Jumat, 16 Mei 2014

Papandayan Sebagai Perjalanan Pertama – Part II

Waktu sudah menunjukkan pukul 21.00 WIB, sudah waktunya saya melangkahkan kaki menuju terminal Kampung Rambutan dimana menjadi titik kumpul saya bersama teman-teman saya. Ini adalah pengalaman pertama saya ke terminal Kampung Rambutan sehingga saya tidak mengerti posisi depan, belakang, samping terminal. Semua tampak sama. Kemudian saya dihampiri oleh Deli lalu diajak menghampiri teman yang lainnya yaitu AjoSuciRadius dan Putri. Tidak perlu berlama-lama, kami langsung menaiki bus AC Primajasa yang sudah siap berangkat. Cukup dengan Rp.20.000 sudah bisa membawa saya menuju tujuan utama yaitu Terminal Guntur dengan nyaman dan aman serta cukup membuat saya tertidur lelap. Pukul 03. 45 WIB saya terbangun dan tersadar bahwa kami sudah sampai. Langit masih gelap, udara masih sejuk namun Terminal Guntur sudah ramai oleh joki transportasi yang menawarkan jasa tumpangan bagi pendatang yang ingin mendaki ke gunung-gunung yang ada di Garut. Langkah pertama yang kami lakukan adalah kami harus menunggu satu teman yang menyusul dari Bandung, yaitu Zeni. Oleh karena itu, kami memutuskan untuk mencari musholla yang berada dekat dari pos DLLAJ namun tertutup oleh jejeran kios di depannya. Begitu sampai di musholla Ajo langsung mengeluarkan trangia, air minum dan kopi kemudian membuat kopi untuk menghangatkan tubuh. Suci langsung mengeluarkan SB, matras kemudian pasang posisi nyaman untuk kembali beristirahat, memanfaatkan waktu yang ada hingga Zeni tiba diperkirakan pada pukul 7 pagi.

Menjelang jam 6 matahari sudah mulai menyapa, Radius atau yang lebih akrab dipanggil Chef mengajak saya ke pasar untuk belanja logistik sebagai bekal memasak saat pendakian nanti. Hanya dengan 10 menit saja kami tiba di pasar. Rupanya sangat dekat, pantesan teman-teman saya tidak terlalu memusingkan perihal belanja logistik saat di Jakarta. Maklum, pendakian pertama. Jadi kurang paham dengan strategi maupun tips persiapan. Selesai belanja, kami langsung kembali ke musholla. Ternyata Zeni sudah tiba plus sedang santai menikmati kopi hangat buatan Ajo. Kami masih saja bersantai, bercanda sejenak, hitung-hitung untuk membentuk keakraban karena teknisnya kami belum saling mengenal. Saya kenal Ajo, Suci, Deli tapi tidak kenal Radius, Putri, Zeni. Suci kenal Radius tapi tidak kenal Putri dan Zeni. Radius dan Putri adalah kakak adik yang tidak mengenal Zeni. Sedangkan Zeni, Deli, Ajo sudah saling kenal saat pendakian mereka ke Gn. Gede. Untunglah masing-masing sudah biasa melakukan perjalanan yang mengasah kemampuan sosialisasi dan beradaptasi dengan cepat sehingga tidak perlu waktu lama untuk menghilangkan kecanggungan selayaknya orang baru kenalan. 

