Selama ini saya lebih suka
lakukan perjalanan ke kota atau pantai. Main ke pantai A. Kunjungi kota B.
Ingin bermain ke pantai C. Penasaran mau kulineran di kota D. Hanya diantara itu
saja. Kemudian saya dihadapkan oleh kalimat ajakan “Ikut Papandayan yuk!”. Sebuah
ajakan menggelitik rasa ingin tahu saya. Ditambah rasa ingin mencoba hal lain
selain pantai dan kota.
Kali ini kenapa saya penasaran ingin
lakukan perjalanan gunung? Saya dikelilingi teman-teman yang begitu mengagumi
aktivitas “penaklukan” puncak-puncak gunung. Sering kali wacana yang terlontar
adalah perjalanan ke gunung ketika bertemu. Saya tidak pernah tertarik. Bahkan
ketika saya berpacaran dengan seroang mahasiswa pecinta alam atau yang sering
disebut mapala. Sering diajak namun sering juga tidak memiliki ketertarikan
ingin ikut. Lain ceritanya jika saya diajak ke pantai atau ke kota-kota yang
masih asing buat saya.
Kali itu, Saya tergelitik ingin
tahu, “apa rasanya naik gunung? Apa yang membuat perjalanan gunung sebegitu
diagung-agungkan?”.
Saya sudah mendengar wacana itu
sekitar tiga minggu sebelumnya. Hanya saya masih belum tertarik. Muncul sebuah
pemikiran “Coba lakuin sekali saja perjalanan yang belum pernah kau lakukan.
Pahami perasaan yang mereka rasakan. Rasakan pengalaman mereka. Minimal cobalah
sekali saja, hanya agar kau tahu rasanya.”. Atas pemikiran itu saya menjadi
tertarik ingin ikut tapi saya belum juga meneguhkan tekad saya. Saya mendengar
begitu banyak nasehat dan cerita-cerita yang cukup menyeramkan yang dapat
terjadi jika lakukan perjalanan gunung. Ada yang cerita untuk melakukan
perjalanan gunung kamu harus belajar kendalikan ego. Tidak boleh sombong. Jika
kamu sombong atau terlalu menyepelekan suatu hal, alam yang akan mengajarkanmu untuk
rendah hati dengan menyasari atau terjadi suatu kejadian yang tidak kamu
inginkan. Nasehat dan cerita-cerita semacam itu cukup membuat saya waspada
terhadap keinginan saya untuk ikut. Saya pun mempertimbangkan kondisi tubuh
saya yang tidak tahan dengan suhu dingin dan mudah sakit serta sering lakukan
kecerobohan. Saya hanya tidak ingin menyusahkan orang lain terhadap konsekuensi
yang saya alami. Terlebih jika terjadi hal terburuk. Ah rasanya belum siap.
Terjadi perang batin yang cukup
membuat saya bingung. Saya ingin lakukan perjalanan yang berbeda, ingin
merasakan pengalaman yang orang lain ceritakan namun sisi lain saya sadar diri
akan kemampuan diri yang memiliki fisik yang kurang tangguh serta pikiran yang
sering kosong atau tidak terkontrol. Rasanya saya belum mampu menghadapi
konsekuensi atas sikap yang saya lakukan di perjalanan nanti.
“Jika kamu
hanya lakukan pengandaian seperti itu, kamu tidak akan lakukan apa-apa. Cukup
jalani, hadapi hambatan yang jelas-jelas di depan mata.”
Atas pemikiran tersebut akhirnya
saya memantapkan niat untuk ikut perjalanan ke gunung. Suatu perjalanan yang
benar-benar berbeda dari yang pernah saya lakukan. Kemudian saya menyatakan
keinginan ikut ke Ajo. Lalu, hal pertama yang saya tanyakan, Apa saja yang
harus saya persiapkan? Persiapan kali ini pastinya berbeda dibanding perjalanan
ke pantai atau kota. “kamu cukup jogging
aja. Minimal seminggu sekali, kalau
bisa dua kali seminggu.” begitu kata Ajo.
