluarga sesungguhnya. Ada rasa dilindungi oleh keluarga, ada canda tawa layaknya terhadap adik atau kakak, dan juga ada konflik layaknya ketika sedang bertengkar dengan orangtua karena perbedaan prinsip dalam menjalani atau membuat keputusan hidup.

Kini sudah penghujung tahun 2013. Sungguh banyak sekali yang saya pelajari dari teman-teman yang sudah saya anggap seperti keluarga sendiri. Belajar memaknai perjalanan. Belajar arti kesetiakawanan dan solidaritas. Belajar beradaptasi dalam lingkungan apapun. Belajar memahami pendapat dan cara melakukan perjalanan. Belajar menghargai alam dan budaya. Belajar mengenai nilai-nilai sosial. Itu baru yang terlintas begitu saja dalam pikiran saya. Jika diingat-ingat lagi mungkin akan lebih banyak pembelajaran yang telah saya alami.

Tahun 2014 sudah hitungan kurang dari sebulan. Komunitas yang berdomisili utama di Yogyakarta ini kini mengalami satu masalah klasik seperti yang dialami komunitas non struktur lainnya. Regenerasi. Pembaharuan oleh generasi muda demi mempertahankan eksistensi. Teman-teman BPC memang didominasi oleh kaum pendatang yang berstatus pelajar maupun mahasiswa berasal dari kota atau daerah lain. Kini teman-teman satu per satu telah kembali ke daerah asalnya seiring dengan lulus kuliah atau sekolah, termasuk saya. Tersisa 3 teman saja yang masih menetap di Jogja. Well, sebenarnya ada 4 orang. Tapi yang satu sudah jarang sekali kumpul, ketemu bahkan lakukan perjalanan. Sedangkan, dari 3 orang tersebut, sudah lulus semua dengan 2 orang berasal dari seberang Pulau Jawa. Tinggal menghitung waktu saja hingga akhirnya hampir tidak ada yang tersisa di Jogja. Hanya menyisakan kenangan di setiap pojok kota.

Sedih jika membayangkan itu. Tahun 2010 masih tertawa bersama, berjalan bersama dan saling mengejek tapi saling membutuhkan. Berawal pertemanan yang berisikan orang-orang yang tinggal di Jogja, kemudian berkembang meluaskan pertemanan di luar kota Jogja. Bahkan keluar Pulau Jawa. Perjalinan persahabatan yang sungguh cepat dan semakin beragam. Lalu, kini di tahun 2013 komunitas ini mulai seperti ruangan tak terurus, dipenuhi sarang laba-laba tanda jarang dihuni. Ah, waktu sungguh kejam membuat kami terlena kemudian menghempaskan pada jurang perpisahan tanpa aba-aba.

Minggu lalu, saya chatting dengan salah satu foundernya. Kami membicarakan kelangsungan komunitas ini. Mau dibawa kemana? Dia mengatakan, “Terserah kalian mau dibawa seperti apa. Kalau memang tidak ada yang meneruskan sehingga komunitas ini harus bubar begitu saja pun tak apa. Aku malah berterima kasih pada kalian yang masih peduli. Buat aku, yang penting rasa kekeluargaan antara kita masih terus terjalin”. So sweet. Saya setuju. Saya tidak peduli jika bendera komunitas ini masih dapat meramaikan dunia pariwisata atau akhirnya mati layaknya bunga yang tidak mendapatkan asupan air dan mineral. Cukup buatku jika saat rambut telah beruban dengan kulit yang sudah keriput tidak tertolong, kami masih sering bertemu, bercanda, saling mengejek bahkan masih melakukan perjalanan bersama. Masih bisa saling mengisi memberi makna, menjadi peran serta saksi dalam setiap peristiwa kehidupan kami. Begitu saja sudah cukup. Apakah kalian memiliki angan yang sama?



2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  2. gorengan, wedangan, plus maen remi sampe pagi. angkringan KR. sip laahh

    BalasHapus