Keasikan bincang santai membuat kami tidak sadar waktu telah menunjukkan pukul 10.00 WIB. Waktunya untuk merapikan segala perlengkapan dan mencari kendaraan umum kecil untuk membawa kami ke desa terdekat Gn. Papandayan. Ajakan setengah paksa oleh para calo di Terminal Guntur menandai awal perjalanan kami yang sesungguhnya. Sempat terjadi sedikit ketidak-ramahan yang dilakukan oleh calo dan supir angkutan umum. Untuk cerita lengkapnya bisa dibaca di blog Chef, sila klik link ini: http://www.rotatingscout.com/expedition-de-papandayan-part-1/. Sangat disayangkan dengan adanya kejadian ini tapi saya juga tidak dapat menyalahkan karena motif utama calo dan supir demi urusan perut semata. Bapak saya pernah berucap, hal yang paling kejam di dunia ini adalah urusan perut. Ada benarnya, demi mengisi kekosongan perut seseorang bisa melakukan apapun. Termasuk melakukan pemaksaan seperti calo dan supir angkutan ini. Oke, kita lanjut saja ya. Selalu ada maksud dibalik setiap peristiwa. Hal itu berlaku juga pada kejadian tersebut. Terdapat 4 penumpang yang menaiki angkutan umum yang sama ternyata memiliki tujuan yang sama, Gn. Papandayan. Perjalanan angkutan umum ini memakan waktu (sepertinya) tidak lebih dari 1 jam. *maap, agak lupa bagian ini :p* Tiba di desa terdekat kaki Gn. Papandayan, perut saya sudah mulai protes keroncongan tapi kami harus mencari kendaraan pick up untuk menyambung menuju pos pertama Gn. Papandayan. Zeni langsung menghampiri supir-supir yang sedang standby menunggu calon-calon pendaki dengan tujuan ingin bernegosiasi harga sewa. Tak lama Zeni kembali melaporkan hasilnya bahwa tarif harga sewa pick up dipatok seharga Rp.200.000, tidak bisa kurang sedikitpun dan berapapun jumlah penumpangnya. Ternyata hal ini pun yang didapatkan oleh 4 penumpang yang bersama kami dari Terminal Guntur. Singkatnya, 4 penumpang tersebut memutuskan untuk bergabung dengan tim kami menyewa pick up dengan alasan paling luhur dalam perjalanan: agar murah. Sehingga tim kami bertotal 11 orang. Kata orang, semakin ramai semakin seru. Saya setuju. Yeay! Makin rame. Perjalanan pun kami lanjutkan tapi kali ini terdapat sensasi yang lebih aduhai. Duduk manis di bak belakang tanpa penutup apapun, berjejelan 10 penumpang (yang satu duduk di depan, samping pak supir) dan harus berbagi tempat seperempatnya dengan tas-tas besar kami, cuaca semakin terik ditambah harus berhadapan dengan jalanan yang tidak rata sehingga seringkali memacu adrenalin dengan perasaan terbang atau terpental ke sana kemari. Benar-benar aduhai, terutama di bagian bokong, coy! kalau saat itu Ajo tanya, saya akan menjawab: LUAR BIASAAAA. hahaha

Dalam waktu kurang lebih 1 jam saja udara terasa semakin segar, rumah penduduk semakin jarang dan tampak sebuah pos kecil yang dikelilingi pohon-pohon rindang. Oh rupanya sudah sampai di Cisurupan, pintu masuk Gn. Papandayan. Deli dan Geri langsung berinisiatif turun menuju pos untuk lapor dan mengurus Surat Ijin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI). Prosesnya sebentar, mungkin tidak sampai 10 menit hingga kendaraan diijinkan masuk dan memarkirkan kendaraan untuk kemudian menurunkan kami serta tas-tas kami.

Puji Tuhan, ada warung makanan di pos pertama ini! Terkadang kesederhanaan terasa sangat mewah saat kamu benar-benar membutuhkannya. Sama dengan menu warung ini. Mie instan ataupun nasi goreng terasa seperti makanan cafe terkenal ketika perut memberontak kelaparan namun hanya tersaji menu apa adanya. Selesai menurunkan tas dan merapikan ala kadarnya, tanpa komando saya langsung menghampiri warung makan. Saat itu saya sedang lakukan puasa nasi membuat saya harus puas dengan mie instan rebus ditambah gorengan. Habis sudah makanan dan minuman, wajah sudah kembali berseri, perut sudah kembali damai aman tentram. Waktunya beres-beres diri dengan cuci muka atau urusan kamar kecil dan juga siap-siap untuk .... foto-foto!