Dengan instruksi tersebut, saya
memutuskan akan jogging. Waktu itu
kegiatan saya cukup padat, sempat merencanakan jogging di malam hari tapi hal itu tidak disarankan oleh Ajo.
Katanya, kasihan sama jantung yang bekerja lebih berat di malam hari. Sehingga
saya jogging sendirian di sore hari
di sekitar komplek rumah saja. Bila janjian dengan orang lain otomatis saya
harus menyesuaikan waktu dan lakukan jogging
di tempat lain akan memakan waktu yang lama untuk perjalanannya. Jadi, saya jogging sendiri saja.
Lari 5 menit saja rasanya
tenggorokan dan dada saya panas sekali. Muncul rasa ingin muntah. Kemudian saya
berjalan santai saja. Saat rasa panas dan mual itu berkurang, saya kembali
berlari. Baru saja sebentar lari, mungkin sekitar 3 menit, kali ini kepala saya
pusing disertai tangan dan kaki yang gemetar. Saya sempatkan berhenti membeli
es kelapa muda rasa jeruk. Ketika berdiri menunggu pesanan, saya sempat rasakan
kepala saya kunang-kunang serta badan yang lemas tidak sanggup berdiri lama.
Sungguh menyeramkan buat saya hingga memunculkan pikiran-pikiran yang
menciutkan semangat saya seperti, “Apa nanti sanggup? Baru jogging sebentar aja
gejala fisiknya segininya, gimana di atas nanti? Masih ada waktu ubah keputusan
mumpung belum berangkat loh“.
Kembali saya ingatkan diri dengan
menggumamkan “Cukup jalani, hadapi hambatan yang jelas-jelas di depan mata.”.
Akhirnya saya lawan keraguan saya dengan menjadikan gejala fisik sebagai PR. Gejala-gejala
itu mengingatkan saya bahwa saya perlu kembali lakukan latihan fisik walau
dengan olah raga ringan. Juga menjadikan evaluasi diri bahwa saya perlu lakukan
fisik yang lebih intens lagi sebagai persiapan perjalanan gunung minggu depan.
Hanya saja kegiatan saya cukup
padat saat siang hingga sore. Saya baru sampai rumah ketika langit sudah gelap
sedangkan jogging di malam hari tidak
disarankan. Alhasil saya baru bisa kembali jogging 2 hari sebelum hari
keberangkatan. Hari itu cuaca cukup cerah dan jogging kali itu terasa sangat
berbeda. Tidak ada gejala panas di tenggorokan atau dada bahkan tidak gemetar. Kali
itu durasi lari terasa lebih lama dari pada pertama. Sekitar 10 menit lari
kemudian berjalan santai saat kemudian lanjut lari kembali. Begitu seterusnya
hingga akhir trek lari saya sore itu. Peningkatan yang lumayan.
“aku hanya bisa jogging 2 kali aja. Gak apa-apa?”
“itu udah cukup kok. Sekarang istirahat yang cukup aja biar badannya
fit pas berangkat. Jangan begadang”
Pembicaraan itu ku anggap sebagai
instruksi kedua dari Ajo. Sehari sebelum berangkat, saya usahakan untuk tidak
lakukan kegiatan yang padat terutama di malam hari agar saya dapat istirahat
yang cukup.
Persiapan selingan yang saya lakukan selain persiapan fisik adalah
persiapan peralatan dan perlengkapan yang dibutuhkan. Ajo memberi masukan yang
menurut saya kurang membantu. Saya hanya diinformasikan membawa perlengkapan
pribadi saja sedang saya bingung perlengkapan pribadi tersebut terdiri apa
saja. Saya tahu bahwa perlengkapan yang dibawa ketika berkunjung ke pantai dan
ke kota saja memiliki kebutuhan perlengkapan yang berbeda. Begitu juga jika
tujuannya ke gunung. Pastinya perlengkapan yang dibutuhkan akan sangat berbeda.