(Sumber Foto: Chef Radius)

Perut kenyang. Wajah sudah segar. Tubuh sudah kembali bertenaga. Foto pun sudah. Waktunya berangkat! Eits, doa bersama sejenak dahulu agar perjalanan dapat berjalan dengan baik tanpa ada halangan yang berarti. Oke, doa selesai. Kami segera angkat tas dan mulai melakukan pendakian. Saat memulai, saya kembali terpikir informasi mengenai kejadian yang dapat terjadi selama perjalanan. Ada yang mengatakan pikiran harus bersih, tidak berkata kasar, serta melangkah dan bernafas dengan teratur atau.. bisa tersasar, terpisah dan terburuknya kondisi tubuh turun drastis. Menyeramkan bukan? Jadi, perjalanan saya selalu usahakan untuk bernapas teratur dan melangkah dengan kecepatan yang stabil. Well, berkat Ajo juga yang bicara "Kita jalannya nyantai aja. Kalo capek, pengen istirahat ngomong, ya! Jangan ditahan atau dikuatin". Rupanya dia sudah sangat paham bagaimana pola sikap dan pikiran orang yang baru pertama kali naik gunung. Walau dibilang untuk santai saya tetap memutuskan untuk menjaga dinamika langkah dan atur napas agar saya tidak memberatkan teman yang lain jika terjadi sesuatu dengan pernapasan saya serta tidak ingin melambatkan langkah atau terlalu sering berhenti agar tidak kesorean untuk mencapai pondok salada.

Tapi tetap saja keindahan alam itu perlu dinikmati bahkan saat berjalan. Pemandangan batu-batu belerang dan aroma tajam khas belerang menjadi suguhan pengalaman pertama ini. Pengalaman yang menarik dan indah. Kaki terus melangkah tanpa melihat jam, hanya melihat ke depan atau ke samping menikmati setiap sudut ciptaan Sang Kuasa. Bukit belerang perlahan berada di belakang pundak dan mata mulai dimanjakan oleh bukit dengan didominasi pohon-pohon pinus maupun cemara. Hanya 1 hal yang tidak berubah pada siang itu: langit biru dengan awan putih. Cuaca saat itu tampak menyemangati saya untuk terus berjalan hingga entah sudah berapa jam kaki terus melangkah, entah sudah berapa bukit yang telah dilewati. Jalan setapak dengan menanjak, menurun, berbelok sungguh tidak berasa saat dijalani sambil cerita atau curhat. Yap, kebiasaan cewek bergosip atau curhat bisa dilakukan dimana saja, termasuk saat mendaki gunung! hahahaha.. Beneran loh, tidak terasa hingga akhirnya menemukan tanah landai yang luas dan ternyata ada tulisan Pondok Selada. Batinku sontak bergembira "Yeay! Sampai juga! Aku berhasil tahap pertama!". Seneng banget bisa naik tanpa terjadi hal-hal yang saya khawatirkan beberapa hari ini. Terima kasih atas 2x jogging dan tidur yang cukup :D