Betul saja pemikiran saya itu. Saya bertanya teman saya yang lain, Heny dan
Deddy, perlengkapan yang disebutkan sungguh berbeda dari yang disebutkan oleh
Ajo. Dari penjelasan mereka, berikut perlengkapan yang biasanya digunakan ketika
naik gunung:
Ada dua jenis perlengkapan yaitu perlengkapan tim dan
perlengkapan pribadi. Perlengkapan tim minimal terdiri dari:
- - Tenda (beserta flysheet)
- - kompor mini (dan spiritus), serta alat masak mini
- - Matras
- - Bahan makanan (bahan mentah dan minuman)
- - Obat-obatan (band aid,betadine, parasetamol, dll)
Perlengkapan pribadi yang cukup banyak. Perlengkapan minimal
yang dipersiapkan minimal terdiri dari:
- - Pakaian bersih, minimal 1 set untuk digunakan saat tidur (disesuaikan durasi pendakian)
- - Sleeping Bag
- - Jas hujan/raincoat
- - Headlamp atau senter
- - Jaket, sarung tangan yang tebal dan kaos kaki
- - Perlengkapan mandi
- - Peralatan makan atau nesting (gelas, piring dan sendok, diusahakan berbahan plastik agar ringan)
- - Minuman (air mineral 1,5 L) dan camilan pribadi (cokelat, biskuit, minuman coklat instan)
Wah persiapan yang sungguh berbeda! Saya hampir tidak
memiliki satupun aitem yang disebutkan. Hanya pakaian bersih, alat mandi serta
camilan saja yang dapat saya persiapkan. Sisanya? Saya tidak punya sama sekali!
Untunglah saya punya banyak teman yang suka lakukan perjalanan gunung. Saya
banyak dipinjami peralatan oleh Dedy, Heny dan Kojek. Mereka tahu ini
perjalanan pertama saya. tampaknya mereka ingin membuat saya terkesan pada pengalaman
pertama agar saya jatuh cinta pada perjalanan ke gunung.
Di hari keberangkatan, kami masih harus menghadiri
pernikahan teman kami, Heny, hingga sore sehingga kami memutuskan berangkat ke
Garut di malam hari. Saya punya kebiasaan buruk mengenai waktu packing. Sering sekali terlalu sibuk ke
sana-sini menjelang perjalanan sehingga waktu packing dilakukan beberapa jam sebelum berangkat. Bahkan 1-2 jam
sebelum berangkat pun saya masih leyeh-leyeh belum memutuskan barang apa saja
yang harus saya kemas. Jangan ditiru kebiasaan seperti ini jika kamu ingin ada
perlengkapan yang luput kamu masukkan tas!
Begitu juga dengan perjalanan kali ini. Kami sepakat
berkumpul di Terminal Rambutan pukul 22.00 WIB. Sepulang dari resepsi teman
saya, saya memutuskan untuk istirahat terlebih dahulu. Rasanya lelah sekali. Saya
teringat kata Ajo, istirahat yang cukup. Kemudian saya tertidur hingga pukul 7
malam. Melihat jam, saya langsung terbangun dengan terkejut. “Ah belum packing!” Mendadak dirundung kepanikan
karena 2 jam lagi harus berangkat ke Terminal, barang-barang masih tercecer “indah”,
ditambah belum mandi. Lengkap sudah!
Syukurlah saya sudah terbiasa lakukan perjalanan sehingga
sudah terbiasa lakukan packing secara
kilat. Bisa dibilang sense of readiness
saya telah terlatih atas setiap perjalanan yang selama ini saya lakukan. Termasuk
hal siap-siap sebelum berangkat seperti ini. Cukup 30 menit saja waktu yang
saya butuhkan untuk memasukan seluruh perlengkapan kebutuhan saya untuk
perjalanan ke gunung saya pertama. Sayangnya saya tidak sempat
mendokumentasikan hasil packing saya
malam itu tp berikut wujud tas hasil packing
saya ketika dalam perjalanan menuju puncak Papandayan:
Packing selesai – kemudian mandi – lalu berangkat! Hai
Papandayan, Aku datang pada mu! Berbaiklah pada ku nanti. Aku hanya ingin
mengecap keindahanmu yang begitu dipuja-puja oleh penggemarmu.