Teman-teman yang pria langsung mencari posisi untuk mendirikan kemah dan menetapkan pilihan pada satu sudut dengan dikelilingi pohon dan rumput. Oh no! saya langsung paranoid kalau akan ada ular saat tidur nanti malam. Kemudian saya dengar teman saya bicara "iya, di situ aja biar nanti malam anginnya gak kenceng. Jadi gak dingin banget". oh.. begitu pertimbangannya. Berhubung saya orangnya tidak tahan suhu dingin, akhirnya saya terima saja keputusan mereka. Toh mereka sudah lebih berpengalaman. Perlengkapan tenda dan masak pun dikeluarkan. Para pria mulai berbagi tugas. Ada yang mendirikan tenda, ada yang mencari kayu kering untuk dibakar, ada yang mulai masak. Perempuannya? duduk manis saja. hahaha.. Memang benar kata orang, saat di gunung perempuan itu diperlakukan bak ratu oleh teman perjalanannya. Saya sudah terlalu lapar untuk duduk diam tapi chef Radius terlalu asyik memasak untuk diganggu. Saya putuskan membantu para pria mendirikan tenda saja dan ambil bagian termudah saja, yaitu menancapkan tiang pancang! Keren, kaaan? hahaha.. Tapi pendirian tenda tidak semulus penancapan tiang pancang. Ternyata ada beberapa frame tenda yang tidak sama sehingga menyebabkan tenda tidak dapat berdiri tegak. Deli berusaha mengakali ketimpangan frame tersebut dengan tukar menukar posisi dan akhirnya berhasil! Keren! Makin keren lagi, tenda tersebut buat perempuan terlebih dahulu. *tetiba muncul mahkota di atas kepala.hihihi* Tidak lama kemudian mulai gerimis dan kami mulai panik memasukkan tas-tas ke 2 tenda yang berhasil didirikan: tenda perempuan dan tenda minimalis Ajo yg daya tampung 2 orang. Para pria kembali mendirikan tenda 1 lagi. Tenda satu-satunya yang harus didirikan sebelum hujan lebat karena daya tampung 2 tenda hanya berkapasitas 8 orang sedangkan kami sejumlah 11 orang ditambah 11 tas berkapasitas 30 liter ke atas. Tidak akan muat untuk semua. Hal tersebut membuat pria berjibaku dengan gerimis yang mulai membesar. Sedang kami yang perempuan memutuskan untuk mulai memasak dengan bahan apapun yang ada di dalam tas yang bisa menghangatkan tubuh. Syukurlah ada Mie instant dan kopi. Walau seadanya tapi cukup untuk membuat tubuh hangat agar tidak kram perut. Kira-kira setengah jam tenda sudah berhasil didirikan dan masakan chef sudah jadi termasuk dengan minuman hangat.


Hujan yang lebat mengharuskan kami melakukan apapun di dalam tenda, termasuk makan bersama. Masakan Chef Radius dioper ke tenda kami kemudian kami semua berkumpul di satu tenda. 11 orang di dalam 1 tenda berkapasitas 6 orang. Mau tahu bentukan kami bagaimana? seperti duduk di mikrolet yang 6 orang tapi dipaksa jadi 7 orang. Posisi maju, mundur jadi trik handal. Tidak soal posisi saja yang kami alami namun juga perlengkapan makanan bersih yang minim. Air hujan dicampur rintikan air tanah mengotori sebagian perlengkapan makan kami sehingga mengharuskan kami untuk menggilirkan nesting, dan sendoknya juga. Keadaan perut yang lapar membuat kami tidak memperdulikan mengenai kebersihan diri. Langsung tancappp, yang penting perut kenyang dan badan kembali hangat. Tidak perlu memakan waktu yang lama untuk menghabiskan semua makanan yang ada. Syukurnya, setelah makanan habis semua, hujan mulai reda. Selesai makan, para pria mulai keluar tenda kami dan kami putuskan untuk istirahat saja. Saya teringat nasihat teman sebelum berangkat untuk mengganti pakaian sebelum tidur agar tubuh hangat. Saya lakukan hal tersebut. Wah benar kata mereka, tubuh menjadi hangat. Begitu hujan reda, saya keluar tenda. Teman-teman sedang menyalakan api tapi tidak unggun karena apinya hanya kecil akibat kayu yang basah oleh hujan. Ngobrol, bercanda tidak jelas menjadi agenda utama sambil menghangatkan tubuh. Setelah menghabiskan banyak spiritus namun tetap tidak membuat api menjadi unggun, kami putuskan untuk beristirahat saja biar besok bisa lanjutkan perjalanan ke puncak. Sebelum tertidur, saya kembali mengingat pengalaman mendaki pertama yang sudah saya lewati. Hati terasa senang dan bersyukur mengingat saya bisa melawan segala pikiran pesimis akan diri sendiri. Senang dan bersyukur bahwa saya bisa mendaki tanpa mengalami kendala yang berarti. Senang bahwa persiapan jogging dan tidur cukup saya bisa membawa saya sampai pondok selada. Terima kasih Ajo buat tipsnya dan juga teman-teman yang sudah meminjamkan perlengkapannya. Aku seneng!

1 komentar:

  1. APA ANDA MASIH BUJANG DAN APA MASIH SEKOLAH /SUDAH BEKERJA DAN ASAL KAMU DARI MANA

    BalasHapus